Jakarta (Antara) - Direktorat Jenderal Pengawasan Pajak mengakui sekitar 70 persen-80 persen kasus penyelewengan pajak berasal dari penerbitkan atau penggunaan faktur tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (fiktif).

Direktur Intelijen dan Penyelidikan Ditjen Pajak, Yuli Kristiyono di Jakarta, Jumat mengatakan dari seluruh kasus penyelewengan pajak sekitar 70-80 persennya berasal dari faktur palsu.

"Masalah manipulasi dalam pelaporan faktur masih menjadi hambatan kami," kata dia.

Ia mengatakan untuk meminimalisir itu pihak Ditjen Pajak akan memberikan faktur pajak bernomor tunggal sehingga perusahaan secara resmi sudah terdaftar sebagai wajib pajak (WP). Ketentuan itu sudah mulai diterapkan secara nasional mulai 1 Juni 2013.

"Itu coba kami atasi dengan pemberian identitas faktur, diharapkan perusahaan yang memberikan faktur merupakan perusahaan objek pajak yang secara resmi sudah terdaftar sebagai wajib pajak, sehingga dapat diidentifikasi," katanya.

Ia mengharapkan pegawai Ditjen Pajak juga menjaga integritas instansinya dengan baik, termasuk dengan mekanisme "whistle blower".

Tahun ini Ditjen Pajak menargetkan penyerapan pajak sebesar Rp990 triliun atau lebih tinggi dibanding tahun lalu senilai Rp880 triliun.

"Untuk mencapai hal itu kita butuh kerja keras, kalau ada apa-apa laporkan saja kepada kami," katanya.

Yuli juga mengakui adanya kasus yang melibatkan bendaharawan, jumlahnya mencapai 10 persen dari total kasus yang ditangani Ditjen Pajak. Apalagi, sejak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak lagi melakukan pemeriksaan menyeluruh di lembaga negara.

"Selain tidak melaporkan pemotongan, juga pungutan tidak disetor ke bank persepsi. Kasusnya sedang ditangani," katanya.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013