Siang itu sekitar 26 murid SD Negeri 014 Tani Baru di Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, sibuk dengan alat peraga untuk mempraktikkan gaya gesek dengan metode belajar inkuiri.

"Yang permukaannya licin lebih kecil, yang permukaannya kasar lebih besar," teriak murid-murid hampir serempak menjawab pertanyaan sang guru.

Hanya dalam waktu beberapa menit mereka menyimpulkan koefisien gaya gesek yang terjadi pada benda berpermukaan lebih licin dan benda berpermukaan lebih kasar terhadap sebuah bidang datar.

"Jadi sekarang berapa gaya gesek pada permukaan kasar?" tanya sang guru.

"1,2 (newton)," teriak Alim sesaat setelah menuliskan jawaban di selembar kertas.

"Kalau yang dipermukaan licin?" tanya sang guru lagi.

"0,4 (newton)," teriak Alim lagi.

Tidak hanya Muhammad Alim yang berteriak-teriak mencoba menjawab pertanyaan gurunya pada simulasi belajar siang itu. Suasana kelas begitu riuh karena hampir semua murid berteriak mencoba menjadi yang pertama menjawab pertanyaan.

Lebih dari sekedar berlomba menjawab, beberapa dari mereka juga tidak ragu-ragu bertanya, memanggil-manggil sang guru agar menghampiri kelompoknya untuk mengevaluasi hasil pekerjaan mereka.

Suasana ini lah yang dimaksud oleh Fanny Aditya Putri (23) - salah satu dari lima peserta program "Fresh Graduated Participation in School " (FGPS) dari Total E&P Indonesie yang bekerja sama dengan The Southeast Asian Minister of Education Organization (SEAMEO) yang menjadi pengajar metode inkuiri di SD Negeri 014 Tani Baru, yang ingin diciptakan melalui metode belajar yang diadopsi dari Prancis tersebut.

Ruang kelas menjadi begitu hidup oleh antusias murid yang ingin mengetahui setiap jawaban dari pelajaran sains yang disodorkan pada mereka.

Sedangkan bagi Muhammad Alim, cara ini membuat ia dan teman-teman lainnya lebih mudah mengerti maksud dari apa yang ingin disampaikan sang guru.

Saat simulasi berlangsung, diluar ruang kelas bahkan salah seorang pengajar tetap di SD yang berlokasi di delta Sungai Mahakam dan berjarak 2,5 jam perjalanan sungai dengan kapal domfeng dari Kecamatan Anggana, Kutai Kertanegara tersebut merasa heran dengan semangat belajar para murid siang itu. "Ini hanya simulasi, kenapa mereka semangat sekali sampai tidak mau berhenti," ujar guru tersebut.

    
                               Inkuiri
Lantas bagaimana penjelasan lulusan Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung (ITB) yang baru pertama kali merasakan mengajar di daerah pelosok seperti delta Mahakam ini?

"Satu kata untuk menjelaskan metode belajar inkuiri ini, pertanyaan," ujar Fanny.

Semua dimulai dari sebuah pertanyaan yang memicu rasa penasaran murid hingga terus mencari jawabannya sendiri. Metode ini, menurut dia, sangat "akrab" dengan sains, tetapi bukan berarti dapat diterapkan di semua pelajaran ilmu pasti.

Putri pertama dari lima bersaudara dari ayah seorang polisi dan ibu seorang guru SD di Indramayu ini mengaku baru "berkenalan" dengan metode belajar yang telah banyak digunakan di sekolah-sekolah  negara maju sejak 1960-an ini melalui training 10 hari bersama SEAMEO Center for Quality Improvement for Teachers and Education Personnel (QITEP).

Barulah ia bersama empat rekan lainnya dua dari Universitas Mulawarman dan satu dari Universitas Pendidikan Nasional mengajarkan metode inkuiri ini kepada guru dan murid dari SD Negeri 014 Tani Baru, SD Negeri 015 Muara Pantuan, dan SD Negeri 016 Sepatin yang masing-masing secara berurutan berjarak 61 kilometer (km), 41 km, dan 76 km dari kota Kecamatan Anggana.

"Yang paling tidak bisa dilupakan kalau habis mengajar inkuiri pasti capek plus suara serak," kata Fanny mencoba menggambarkan bagaimana kuwalahannya mengimbangi antusias murid-murid ketika mengajarkan metode inkuiri.

Metode inkuiri menjadi pilihan untuk diajarkan oleh para "fresh graduate" melalui program FGPS setelah perusahaan migas asal Prancis Total E&P Indonesie mengirimkan perwakilan SEAMEO QITEP untuk mengikuti The 3rd International Seminar La main a la Pate on inquiry-based science learning model di Serves, Prancis, tahun 2012.

Advisor for Research and Education Total E&P Indonesie, Deden Supriyatman mengatakan metode belajar berbasis pertanyaaan ini telah terbukti berhasil diterapkan di banyak negara maju, paling tidak metode ini mampu menumbuhkan ketertarikan murid terhadap sains.

