Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Selasa 22 Juni 2021, merayakan hari jadi ke-494.

Tema kegiatan hari ulang tahun (HUT) tahun ini adalah Jakarta Bangkit.

Harapannya, tentu, bersamaan dengan momentum tahun kedua pandemi COVID-19 di Tanah Air, Jakarta bisa benar-benar bangkit dari krisis multi dimensi yang dipicu oleh mahkluk mikro bernama virus corona atau "severe acute respiratory syndrome coronavirus 2" (SARS-CoV-2) ini.

Virus ini menyerang sistem pernapasan dan penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus ini bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Namun, faktanya, per Senin (21/6), Jakarta malah memimpin untuk provinsi terbanyak pertambahan kasus positif COVID-19 harian sebanyak 5.014 kasus.

Padahal, sehari sebelumnya (20/6) Kota Jakarta dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa ini juga menorehkan rekor 5.582 kasus. Angka di atas 5000 kasus ini sekitar sepertiga dari total angka kasus harian nasional dalam dua terakhir itu.

Bahkan, secara nasional, pada Senin (21/6), tekor kasus COVID di Indonesia terpecahkan dengan penambahan kasus baru tertinggi sejak pandemi dimulai pada awal Maret 2020.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut penambahan harian di Indonesia mencapai 14.536 kasus, sedangkan sebanyak 9.233 pasien dinyatakan sembuh.

Jumlah ini menambah total kasus Corona di Indonesia sejak Maret 2020 menjadi 2.004.445 kasus. Total pasien yang telah sembuh berjumlah 1.801.761 orang.

Kemudian terkait angka kematian, per 21 Juni, ada penambahan 294 kasus sehingga total kematian mencapai 54.956 orang.

Indonesia sebelumnya pernah mengalami kasus tertinggi pada 31 Januari 2021 dengan 14.518 kasus. Kemudian jumlah kasus harian bertambah dengan kisaran 6.000-12.000.

Pada 6 Februari 2021, angka kasus harian relatif tinggi juga pernah terjadi, yaitu dengan 12.156 kasus.

Angka statistik
Jakarta adalah baromoter di republik ini dan sebagai sebuah konsekuensi karena menyandang status Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).

Menilik angka itu, tak pelak, perayaan HUT ke-494 tahun ini sepertinya sebuah cambuk miris di tengah hiruk pikuk aparat terkait dalam mengendalikan penyebaran COVID-19 di Ibu Kota.

Karena itu, Gubernur Anies Baswedan saat memberikan sambutan perayaan sederhana dan terbatas serta dibarengi dengan secara virtual ini menyampaikan pesan sederhana tetapi maknanya sangat dalam.

Anies meminta agar lonjakan kasus COVID-19 itu tidak dipandang sebagai angka-angka statistik belaka, tetapi benar-benar serius.

Bahkan bisa disebut sangat serius karena dibalik menjulangnya angka-angka itu di dalamnya terdapat ribuan nyawa yang hilang.

Terlepas dari persoalan takdir, maka meninggalnya seseorang karena pandemi bisa dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan.

Artinya, kondisi Jakarta saat ini sedang tidak baik-baik saja. Diperlukan langkah penanganan luar biasa agar pandemi ini bisa dikendalikan sebab jika tidak bisa kolaps.

Tanda-tandanya sudah mulai terlihat, yakni mulai penuhnya keterisian kamar atau ruang perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit (RS) rujukan tersebar di Jakarta, RS Darurat Wisma Atlet, hingga mulai dipakainya tempat isolasi tambahan seperti di Rumah Susun Nagrak Cilincing, Jakarta Utara berkapasitas 2000 kamar lebih dari 14 tower yang ada.
Petugas kepolisian menyusun pembatas jalan saat akan melakukan penutupan jalan dalam rangka pembatasan mobilitas warga guna menekan penyebaran COVID-19 di kawasan Bulungan, Jakarta, Senin (21/6/2021). Pembatasan tersebut dilakukan mulai pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB di 10 titik di Kota Jakarta diantaranya Jalan Cikini Raya, kawasan Jalan Sabang, kawasan BKT, kawasan Kemang, PIK 2, kawasan Kota Tua dan Bulungan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.


Beberapa rumah sakit rujukan di Jakarta sudah mulai menambah tenaga medis tambahan untuk mengantisipasi lonjakan COVID-19 itu.

Lonjakan ini sepertinya berpacu dengan upaya vaksinasi DKI Jakarta dengan target 100 ribu warga per hari, guna mencapai apa yang disebut dengan kekebalan kelompok.

Presiden Joko Widodo pernah menargetkan, Pemerintah Provindi DKI mampu merealisasikan kekebalan kelompok di Ibu Kota paling cepat Agustus tahun ini atau sekitar dua bulan ke depan.

Sementara itu, upaya pemerintah pusat dengan kebijakan penebalan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara mikro resmi diberlakukan mulai 22 Juni ini hingga 5 Juli yang tertuang dalam instruksi Mendagri.

Inti dari penebalan ini adalah pengetatan aneka mobilitas warga, baik itu terkait operasional tempat usaha, tempat bisnis, perkantoran, kegiatan belajar mengajar dan kegiatan esensial ekonomi dan industri.

