Kupang (Antara Bengkulu) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang Johanes Tuba Helan menilai bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak tepat.

"Sejak awal saya tidak sependapat dengan rencana penerbitan Perppu dan tetap konsisten karena Perppu hanya lahir jika keadaan darurat," kata Johanes Tuba Helan yang adalah mantan Kepala Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat itu, di Kupang, Sabtu terkait Perppu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Yogyakarta, Kamis (17/10) malam, menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau Perppu MK.

Perppu MK itu berisikan tiga hal utama yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.

Dia menjelaskan, kasus yang dialami MK adalah hal biasa dan bukan suatu keadaan yang mendesak atau darurat.

Menurut dia, satu-satunya jalan keluar adalah melalui revisi UU MK dengan melarang hakim MK dari partai politik. Hakim MK lebih tepat adalah profesor dari akademisi yang diseleksi dari berbagai perguruan tinggi.

Seleksi hakim MK kata dia, juga tidak perlu melibatkan partai politik agar para hakim yang duduk di lembaga terhomat itu benar-benar jauh dari intervensi politik.  

"Selain itu ada lembaga khusus yang mengawasi kinerja MK, semisal KY sehingga ke depan tidak terulang kasus serupa yang merusak citra lembaga itu di mata masyarakat," katanya.  

Artinya, Presiden semestinya tidak perlu mengeluarkan perppu, tetapi pemerintah dapat memprakarsasi revisi UU MK, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan MK, katanya.(ant)

Pewarta: Oleh Bernadus Tokan

Editor : Ferri Aryanto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013