Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan pemerintah semestinya membuat Undang-Undang tersendiri yang mengatur pungutan pajak karbon.

Selain dibuat Undang-Undang tersendiri, terpisah dari Rancangan Undang-Undang-Undang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), ia juga memberikan opsi menjadikan pajak karbon sebagai cukai karbon.

“Karena kita juga bingung, nantinya carbon tax ini mau masuk ke mana? Secara garis besar hanya ada dua, PPh dan PPN. Carbon tax tak masuk ke dalam keduanya,” kata Fajry saat dihubungi Antara, di Jakarta, Rabu.
 

Saat ini pajak karbon menjadi perhatian utama para ahli dalam dalam proses perumusan revisi UU KUP. Selain masih dianggap membingungkan, pajak karbon juga mendapat penolakan dari pelaku industri.

Melalui revisi regulasi tersebut, pemerintah berencana memungut pajak karbon mulai 2022. Aturan itu menyebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan Komisi XI DPR, Senin (29/6) mengatakan penerapan pajak karbon diharapkan mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada 2021 dan 29 persen pada 2030.
 

Namun, secara keseluruhan Fajry memandang revisi UU KUP akan menjadi terobosan dalam reformasi perpajakan. Ia menilai RUU KUP sebagai reformasi perpajakan terbesar dalam sejarah perpajakan Indonesia.

“Karena sebelumnya belum ada reformasi pajak yang se-menyeluruh ini. Banyak hal yang diubah, dari PPN, AMT, GAAR, lalu soal pidana pajak, dan lainnya,” imbuh Fajry.

Ia melihat reformasi fasilitas PPN akan menjadi kontribusi terbesar dalam penerimaan pajak setelah UU KUP terbaru diterapkan.
 

Pewarta: Sanya Dinda Susanti/Satyagraha

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021