Tidak ada yang menyangka kemunculan kluster penyakit sejenis pneumonia di kota Wuhan di China pada akhir Desember 2019 akan menyebar ke seluruh dunia dan berdampak ke hampir semua negara dalam bentuk penyakit COVID-19.
COVID-19 sendiri sudah mulai diwaspadai oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Ma'ruf Amin ketika otoritas dengan sigap memulangkan warga negara Indonesia (WNI) dari provinsi Hubei sebagai episentrum wabah pada Februari 2020. Mereka langsung dibawa ke Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau untuk menjalani karantina selam dua pekan.
Namun, dengan akses masuk yang masih terbuka lebar akhirnya kasus pertama COVID-19 muncul di Tanah Air pada 2 Maret 2020. Saat itu, Presiden Joko Widodo langsung dengan sigap membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Kala itu pengetahuan akan penyakit tersebut masih minim meski memiliki kemiripan dengan penyakit SARS dan MERS yang juga menyerang sistem pernapasan. Namun, pemerintah Indonesia tetap mengantisipasi COVID-19 dengan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang mulai berlaku pada akhir Maret 2020.
Presiden juga pada 13 April 2020 menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional lewat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk, kampanye protokol kesehatan kemudian digiatkan dari tingkat nasional sampai akar rumput dengan keberadaan Gugus Tugas daerah. Protokol kesehatan mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak atau 3M menjadi mantra yang digaungkan sebagai bentuk pencegahan infeksi COVID-19 yang bisa dilakukan masyarakat umum.
Di saat bersamaan, pemerintah sadar pentingnya penguatan tenaga medis sebagai garda terdepan untuk melawan penyakit tersebut. Kala itu, masih banyak fasilitas kesehatan terutama di provinsi di luar Pulau Jawa yang masih mengalami kekurangan alat pelindung diri (APD) seperti baju hazmat dan masker medis.
Bahkan sempat menghebohkan media sosial saat muncul berbagai foto dan video tenaga medis yang menggunakan mantel hujan karena tidak memiliki APD.
Menyadari hal tersebut, pemerintah pusat pada akhir Maret langsung mendistribusikan sekitar 105 ribu APD untuk tenaga medis di seluruh Indonesia.
Tidak hanya itu, industri domestik juga didorong untuk meningkatkan produksi APD demi memenuhi kepentingan domestik dan kemandirian pasokan. Hasilnya saat ini Indonesia mampu memproduksi APD sekitar 17 juta per bulan.
Hal tersebut penting, karena dengan hampir seluruh dunia mencatatkan kasus COVID-19 tentu setiap negara akan mengutamakan memenuhi kebutuhan masing-masing dan mengurangi ekspor ke luar negeri.
Dalam rapat terbatas pada 13 April 2020, Presiden meminta kepada jajarannya untuk memastikan APD disalurkan secara merata agar tidak ada lagi keluhan karena kekurangan APD untuk mencegah penularan bagi tenaga medis yang merawat pasien COVID-19.
Selain itu, dalam rapat terbatas pada 14 April 2020, Presiden Joko Widodo juga menegaskan perlunya optimalisasi industri dalam negeri untuk penanganan COVID-19. Beberapa industri itu antara lain bahan baku obat farmasi, APD dan masker.
Dalam sektor kesehatan, selain APD pemerintah juga fokus menyiapkan ketersediaan alat seperti tes cepat (rapid test) dan tes usap PCR yang penting dalam mendeteksi pasien COVID-19. Jaringan laboratorium untuk pemeriksaan juga diperluas dengan sampai Oktober 2020 terdapat 376 jaringan laboratorium untuk pemeriksaan spesimen pasien COVID-19.
Pelacakan juga terus dilakukan pemerintah untuk mencegah penularan lebih luas dari COVID-19. Gugus Tugas, yang kini dikenal sebagai Satuan Tugas Penanganan COVID-19, juga bergerak cepat terus melakukan sosialisasi protokol kesehatan sampai ke akar rumput.
Seperti dikutip dari "Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Bangkit Untuk Indonesia Maju", pemerintah juga terus memastikan ketersediaan rumah sakit dan kesiapan tenaga medis.
