Pembangunan infrastruktur pariwisata di Taman Nasional (TN) Komodo harus dengan tujuan membatasi interaksi komodo dengan turis untuk tidak membiasakan hewan liar itu bertemu manusia, demikian pendapat dari beberapa akademisi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR RI.

"Keberadaan turis yang terus meningkat tidak bisa dipungkiri menjadi ancaman bagi komodo sehingga pembangunan infrastruktur mestinya justru harus mampu mengendalikan dampak negatif dari banyaknya orang tadi," kata Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam RDPU melibatkan akademisi dan masyarakat membahas pembangunan fasilitas di TN Komodo, dipantau secara virtual dari Jakarta, Senin.

Peningkatan kedatangan wisatawan terjadi secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010 terdapat sekitar 40.000 wisatawan dan naik pesat menjadi sekitar 200.000 orang dalam beberapa tahun terakhir.

Infrastruktur yang dibangun, kata guru besar bidang ilmu pengelolaan satwa liar UGM itu, harus menjalankan fungsinya sebagai pembatas interaksi antara manusia dan komodo.

Sebelumnya, pemerintah sedang dalam proses mengembangkan fasilitas pariwisata di TN Komodo dengan pembangunan di daerah Loh Buaya, Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Direncanakan sekitar 2.408 hektare (ha) dari TN Komodo, atau sekitar 1,39 persen dari luas total 173.300 ha, akan dijadikan zona pemanfaatan darat dan perairan.

Pembatasan interaksi itu juga ditegaskan oleh Achmad Ariefiandy, peneliti senior dari organisasi nirlaba Komodo Survival Program, yang dalam 17 tahun terakhir meneliti di daerah TN Komodo.

Achmad mengatakan selama ini, daerah Loh Buaya telah memiliki infrastruktur meski terpencar-pencar dan terdapat juga jalur tracking yang selama ini menyusuri hampir semua daerah lembah itu.

Di daerah itu sendiri memiliki sekitar 66 ekor komodo, dengan 15 ekor berada di daerah sekitar fasilitas yang akan dibangun oleh pemerintah dan sisanya tersebar di wilayah tersebut.

"Selain perbaikan infrastruktur juga diperlukan pengelolaan lebih baik, aktivitas wisatawannya perlu diatur juga," kata Achmad.

Sekarang yang terjadi, wisatawan masih berada dalam jarak yang cukup dekat dengan komodo yang merupakan hal sangat berbahaya bagi komodo dan manusia.

Hal itu bisa membuat komodo menjadi lebih tidak waspada dengan manusia. Padahal di habitat asli, komodo seharusnya lari ketika bertemu manusia sebagai mekanisme pertahanan alami.

"Tidak bisa dipungkiri TN memerlukan perbaikan saran dan prasarana untuk mengakomodir peningkatan kunjungan. Dengan tetap mengedepankan prinsip kehatian-hatian dan meminimalisasi interaksi antara wisatawan dengan satwa," tegas Achmad.



 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020