Contoh kongkretnya adalah jam perkantoran dibatasi, tergantung zona kantor itu berada, jika di zona merah maka penerapannnya kerja dari rumah (work from home/WFH) sebesar 75 persen dan sisanya kerja dari kantor (work from office/WFO), sedangkan di zona lainnya, 50 persen : 50 persen.

Artinya dengan kebijakan penebalan PPKM Mikro tersebut, agaknya pemerintah sudah menutup opsi diberlakukannya karantina wilayah lebih luas seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya.

Apakah ini efektif? Jawaban pertanyaan sederhana ini agaknya hanya bisa dijawab oleh publik saat ini, masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Analisis yang bisa disampaikan adalah dikembalikan kepada sejauhmana partisipasi masyarakat dalam mematuhi anjuran pemerintah sejak pandemi ini bergulir di Indonesia.

Anjuran yang simpel itu sangat-sangat dipahami dan mungkin hafal di luar kepala karena saban hari media massa dan pembicaraan terkait dengan pandemi ini tak lepas dari anjuran mematuhi protokol kesehatan (prokes) yakni 3 M dan berkembang menjadi 5 M.

Namun, bagaimana praktik di tengah-tengah masyarakat? Boleh disebut, hasil pengamatan penulis sampai saat ini hanya 10-20 persen saja yang mematuhinya.

Banyak alasan yang bisa disampaikan mengapa masyarakat sepertinya abai. Pertama, ada ketidakpercayaan bahwa pandemi ini benar-benar ada. Mereka tidak percaya bahwa virus corona ini ada, meski korban berjatuhan setiap hari menghiasi pemberitaan.

Kedua, sikap apatis atau tidak peduli terhadap apa pun, selama itu tidak terjadi pada diri sendiri dan keluarganya. Bukankah ada ungkapan di masyarakat, "Orang Indonesia itu, jika tidak mengalami sendiri atau melihat kejadian di depan mata kepala sendiri, maka jangan harap percaya!" 

Ketiga, akumulasi dari dua sebab di atas itu bermuara pada sikap dan tindakan ketika mereka melakukan mobilitas di masyarakat. Mereka hanya berpura-pura patuh dan mau menjalankan prokes ketika berpotensi bertemu dengan aparat, khususnya saat Operasi Penertiban seperti Operasi Yustisi.

Keempat, tidak percaya dengan program pemerintah terkait COVID-19 ini karena mereka menilai kebijakan penanganan dari awal pandemi tidak konsisten, bahkan pada periode tertentu tidak tegas.

Buah kelalaian
Perkiraan meledaknya kasus COVID-19 setelah masa liburan Hari Raya Idul Fitri sudah kerap kali juga diingatkan kepada masyarakat dan karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik pada 6-17 Mei 2021 untuk kedua kalinya.

Pengalaman libur hari besar keagamaan, termasuk Tahun Baru selama satu tahun terakhir, telah menimbulkan peningkatan kasus positif COVID-19, memang sudah terbukti.

Sebelum periode pelarangan itu, pemerintah melakukan pengawasan ketat dan ini dimanfaatkan dengan baik oleh mereka untuk pulang kampung dan data menunjukkan sekitar 18 juta orang melakukannya.

Ketika masa pelarangan mudik pun, meski pos penyekatan untuk pelarangan dibuat hampir 400 titik, ternyata pemudik tetap memaksakan diri dengan berbagai cara. Mereka pun lolos.

Meski saat itu, pemerintah dengan dukungan pihak terkait juga melakukan testing acak kepada mereka dan didapat hasil dari sekitar 6000-an pemudik yang menjalani tes swab antigen, sekitar 4000-an terindikasi positif COVID-19.

Lagi-lagi, informasi itu tidak digubris, gelombang mudik tak terhalangi. Praktik di lapangan dan menurut pengakuan pemudik, meski mereka diminta putar balik, nyatanya mereka hanya bersiasat untuk tetap mudik, misalnya melakukan perjalanan di malam hari, cenderung tengah malam pada saat petugas tidak di lokasi dan mereka pun lolos.

Hasilnya, rasa penasaran itu terjawab memasuki pekan ketiga dan keempat Mei 2021, saat Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran menyebut, sekitar 476 atau hampir 500 orang pemudik yang menjalani tes swab antigen di pos penyekatan arus balik dan di kepolisian sektor (Polsek), terindikasi positif COVID-19.

Setelah itu, angkanya terus naik dan sekitar seminggu setelah itu, memasuki pekan kedua Juni 2021 makin naik dan akhirnya menembus juga angka psikologis 5000 kasus per hari pada Senin (21/6).

Kini, pilihannnya kembali kepada masyarakat itu sendiri. Apakah ingin pandemi ini selesai atau tidak? Semua akan kembali para pihak. Artinya, semangat untuk keluar dari pagebluk ini publik Jakarta dan sekitarnya akan menjadi makin sulit jika tidak ada gerak bersama untuk menyelesaikannya.

Mari bergerak bersama. Mari bangkit bersama, sebelum semuanya terlambat. Jangan sampai ada penyesalan di akhir. Jangan sampai menunggu Anda dan keluarga jadi korban dari pandemi COVID-19 ini, baru akan sadar untuk mematuhi protokol kesehatan.
 

Pewarta: Edy Sujatmiko

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021