Khusus untuk tenaga medis, pemerintah memberikan insentif bagi mereka yang berperan dalam perawatan pasien COVID-19 dengan dokter spesialis mendapatkan Rp15 juta, dokter umum dan gigi Rp10 juta, bidan dan perawat Rp7,5 juta serta tenaga medis lainnya Rp5 juta.
Tenaga medis yang berpulang akibat memberikan pelayanan kesehatan dan terpapar COVID-19 juga mendapatkan santunan kematian sebesar Rp300 juta.
Tenaga medis sendiri mendapatkan apresiasi tertinggi dalam situasi pandemi seperti saat ini, dengan berbagai keterbatasan mereka, bertaruh nyawa dalam perang melawan COVID-19. Lebih dari 200 tenaga kesehatan telah menjadi martir, berpulang ketika membantu menyelamatkan masyarakat dari wabah mematikan tersebut.
Gas dan Rem
Tidak hanya pada sektor kesehatan, COVID-19 juga memukul sektor lainnya seperti perekonomian yang berakibat langsung kepada kondisi masyarakat secara umum.
Dikutip dari "Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Bangkit Untuk Indonesia Maju", pandemi menuntut pemerintah bekerja cepat juga berakrobat dalam situasi darurat.
Karena itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menerapkan strategi gas dan rem untuk melawan bencana non-alam itu. Menyeimbangkan pemulihan ekonomi dan kesehatan.
Ibarat kendaraan melaju kencang dalam situasi darurat maka gas dan rem harus berjalan proporsional. Keselamatan dan kesehatan menjadi prioritas utama, berbarengan dengan pemulihan ekonomi, seperti yang dikutip dalam laporan menandai setahun pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo itu.
Melihat situasi tersebut, pemerintah menerbitkan aneka beleid sebagai payung hukum dan menghitung kembali anggaran untuk menyesuaikan dalam kondisi pandemi.
Melihat dampak pandemi yang meluas, pemerintah juga meningkatkan anggaran penanganan COVID-19 menjadi Rp695,2 triliun dengan Rp 87,55 triliun di antaranya difokuskan untuk kesehatan. Dalam RAPBN, pos anggaran serupa juga dialokasikan senilai RP 169,7 triliun mengingat dampak pandemi diduga masih berjalan hingga 2021.
Realokasi anggaran dilakukan di semua kementerian dan lembaga dengan fokus untuk mengatasi COVID-19 dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Berbagai bantuan untuk membantu masyarakat juga diberikan seperti bantuan sosial (bansos) sembako Kementerian Sosial, bantuan subsidi upah Kementerian Ketenagakerjaan dan bantuan langsung tunai (BLT) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Prinsip gas dan rem itu sendiri selalu ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan. Saat kunjungan di Bandung pada 11 Agustus 2020, dia menegaskan bahwa urusan kesehatan dan ekonomi adalah dua hal yang sama-sama penting.
Itu karena bila persoalan ekonomi tidak diurus bersamaan dengan kesehatan akan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial ekonomi di masyarakat.
Pemerintah sendiri tidak pernah mengurangi kewaspadaan dalam penanganan sektor kesehatan saat pandemi COVID-19 dan tetap menggiatkan kampanye protokol kesehatan demi mencegah kenaikan signifikan infeksi COVID-19.
Pendekatan gas dan rem itu sendiri harus dilakukan oleh pemerintah daerah dengan hati-hati, berdasarkan berbagai tahap dan indikator yang ada.
Menurut Presiden pada 30 Juni 2020, "gas dan rem" itu perlu sangat diatur agar tidak melonggarkan rem tanpa kendali yang dapat membuat naiknya angka kasus COVID-19 meski meningkatkan perekonomian.
Namun, berbagai usaha pemerintah itu juga perlu dibarengi dengan aksi yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat untuk menekan angka penularan COVID-19 sambil tetap berusaha memulihkan ekonomi Indonesia.
