Pakar Hukum Pidana dari Universitas Riau Dr Erdianto mengatakan terdakwa Marjohan Purba dan Ilham Marisi yang menebang satu pokok pohon di areal konsesi PT RAPP tidak bisa di pidana karena mereka menebang pohon untuk kebutuhan hidupnya.
"Masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, atau karena ditebang hanya satu pokok pohon saja maka dalam hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yang terdapat dalam KUHP yaitu alasan pembenar dan pemaaf," kata Erdianto dalam keterangannya di Pekanbaru, Selasa.
Pendapat demikian disampaikannya sebagai Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa Marjohan Purba dan Ilham Marisi dari LBH Pekanbaru yang sebelumnya tampil di Pengadilan Negeri Taluk Kuantan, Senin 2 November 2020, dengan sidang perkara penebangan satu pokok pohon di areal konsesi PT RAPP.
Menurut Erdianto, alasan pembenar yaitu sebuah perbuatan pidana tertentu tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelakunya.
Alasan pembenar tersebut, katanya, lebih bersifat obyektif, kemudian makna alasan pemaaf adalah suatu alasan yang menghapus unsur kesalahan dari sebuah perbuatan pidana bukan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.
"Alasan pembenar hanya memperhatikan sisi pelaku saja bukan perbuatan sehingga lebih bersifat subjektif. Sedangkan alasan pemaaf pelaku tidak mampu bertanggungjawab secara hukum sesuai pasal 44 ayat (1) KUHP," katanya.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangannya ahli itu, Erdianto menjelaskan bahwa UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan (P3H) adalah UU yang bersifat administratif yang hadir sebagai jalan tengah atas keinginan negara yang memandang bahwa hutan adalah objek hukum yang bersifat ekonomis.
Untuk itu, hutan harus diatur tata cara pengelolaan, perlindungan dan peruntukannya dengan mengakomodir hukum yang hidup di antara masyarakat yang menganggap hutan adalah milik masyarakat yang boleh dimanfaatkan dan dikelola sepenuhnya.
"Sanksi pidana dalam penegakan UU P3H lebih menyasar kepada orang perorangan atau korporasi yang melakukan eksploitasi secara besar besaran demi mengejar keuntungan semata, bukan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang menebang kayu di hutan yang peruntukkannya bukan untuk tujuan komersil," katanya.
Kebijakan ini diperkuat dengan putusan MK No 95 tahun 2014 memuat bahwa pengecualian terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, atau karena ditebang hanya satu pokok pohon saja.
Apalagi, tindakan hukum pada terdakwa Marjohan Purba dan Ilham Marisi menimbulkan keresahan masyarakat karena penegakan hukum UU P3H yang terkesan mengkriminalisasi masyarakat dengan pemaknaan penegak hukum terhadap aturan yang terlalu positivistik.
Terdakwa Marjohan mengaku tidak mengetahui pohon yang ia tebang berada di areal konsesi PT RAPP, karena di areal tersebut tidak ada batas ataupun plang areal konsesi PT RAPP.
Sepengetahuan terdakwa lokasi ia menebang pohon berada di lahan milik masyarakat setempat. Terlebih terdakwa juga mengetahui bahwa areal itu telah ditanami karet dan tanaman lainnya tak jauh dari lokasi juga ada pondok-pondok masyarakat lainnya. Bahkan terdakwa Marjohan mengaku tidak mengetahui jenis pohon yang ia tebang.
Tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Pekanbaru yakni Noval SH menjelaskan bahwa Marjohan yang melakukan penebangan hanya diperintahkan oleh masyarakat setempat untuk menebang pohon yang nantinya kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk memperbaiki pondok masyarakat yang sudah rusak.
Sedangkan terdakwa ilham hanya ikut membantu terdakwa marjohan dalam melakukan penebangan dan melangsir kayu dari tempat penebangan yang jaraknya sekitar 300 M.
