"Bengkulu berada di sepanjang 525 kilometer pantai barat yang rawan gempa bumi dan tsunami, sehingga mangrove dan hutan pantai penting sebagai sabuk pengaman".

Kalimat itu pengantar sambutan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah saat acara penanaman bibit mangrove di kawasan Pelabuhan Pulau Baai bersama sejumlah anggota Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Bengkulu.

Penanaman ratusan bibit mangrove dalam rangka HUT ke-68 TNI itu untuk merehabilitasi hutan pantai Pelabuhan Pulau Baai.

Beberapa tahun terakhir, abrasi atau pengikisan daratan semakin tinggi lajunya di wilayah itu.

Penanaman mangrove ini salah satu cara merehabilitasi, tapi tidak kalah penting menyelamatkan dan mengamankan yang masih tersisa," kata Gubernur.

Untuk itu, ia mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga dan menyelamatkan hutan mangrove dan hutan pantai yang merupakan sabuk hijau atau "grenn belt".

"Penghijauan salah satu bagian dari penyelamatan. Setelah ini perlu perawatan dan pengamanan sehingga tidak dirusak," ujarnya.

Komandan Lanal Bengkulu Letkol Laut (P) Horas Jaya Sinaga mengatakan seluas 50 hektare dihijaukan dengan mangrove di kawasan Pelabuhan Pulau Baai.

"Rencananya penanaman ini akan berkelanjutan mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya," katanya.

                   Fungsi mangrove
Hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak di garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Agus Susatya mengatakan secara ekologis ekosistem mangrove memiliki fungsi penting seperti perlidungan pantai dari abrasi.

Mangrove menjadi tempat berpijah aneka biota lau, mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, mencegah intrusi air laut ke daratan, tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia reptil dan serangga serta mengatur iklim mikro.

"Bisa dibayangkan kalau ekosistem mangrove terganggu, dampaknya cukup nyata, dan dampak itu bisa dirasakan kalau ekosistem itu sudah hilang," katanya.

Sementara untuk memulihkan ekosistem mangrove, membutuhkan waktu hingga 30 tahun.

Khusus di Bengkulu menurutnya, fungsi ekosistem mangrove lebih strategis sebagai penahan gelombang dan tsunami, sebab daerah ini memiliki potensi gempa bumi dan tsunami yang tinggi.

Namun, fungsi tersebut terus menurun seiring hilangnya ekosistem mangrove di Bengkulu dan daerah lainnya di Tanah Air.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi mengatakan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup pada 2008 menyebutkan bahwa 62 persen hutan mangrove Indonesia rusak sehingga perlu direhabilitasi.

Luas potensial hutan mangrove Indonesia mencapai 9,2 juta hektare dengan luasan yang berkondisi baik 2,5 juta hektare, kondisi rusak sedang 4,5 juta hektare dan kondisi rusak berat 2,1 juta hektare.

"Khusus di Bengkulu, berdasarkan citra satelit yang direkam pada 2012 meski belum 'chek ground' mangrove primer yang terliput ada di Pulau Enggano dan sebagian wilayah Ketahun, Bengkulu Utara," katanya.

Mangrove primer kata dia yakni ekosistem mangrove yang masih asli sedangkan mangrove sekunder adalah kawasan yang sudah pernah dirambah atau terganggu.

Ekosistem mangrove primer di Pulau Enggano yang terekam sekitar 712 hektare, sedangkan mangrove sekunder di Pulau Enggano dan sebagian wilayah Ketahun seluas 1.182 hektare.

Sementara ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah lain, seperti di sekitar Pulau Baai, Pasar Ngalam, Pasir Putih Bengkulu, Desa Pasarsebelah di Kabupaten Mukomuko tidak terbaca.

        
                          Pelestarian mangrove
Kerusakan mangrove di Bengkulu sebagian besar akibat ulah manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Kooordinator Komunitas Mangrove Bengkulu Riki Rahmansyah mengatakan kerusakan ekosistem mangrove di Bengkulu akibat alih fungsi menjadi tambak, industri, perkebunan, penebangan liar dan perluasan permukiman.

"Kondisi ini membuat kami terpanggil untuk melestarikan mangrove yang masih tersisa di Bengkulu," kata Riki.

Meski tergolong muda, komunitas ini sudah melakukan aksi nyata. Dua muara anak sungai yakni Sungai Pondokbesi dan muara anak Sungai Tapakpaderi Kota Bengkulu direhabilitasi dengan penanaman 300 batang bibit mangrove.

Ia mengatakan saat ini kondisi muara anak sungai itu menjadi saluran pembuangan limbah rumah tangga.

Limbah rumah tangga, kata dia, menjadi gangguan utama untuk merestorasi kawasan itu.

"Karena sampah-sampah dari permukiman bisa merusak tanaman muda, tapi kalau sudah tumbuh dan akarnya kuat tidak masalah," katanya.

Ada dua jenis mangrove yang dirilis di dua muara anak sungai itu yakni jenis Rhizophora apiculata dan Brugueira Sp.

Belum lama ini, anggota komunitas ini juga merilis 500 batang bibit bakau jenis Rhizpora apiculata di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang.

"Selain Pulau Enggano, mangrove yang masih tergolong baik ditemukan di Kota Bengkulu yakni di TWA Pantai Panjang, itu pun rawan alih fungsi," katanya.

Padahal, salah satu fungsi hutan bakau atau mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami.

Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan memasang "Green Belt" atau sabuk hijau hutan mangrove atau hutan bakau.

"Pesisir Bengkulu sepanjang 525 kilometer juga rawan tsunami jadi seharusnya pelestarian mangrove menjadi agenda penting," katanya.

Pewarta: Oleh Helti Marini Sipayung

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013