Seperti yang dikutip dari Laporan Tahunan 2020 yang dikeluarkan Kantor Staf Presiden, solidaritas tanpa batas di seluruh nusantara menegaskan bahwa kekuatan menghadapi wabah tak bisa disandarkan pada pemerintah saja, tapi perlu campur tangan semua pihak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
COVID-19 sendiri sudah mulai diwaspadai oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Ma'ruf Amin ketika otoritas dengan sigap memulangkan warga negara Indonesia (WNI) dari provinsi Hubei sebagai episentrum wabah pada Februari 2020. Mereka langsung dibawa ke Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau untuk menjalani karantina selam dua pekan.
Namun, dengan akses masuk yang masih terbuka lebar akhirnya kasus pertama COVID-19 muncul di Tanah Air pada 2 Maret 2020. Saat itu, Presiden Joko Widodo langsung dengan sigap membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Kala itu pengetahuan akan penyakit tersebut masih minim meski memiliki kemiripan dengan penyakit SARS dan MERS yang juga menyerang sistem pernapasan. Namun, pemerintah Indonesia tetap mengantisipasi COVID-19 dengan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang mulai berlaku pada akhir Maret 2020.
Presiden juga pada 13 April 2020 menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional lewat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk, kampanye protokol kesehatan kemudian digiatkan dari tingkat nasional sampai akar rumput dengan keberadaan Gugus Tugas daerah. Protokol kesehatan mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak atau 3M menjadi mantra yang digaungkan sebagai bentuk pencegahan infeksi COVID-19 yang bisa dilakukan masyarakat umum.
Di saat bersamaan, pemerintah sadar pentingnya penguatan tenaga medis sebagai garda terdepan untuk melawan penyakit tersebut. Kala itu, masih banyak fasilitas kesehatan terutama di provinsi di luar Pulau Jawa yang masih mengalami kekurangan alat pelindung diri (APD) seperti baju hazmat dan masker medis.
Bahkan sempat menghebohkan media sosial saat muncul berbagai foto dan video tenaga medis yang menggunakan mantel hujan karena tidak memiliki APD.
Menyadari hal tersebut, pemerintah pusat pada akhir Maret langsung mendistribusikan sekitar 105 ribu APD untuk tenaga medis di seluruh Indonesia.
Tidak hanya itu, industri domestik juga didorong untuk meningkatkan produksi APD demi memenuhi kepentingan domestik dan kemandirian pasokan. Hasilnya saat ini Indonesia mampu memproduksi APD sekitar 17 juta per bulan.
Hal tersebut penting, karena dengan hampir seluruh dunia mencatatkan kasus COVID-19 tentu setiap negara akan mengutamakan memenuhi kebutuhan masing-masing dan mengurangi ekspor ke luar negeri.
Dalam rapat terbatas pada 13 April 2020, Presiden meminta kepada jajarannya untuk memastikan APD disalurkan secara merata agar tidak ada lagi keluhan karena kekurangan APD untuk mencegah penularan bagi tenaga medis yang merawat pasien COVID-19.
Selain itu, dalam rapat terbatas pada 14 April 2020, Presiden Joko Widodo juga menegaskan perlunya optimalisasi industri dalam negeri untuk penanganan COVID-19. Beberapa industri itu antara lain bahan baku obat farmasi, APD dan masker.
Dalam sektor kesehatan, selain APD pemerintah juga fokus menyiapkan ketersediaan alat seperti tes cepat (rapid test) dan tes usap PCR yang penting dalam mendeteksi pasien COVID-19. Jaringan laboratorium untuk pemeriksaan juga diperluas dengan sampai Oktober 2020 terdapat 376 jaringan laboratorium untuk pemeriksaan spesimen pasien COVID-19.
Pelacakan juga terus dilakukan pemerintah untuk mencegah penularan lebih luas dari COVID-19. Gugus Tugas, yang kini dikenal sebagai Satuan Tugas Penanganan COVID-19, juga bergerak cepat terus melakukan sosialisasi protokol kesehatan sampai ke akar rumput.
Seperti dikutip dari "Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Bangkit Untuk Indonesia Maju", pemerintah juga terus memastikan ketersediaan rumah sakit dan kesiapan tenaga medis.
