Presiden RI Joko Widodo menangkap kegusaran publik atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai tidak memberikan rasa keadilan.
Kepala Negara dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 menyampaikan akan meminta DPR bersama-sama pemerintah merevisi Undang-Undang ITE apabila undang-undang tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Presiden mengingatkan bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun, dia tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan.
Belakangan, kata Kepala Negara, UU ITE banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan hukum untuk membuat laporan ke pihak kepolisian. Namun dalam penerapannya, kerap timbul proses hukum yang dianggap beberapa pihak kurang memenuhi rasa keadilan.
Presiden meminta Kapolri beserta jajaran-nya lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE serta berhati-hati dalam menerjemahkan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir.
Jika perlu, menurut Presiden, dibuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pernyataan Presiden ini seakan membawa wacana revisi atas UU ITE naik kelas ke tahap selanjutnya.
Sebab pada 2016 silam, UU ITE yang disahkan pertama kali tahun 2008 itu sudah pernah direvisi, namun pasal-pasal yang dianggap berpotensi multitafsir atau pasal karet masih saja eksis.
Pada saat itu, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didorong untuk mengubah ketentuan ancaman pidana dalam UU ITE dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.
Revisi undang-undang tersebut terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.
Belakangan ini UU ITE kian mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.
Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut.
Pasal karet artinya pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas alias multitafsir. Pasal karet ini dalam implementasi-nya jelas menimbulkan ketidakadilan, lantaran dapat ditafsirkan sepihak.
Menurut Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto setidaknya ada sembilan pasal dalam UU ITE yang merupakan pasal karet yakni:
Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online atau daring.
Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini dinilai dapat digunakan untuk merepresi masyarakat yang mengkritik pemerintah, polisi, atau Presiden.
Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin melapor ke polisi. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi hoaks.
Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Hapus pasal karet
Presiden Jokowi secara tegas telah meminta dihapuskannya pasal-pasal karet dalam UU ITE. Pasal-pasal dalam sebuah undang-undang tentu saja tidak boleh berpotensi multitafsir guna memberikan kepastian hukum seadil-adilnya.
Oleh karena itu kekhawatiran publik atas dugaan adanya pasal karet dalam undang-undang tersebut patut didengar pembuat undang-undang.
Menghapus pasal karet adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa tidak. Arti menghapus disini tentu saja dilakukan terhadap makna multitafsir yang ada.
Oleh sebab itu menghapus pasal karet bisa diartikan dengan menghilangkan sepenuhnya pasal tersebut, atau mengganti kata-kata dalam pasal tersebut sehingga menjadi jelas dan konkret.
Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mendukung Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI yang akan merevisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.
Menurut Pratama, pasal-pasal berkaitan pencemaran nama baik dalam UU ITE dapat dihapus, lantaran sudah cukup diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terlebih pasal tersebut juga kerap digunakan sebagai pelaporan banyak pihak yang pada gilirannya memberikan tekanan tersendiri bagi kepolisian atas banyaknya laporan yang harus segera ditindaklanjuti.
Menurut Pratama salah satu poin penting dalam revisi UU ITE adalah agar mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual.
Dia memberi contoh, di dalam sebuah konten hoaks, misalnya, terdapat tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu. Namun, hal ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar.
Pedoman Kapolri
Anggota Badan Legislasi DPR RI Christina Aryani mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menangkap kegusaran publik atas sejumlah pasal dalam UU ITE.
Menurut dia, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan pedoman atas pelaksanaan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir dalam UU ITE.
Dalam hal ini Kapolri perlu mengeluarkan pedoman guna mengurangi masuknya laporan yang bertujuan menggunakan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir itu. Pedoman Kapolri dapat menjadi langkah awal sembari menanti revisi UU ITE.
Dia menilai apabila pedoman itu bisa mengeliminir persoalan multitafsir, maka revisi belum diperlukan. Sebaliknya, jika multitafsir masih saja terjadi, maka revisi UU ITE menjadi jalan keluar.
Apa yang disampaikan Christina Aryani memang benar, mengingat revisi UU ITE akan menyita waktu. Publik tidak boleh dibiarkan terombang-ambing oleh keberadaan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir.