Sementara itu, Majelis Hakim mengagendakan persidangan selanjutnya dengan agenda tuntutan oleh penuntut umum pada Kamis, 5 November 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
"Masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, atau karena ditebang hanya satu pokok pohon saja maka dalam hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yang terdapat dalam KUHP yaitu alasan pembenar dan pemaaf," kata Erdianto dalam keterangannya di Pekanbaru, Selasa.
Pendapat demikian disampaikannya sebagai Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa Marjohan Purba dan Ilham Marisi dari LBH Pekanbaru yang sebelumnya tampil di Pengadilan Negeri Taluk Kuantan, Senin 2 November 2020, dengan sidang perkara penebangan satu pokok pohon di areal konsesi PT RAPP.
Menurut Erdianto, alasan pembenar yaitu sebuah perbuatan pidana tertentu tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelakunya.
Alasan pembenar tersebut, katanya, lebih bersifat obyektif, kemudian makna alasan pemaaf adalah suatu alasan yang menghapus unsur kesalahan dari sebuah perbuatan pidana bukan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.
"Alasan pembenar hanya memperhatikan sisi pelaku saja bukan perbuatan sehingga lebih bersifat subjektif. Sedangkan alasan pemaaf pelaku tidak mampu bertanggungjawab secara hukum sesuai pasal 44 ayat (1) KUHP," katanya.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangannya ahli itu, Erdianto menjelaskan bahwa UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan (P3H) adalah UU yang bersifat administratif yang hadir sebagai jalan tengah atas keinginan negara yang memandang bahwa hutan adalah objek hukum yang bersifat ekonomis.
Untuk itu, hutan harus diatur tata cara pengelolaan, perlindungan dan peruntukannya dengan mengakomodir hukum yang hidup di antara masyarakat yang menganggap hutan adalah milik masyarakat yang boleh dimanfaatkan dan dikelola sepenuhnya.
"Sanksi pidana dalam penegakan UU P3H lebih menyasar kepada orang perorangan atau korporasi yang melakukan eksploitasi secara besar besaran demi mengejar keuntungan semata, bukan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang menebang kayu di hutan yang peruntukkannya bukan untuk tujuan komersil," katanya.
Kebijakan ini diperkuat dengan putusan MK No 95 tahun 2014 memuat bahwa pengecualian terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, atau karena ditebang hanya satu pokok pohon saja.
Apalagi, tindakan hukum pada terdakwa Marjohan Purba dan Ilham Marisi menimbulkan keresahan masyarakat karena penegakan hukum UU P3H yang terkesan mengkriminalisasi masyarakat dengan pemaknaan penegak hukum terhadap aturan yang terlalu positivistik.
Terdakwa Marjohan mengaku tidak mengetahui pohon yang ia tebang berada di areal konsesi PT RAPP, karena di areal tersebut tidak ada batas ataupun plang areal konsesi PT RAPP.
Sepengetahuan terdakwa lokasi ia menebang pohon berada di lahan milik masyarakat setempat. Terlebih terdakwa juga mengetahui bahwa areal itu telah ditanami karet dan tanaman lainnya tak jauh dari lokasi juga ada pondok-pondok masyarakat lainnya. Bahkan terdakwa Marjohan mengaku tidak mengetahui jenis pohon yang ia tebang.
Tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Pekanbaru yakni Noval SH menjelaskan bahwa Marjohan yang melakukan penebangan hanya diperintahkan oleh masyarakat setempat untuk menebang pohon yang nantinya kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk memperbaiki pondok masyarakat yang sudah rusak.
Sedangkan terdakwa ilham hanya ikut membantu terdakwa marjohan dalam melakukan penebangan dan melangsir kayu dari tempat penebangan yang jaraknya sekitar 300 M.
Sementara itu, Majelis Hakim mengagendakan persidangan selanjutnya dengan agenda tuntutan oleh penuntut umum pada Kamis, 5 November 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020