Puluhan mahasiswa dan pegiat lingkungan yang bergabung dalam Gerakan Bengkulu Berdaulat menggelar teatrikal di tiga tempat, yakni depan Kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Kantor Gubernur Bengkulu, dan Kampus Universitas Bengkulu sebagai bentuk penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Dalam teatrikal tersebut, para mahasiswa dan pegiat lingkungan memerankan diri menjadi nelayan, petani, buruh, mahasiswa, dan rakyat cilik lainnya dengan kondisi mulut diikat kain hitam tapi mereka terus berusaha berteriak namun terbungkam kain itu.

Di tempat yang sama, para mahasiswa juga memerankan DPR RI dan pengusaha yang berkomunikasi intens dan bertransaksi uang. 

Koordinator aksi, Riki Pratama Putra menjelaskan teatrikal ini bercerita tentang anggota DPR dan pengusaha yang kongkalingkong melancarkan Undang-Undang Cipta Kerja demi keuntungan kelompok mereka sendiri. 

Riki juga menjelaskan tanda ditutupnya mulut nelayan, petani, buruh, mahasiswa dan profesi lainnya sebagai singgungan kepada pemerintah yang tidak mendengar suara penolakan dari rakyat, dan bahkan secara agresif menutup mulut rakyat dengan mengerahkan polisi dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengamankan para penolak undang-undang tersebut. 

"Kami menolak pengesahan undang-undang ini, sebab isinya tidak memihak kelestarian lingkungan, tidak memihak buruh, dan kepentingan rakyat lainnya," kata Riki. 

Selain itu, menurut Riki hal yang membuat rakyat marah bukan sekadar isi dari UU itu sendiri, tapi caranya DPR mensahkan UU tersebut terkesan kucing-kucingan yang tidak berasas demokrasi. 

"DPR mengesahkan undang-undang ini semaunya saja," tegas Riki.

Diketahui UU Cipta Kerja telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020.

Pewarta: Bisri Mustofa

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020