"Memang enam bulan pendampingan oleh para lulusan baru perguruan tinggi ini dirasa sebentar, tapi paling tidak sudah mampu menumbuhkan ketertarikan mereka (murid) pada sains. Kami harap 60 perusahaan migas lain yang beroperasi di daerah ini juga dapat membantu melanjutkan program belajar ini," ujar dia.

Untuk semakin menggiatkan dan memahami metode belajar inkuiri ini, Total bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kutai kertanegara juga sempat menyelenggarakan training untuk guru-guru sekolah dasar di tiga kecamatan, yakni Anggana, Samboja, dan Muara Jawa pada 2 hingga 5 April 2013.

Para peserta FGPS yang dalam program disebut sebagai ilmuwan muda yang mengambil bagian dalam training ini. Mereka, menurut Deden, yang menyampaikan materi metode inkuiri sekaligus membimbing para guru bersama SEAMEO QITEP.

Director of SEAMEO QITEP Profesor Ismunandar yang sempat mengikuti seminar tentang metode belajar inkuiri langsung di Prancis mengatakan program FGPS yang melibatkan ilmuwan muda ini telah diadopsi dan dilanjutkan penggunaannya secara rutin.

Usaha ini untuk meningkatkan kompetensi para guru di daerah pelosok dalam mengajarkan ilmu pengetahuan alam atau sains, sehingga membantu Indonesia meningkatkan kualitas pendidikan khususnya ilmu pasti.

    
                  Pelosok
Bukan tanpa alasan Total memilih tiga sekolahan di pelosok Kecamatan Anggana perairan, di delta Mahakam, yang menjadi "pilot project" pembelajaran metode inkuiri yang merupakan "community service program" untuk wilayah pelosok. Karena di wilayah delta Mahakam ini lah perusahaan migas Prancis ini beroperasi.

Terletak berdampingan langsung dengan Selat Makassar, Desa Tani Baru, Desa Muara Pantuan, dan Desa Sepatin yang berada diantara 46 pulau di delta Mahakam hanya dapat diakses dengan transportasi air.

Desa Tani Baru, tempat SDN 014 Tani Baru berada, memiliki luas area 71,5 kilometer persegi (km2) dan berjarak 61 km dari kota Kecamatan Anggana. Mayoritas penduduk  berpenghasilan sebagai nelayan dan petambak udang.

Rumah mereka mayoritas rumah panggung terbuat dari kayu, dan dibangun di atas air di sela-sela pohon bakau. Begitu pula kondisi SDN 014 Tani Baru yang dibangun diantara pohon bakau dan tambak.

Kepala Sekolah SDN 014 Tani Baru H Darta mengatakan butuh waktu paling tidak tiga jam dengan kapal bermesin 24PK dari Kecamatan Anggana, karena itu tidak mudah bagi seorang guru muda bertahan mengajar dalam waktu lama.

"Pernah satu kali guru perempuan muda bersama guru muda lainnya mengajar di sini. Hanya dalam satu hari ia lantas pergi, sedangkan guru lainnya hanya beberapa minggu dan akhirnya ikut pergi," ujar dia.

Karena itu, ia mengatakan sangat terbantu dan merasa bangga para lulusan muda perguruan tinggi yang mengikuti program FGPS dapat bertahan mengajar selama enam bulan dari November 2012 hingga April 2013.

Ia sangat berharap akan ada pemangku kepentingan lain yang melihat program yang baik ini dan ingin melanjutkannya. "Enam bulan rasanya masih kurang, tapi ya kami bersyukur karena sekarang anak-anak pun mulai berubah menjadi lebih aktif dan rasa ingin tahu nya semakin besar, itu yang penting," ujar sang kepala sekolah.

"Community Service Program" untuk sekolah terpencil menjadi program yang akan terus dikembangkan Total E&P Indonesie. Program pendidikan serupa rencananya juga akan dilaksanakan di dua tempat di mana perusahaan migas ini akan menghasilkan migas, yakni di Papua Barat dan Mentawai.

Begitu blok-blok migas baru menghasilkan, saat itu pula program pendidikan di sekolah terpencil akan dimulai. Sarjana muda yang berminat kembali akan menjalani seleksi dan yang terpilih harus rela berjauhan dengan segala bentuk peradaban modern perkotaan selama berbulan-bulan.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, ternyata tidak semua sarjana muda yang lolos seleksi akhirnya benar-benar pergi mengajar. Beberapa mundur karena merasa tidak sanggup membayangkan berada di lokasi terpencil berbulan-bulan, sedangkan beberapa lainnya tidak mendapat restu dari orang tua.

Namun demikian tidak sedikit sarjana muda yang berlomba-lomba ingin mendapatkan kesempatan mengajar metode inkuiri di sekolah terpencil. Bahkan Fanny yang telah menjalankan program FGPS di pelosok delta Mahakam berharap dapat kembali mengikuti program yang rencananya akan mengambil tempat di West Bird's Head Papua.  (ANTARA)  

Pewarta: Oleh Virna P Setyorini

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013