Bogor (Antara Bengkulu) - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyerukan perlunya penanggulangan degradasi lingkungan di wilayah pantai berhutan mangrove yang makin masif dan diikuti dengan kemiskinan penduduk di sekitarnya.

"Ini sejalan dengan strategi pembangunan 2010-2014 yang  pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja dan pro-lingkungan," kata Tenaga Ahli Menteri Kehutanan Harry Santoso saat membuka Seminar Pelestarian Hutan Mangrove yang diselenggarakan oleh  Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)  bersama PT Bintuni Utama Wood Industries di Bogor, Kamis.

Seminar bertemakan "25 Tahun Pengelolaan Hutan Mangrove oleh PT Bintuni Utama Wood Industries (BUMWI) dan Dampaknya terhadap Kesinambungan Ekosistem Mangrove" itu diselenggarakan dalam rangkaian HUT ke-50 Fakultas Kehutanan IPB dan 25 Tahun Pengelolaan Hutan Mangrove oleh BUMWI.

Alternatif  penanggulangan yang disarankan, menurut Harry, yaitu terhadap kawasan pantai yang telah dikelola masyrakat nelayan dan pesisir untuk tujuan non-komersil, perlu pemberian akses dan pemulihan hak pengelolaan sumberdaya sesuai budaya dan kearifan lokal yang telah dipraktikkan secara turun-temurun.

Hal lain yang perlu dilakukan, sambungnya, ialah hak pengelolaan sumber daya dan hak memperoleh lingkungan bersih dan sehat bagi masyarakat sekitar hutan mangrove serta mengefektifkan peran pemerintah dalam memanfaatkan pulau-pulau tidak berpenghuni dan pulau-pulau kecil terdepan.

"Kriterianya, pengelolaan hutan mangrove harus bermanfaat bagi rakyat, mengedepankan azas pemerataan dan mendorong peran masyrakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam serta mempercepat pemulihan kerusakan di kawasan pantai dan pulau-pulau kecil yang telah terdegradasi," katanya.

Sementara itu Dirut PT BUMWI, Raflis mengemukakan penyelenggaraan seminar juga dilatarbelakangi upaya menghapus stigma di tengah masyrakat dunia bahwa kerusakan yang terjadi pada areal hutan mangrove di Indonesia  akibat eksploitasi yang berlebihan atau ulah manusia.

"Mereka menuduh, kerusakan hutan mangrove terjadi akibat pemanfaatan kayu mangrove tanpa validasi sehingga terbentuk persepsi, apapun yang dilakukan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di kawasan hutan mangrove akan merusak  kelestarian hutan," ujarnya.

Padahal, lanjutnya, persepsi semacam itu terbentuk  tanpa kajian mendalam dan tanpa penyelidikan tentang  asal-usul penyebabnya.

                                                                   
               Informasi sejujurnya
Pada bagian lain Rafli mengemukakan PT BUMWI yang telah memiliki pengalaman 25 tahun mengelola hutan mangrove tergerak untuk memberikan informasi sejujurnya  dan terbuka bahwa tidak semua kegiatan atau pengelolaan hutan mangrove akan merusak lingkungan.

"Pengelolaan hutan mangrove secara bijaksana justru akan menguntungkan negara, meningkatkan kesejahteraan masyrakat sekitar kawasan hutan sekaligus menjaga lingkungan," katanya.

Menurut Rafli, memang terjadi kerusakan hutan mangrove  di beberapa tempat di Indonesia, tetapi hal itu terjadi akibat konversi  hutan mangrove untuk kepentingan lain seperti pembangunan tambak, perumahan dan peruntukan lainnya," kata Raflis.

Sebagai bukti keseriusan dalam pengelolaan dan usaha pelestarian hutan mangrove, PT BUMWI telah memperoleh Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang bersifat mandatory (wajib) dan Sertifkat Legal Harvest Verification (LHV) dari Lembaga Scientific Certification System (SCS) yang bersifat sukarela (voluntary).

 "Dalam waktu dekat ini, kami juga akan mendapatkan Sertifikat  Sustainable Forest Management (SFM) berdasar kan standar internasional dari Forest Stewardship Council (FSC)," kata Rafli.  

PT BUMWI  yang dibentuk pada l988 mendapatkan izin HPH hutan mangrove seluas 82.120 hektare di wilayah Teluk Bintuni, Papua , dan memiliki HPH sampai tahun 2052.

Seminar internasional mengenai mangrove tersebut menghadirkan sejumlah nara sumber seperti Dirjen Pengusahaan Hutan, Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono dan  mantan gubernur Papua Barnabas Suebu, Staf Ahli Menteri Kehutanan Harry Santoso serta pembicara dari Jepang Yasuko Inoue, yang saat ini menjadi  penasehat di  Kementerian Pertanian Mozambique.

Pembicara lainnya antara lain Prof Peter Sanger dari Universitas Melbourne, Benyamin Brown dari Universitas Michigan, Prof  Daniel Murdiyarso, Nyoto Santoso dan Prof Cecep Kusmana dari IPB, Gill Shepperd  dari Sekolah Ekonomi London, Rudy Pribadi (Universitas Diponegoro), Wahyudi S Pono (Universitas Papua), Max Jondudago Tokede dan Ma Hwan-Ok dari Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITT0), serta Muljadi Tantra dari Green Forest Product and Technology, Singapura. (Antara)

Pewarta: Oleh Nanang Sunarto

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013