Pedoman berupa Peraturan Kapolri atau Surat Edaran Kapolri diperlukan sebagai langkah jangka pendek mencegah timbulnya ketidakadilan dalam penerapan UU ITE.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Kepala Negara dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 menyampaikan akan meminta DPR bersama-sama pemerintah merevisi Undang-Undang ITE apabila undang-undang tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Presiden mengingatkan bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun, dia tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan.
Belakangan, kata Kepala Negara, UU ITE banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan hukum untuk membuat laporan ke pihak kepolisian. Namun dalam penerapannya, kerap timbul proses hukum yang dianggap beberapa pihak kurang memenuhi rasa keadilan.
Presiden meminta Kapolri beserta jajaran-nya lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE serta berhati-hati dalam menerjemahkan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir.
Jika perlu, menurut Presiden, dibuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pernyataan Presiden ini seakan membawa wacana revisi atas UU ITE naik kelas ke tahap selanjutnya.
Sebab pada 2016 silam, UU ITE yang disahkan pertama kali tahun 2008 itu sudah pernah direvisi, namun pasal-pasal yang dianggap berpotensi multitafsir atau pasal karet masih saja eksis.
Pada saat itu, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didorong untuk mengubah ketentuan ancaman pidana dalam UU ITE dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.
Revisi undang-undang tersebut terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.
Belakangan ini UU ITE kian mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.
Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut.
Pasal karet artinya pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas alias multitafsir. Pasal karet ini dalam implementasi-nya jelas menimbulkan ketidakadilan, lantaran dapat ditafsirkan sepihak.
Menurut Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto setidaknya ada sembilan pasal dalam UU ITE yang merupakan pasal karet yakni:
Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online atau daring.
Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini dinilai dapat digunakan untuk merepresi masyarakat yang mengkritik pemerintah, polisi, atau Presiden.
Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin melapor ke polisi. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi hoaks.
Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Hapus pasal karet
Presiden Jokowi secara tegas telah meminta dihapuskannya pasal-pasal karet dalam UU ITE. Pasal-pasal dalam sebuah undang-undang tentu saja tidak boleh berpotensi multitafsir guna memberikan kepastian hukum seadil-adilnya.
Oleh karena itu kekhawatiran publik atas dugaan adanya pasal karet dalam undang-undang tersebut patut didengar pembuat undang-undang.
Menghapus pasal karet adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa tidak. Arti menghapus disini tentu saja dilakukan terhadap makna multitafsir yang ada.
Oleh sebab itu menghapus pasal karet bisa diartikan dengan menghilangkan sepenuhnya pasal tersebut, atau mengganti kata-kata dalam pasal tersebut sehingga menjadi jelas dan konkret.
Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mendukung Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI yang akan merevisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.
Menurut Pratama, pasal-pasal berkaitan pencemaran nama baik dalam UU ITE dapat dihapus, lantaran sudah cukup diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terlebih pasal tersebut juga kerap digunakan sebagai pelaporan banyak pihak yang pada gilirannya memberikan tekanan tersendiri bagi kepolisian atas banyaknya laporan yang harus segera ditindaklanjuti.
Menurut Pratama salah satu poin penting dalam revisi UU ITE adalah agar mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual.
Dia memberi contoh, di dalam sebuah konten hoaks, misalnya, terdapat tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu. Namun, hal ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar.
Pedoman Kapolri
Anggota Badan Legislasi DPR RI Christina Aryani mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menangkap kegusaran publik atas sejumlah pasal dalam UU ITE.
Menurut dia, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan pedoman atas pelaksanaan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir dalam UU ITE.
Dalam hal ini Kapolri perlu mengeluarkan pedoman guna mengurangi masuknya laporan yang bertujuan menggunakan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir itu. Pedoman Kapolri dapat menjadi langkah awal sembari menanti revisi UU ITE.
Dia menilai apabila pedoman itu bisa mengeliminir persoalan multitafsir, maka revisi belum diperlukan. Sebaliknya, jika multitafsir masih saja terjadi, maka revisi UU ITE menjadi jalan keluar.
Apa yang disampaikan Christina Aryani memang benar, mengingat revisi UU ITE akan menyita waktu. Publik tidak boleh dibiarkan terombang-ambing oleh keberadaan pasal-pasal yang berpotensi multitafsir.
Pedoman berupa Peraturan Kapolri atau Surat Edaran Kapolri diperlukan sebagai langkah jangka pendek mencegah timbulnya ketidakadilan dalam penerapan UU ITE.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021