Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan koreksi oleh Sekretariat Negara (Setneg) terkait dengan Pasal 46 di Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengubah substansi yang telah disepakati oleh Panitia Kerja DPR.
"Yang tidak boleh diubah itu substansi, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif/typo (salah ketik) dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam Rapat Panja Baleg DPR," kata Dini di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa Pasal 46 terkait minyak dan gas bumi memang seharusnya dihapus dari UU Cipta Kerja.
Pasal 46 tersebut sejatinya merupakan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Jokowi pada hari Rabu (14/12). Namun, belakangan pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.
Supratman menjelaskan bahwa Pasal 46 UU Migas itu berkaitan dengan tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas karena Panja DPR tidak menerima usulan pemerintah soal pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Intinya Pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," kata Dini menambahkan.
Menurut Dini, Kemensetneg justru melakukan tugasnya dengan baik.
"Dalam proses cleansing final sebelum naskah dibawa kepada Presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengomunikasikan hal tersebut dengan DPR," ungkap Dini.
Dini menilai penghapusan Pasal 46 justru menjadikan substansi UU Cipta Kerja menjadi sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam rapat panja.
"Yang jelas perubahan dilakukan agar substansi sesuai dengan yang disepakati dalam rapat panja, sudah dengan sepengetahuan DPR dan diparaf oleh DPR. Perubahan dilakukan dengan proper, itu yang penting," kata Dini menegaskan.
Naskah UU Cipta Kerja memang memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Draf elektronik pertama UU Cipta Kerja beredar dengan nama "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna.pdf" pada tanggal 5 Oktober 2020, saat RUU Cipta Kerja disahkan DPR menjadi UU dengan jumlah 905 halaman.
Selanjutnya, pada Senin (12/10) pagi, beredar dokumen elektronik lain dengan nama "RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf setebal 1.035 halaman.
Masih pada hari Senin (12/10) atau sore harinya muncul lagi draf elektronik UU Cipta Kerja berjudul "RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN.pdf". Jumlah halaman pada dokumen itu menyusut menjadi 812 halaman.
Naskah setebal 812 halaman itu yang diserahkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar kepada Sekretariat Negara pada hari Rabu (14/10).
Namun, saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan sejumlah ormas Islam dan menyerahkan UU Cipta Kerja, naskah berubah lagi menjadi 1.187 halaman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
"Yang tidak boleh diubah itu substansi, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif/typo (salah ketik) dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam Rapat Panja Baleg DPR," kata Dini di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa Pasal 46 terkait minyak dan gas bumi memang seharusnya dihapus dari UU Cipta Kerja.
Pasal 46 tersebut sejatinya merupakan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Jokowi pada hari Rabu (14/12). Namun, belakangan pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.
Supratman menjelaskan bahwa Pasal 46 UU Migas itu berkaitan dengan tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas karena Panja DPR tidak menerima usulan pemerintah soal pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Intinya Pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," kata Dini menambahkan.
Menurut Dini, Kemensetneg justru melakukan tugasnya dengan baik.
"Dalam proses cleansing final sebelum naskah dibawa kepada Presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengomunikasikan hal tersebut dengan DPR," ungkap Dini.
Dini menilai penghapusan Pasal 46 justru menjadikan substansi UU Cipta Kerja menjadi sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam rapat panja.
"Yang jelas perubahan dilakukan agar substansi sesuai dengan yang disepakati dalam rapat panja, sudah dengan sepengetahuan DPR dan diparaf oleh DPR. Perubahan dilakukan dengan proper, itu yang penting," kata Dini menegaskan.
Naskah UU Cipta Kerja memang memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Draf elektronik pertama UU Cipta Kerja beredar dengan nama "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna.pdf" pada tanggal 5 Oktober 2020, saat RUU Cipta Kerja disahkan DPR menjadi UU dengan jumlah 905 halaman.
Selanjutnya, pada Senin (12/10) pagi, beredar dokumen elektronik lain dengan nama "RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf setebal 1.035 halaman.
Masih pada hari Senin (12/10) atau sore harinya muncul lagi draf elektronik UU Cipta Kerja berjudul "RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN.pdf". Jumlah halaman pada dokumen itu menyusut menjadi 812 halaman.
Naskah setebal 812 halaman itu yang diserahkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar kepada Sekretariat Negara pada hari Rabu (14/10).
Namun, saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan sejumlah ormas Islam dan menyerahkan UU Cipta Kerja, naskah berubah lagi menjadi 1.187 halaman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020