Khusus untuk tenaga medis, pemerintah memberikan insentif bagi mereka yang berperan dalam perawatan pasien COVID-19 dengan dokter spesialis mendapatkan Rp15 juta, dokter umum dan gigi Rp10 juta, bidan dan perawat Rp7,5 juta serta tenaga medis lainnya Rp5 juta.
Tenaga medis yang berpulang akibat memberikan pelayanan kesehatan dan terpapar COVID-19 juga mendapatkan santunan kematian sebesar Rp300 juta.
Tenaga medis sendiri mendapatkan apresiasi tertinggi dalam situasi pandemi seperti saat ini, dengan berbagai keterbatasan mereka, bertaruh nyawa dalam perang melawan COVID-19. Lebih dari 200 tenaga kesehatan telah menjadi martir, berpulang ketika membantu menyelamatkan masyarakat dari wabah mematikan tersebut.
Gas dan Rem
Tidak hanya pada sektor kesehatan, COVID-19 juga memukul sektor lainnya seperti perekonomian yang berakibat langsung kepada kondisi masyarakat secara umum.
Dikutip dari "Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Bangkit Untuk Indonesia Maju", pandemi menuntut pemerintah bekerja cepat juga berakrobat dalam situasi darurat.
Karena itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menerapkan strategi gas dan rem untuk melawan bencana non-alam itu. Menyeimbangkan pemulihan ekonomi dan kesehatan.
Ibarat kendaraan melaju kencang dalam situasi darurat maka gas dan rem harus berjalan proporsional. Keselamatan dan kesehatan menjadi prioritas utama, berbarengan dengan pemulihan ekonomi, seperti yang dikutip dalam laporan menandai setahun pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo itu.
Melihat situasi tersebut, pemerintah menerbitkan aneka beleid sebagai payung hukum dan menghitung kembali anggaran untuk menyesuaikan dalam kondisi pandemi.
Melihat dampak pandemi yang meluas, pemerintah juga meningkatkan anggaran penanganan COVID-19 menjadi Rp695,2 triliun dengan Rp 87,55 triliun di antaranya difokuskan untuk kesehatan. Dalam RAPBN, pos anggaran serupa juga dialokasikan senilai RP 169,7 triliun mengingat dampak pandemi diduga masih berjalan hingga 2021.
Realokasi anggaran dilakukan di semua kementerian dan lembaga dengan fokus untuk mengatasi COVID-19 dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Berbagai bantuan untuk membantu masyarakat juga diberikan seperti bantuan sosial (bansos) sembako Kementerian Sosial, bantuan subsidi upah Kementerian Ketenagakerjaan dan bantuan langsung tunai (BLT) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Prinsip gas dan rem itu sendiri selalu ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan. Saat kunjungan di Bandung pada 11 Agustus 2020, dia menegaskan bahwa urusan kesehatan dan ekonomi adalah dua hal yang sama-sama penting.
Itu karena bila persoalan ekonomi tidak diurus bersamaan dengan kesehatan akan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial ekonomi di masyarakat.
Pemerintah sendiri tidak pernah mengurangi kewaspadaan dalam penanganan sektor kesehatan saat pandemi COVID-19 dan tetap menggiatkan kampanye protokol kesehatan demi mencegah kenaikan signifikan infeksi COVID-19.
Pendekatan gas dan rem itu sendiri harus dilakukan oleh pemerintah daerah dengan hati-hati, berdasarkan berbagai tahap dan indikator yang ada.
Menurut Presiden pada 30 Juni 2020, "gas dan rem" itu perlu sangat diatur agar tidak melonggarkan rem tanpa kendali yang dapat membuat naiknya angka kasus COVID-19 meski meningkatkan perekonomian.
Namun, berbagai usaha pemerintah itu juga perlu dibarengi dengan aksi yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat untuk menekan angka penularan COVID-19 sambil tetap berusaha memulihkan ekonomi Indonesia.
Seperti yang dikutip dari Laporan Tahunan 2020 yang dikeluarkan Kantor Staf Presiden, solidaritas tanpa batas di seluruh nusantara menegaskan bahwa kekuatan menghadapi wabah tak bisa disandarkan pada pemerintah saja, tapi perlu campur tangan semua pihak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020