Pandemi COVID-19 telah menimbulkan dampak yang luas dari sisi ekonomi, sosial, hingga personal. Data Kementerian kesehatan menyebutkan kasus gangguan mental dan depresi di Indonesia mengalami peningkatan hingga 6,5 persen selama pandemi COVID-19 berlangsung.
Gangguan pada kesehatan mental yang dialami oleh sedikitnya 122 juta jiwa tersebut terjadi pada kelompok usia produktif rentang usia 15 tahun hingga 50 tahun.
Seperti dikutip dari pernyataan Pelaksana Tugas Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021, beberapa faktor penyebab depresi, antara lain persoalan keterbatasan sosial karena terlalu lama diam di rumah dan kehilangan pekerjaan atau pendapatan.
Pandemi COVID-19 selain berbahaya buat kesehatan fisik, juga telah mengancam kesehatan mental. Orang-orang terpaksa menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di luar rumah, bahkan harus mengisolasi diri ketika terpapar virus corona jenis baru itu, dan setelah melakukan perjalanan di dalam serta luar negeri.
Sejumlah riset kesehatan mental COVID-19 menemukan pikiran negatif dan pengalaman buruk berkaitan dengan isolasi dalam jangka waktu lama. Banyak pasien COVID-19 menunjukkan gejala depresif, kecemasan, dan stres pascatrauma, baik yang menjalani isolasi di rumah sakit maupun di rumah.
Ancaman gangguan kesehatan mental juga terjadi di masyarakat pada umumnya. Penyebab utama karena adanya pembatasan sosial yang bertujuan menekan angka penularan virus corona. Situasi yang serba membatasi gerak sehari-hari dapat menimbulkan perasaan tertekan atau stres.
Menurut penelitian dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat, orang-orang yang sebelum pandemi sudah memiliki lingkaran sosial terbatas lebih rentan terhadap masalah psikis. Sebab, jumlah teman atau keluarga yang bisa diajak berkomunikasi saat pandemi menjadi lebih terbatas.
Kesepian dan isolasi sosial juga meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan pada anak-anak dan remaja.
Selagi sekolah masih menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh, anak dan remaja harus lebih mendapat perhatian terkait dengan kondisi mental mereka. Remaja dan orang dewasa muda berusia 18-24 tahun diketahui banyak merasa kesepian pada masa pembatasan sosial. Padahal usia itu adalah masanya mereka mengembangkan jati diri lewat lingkungan pertemanan.
Ancaman kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di masa pandemi juga mendapat perhatian dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) yang dalam laporan utama dirilis pada 5 Oktober 2021 memperingatkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi mengalami dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap kesehatan mental mereka.
Menurut laporan berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health – laporan Unicef yang paling komprehensif tentang kesehatan mental anak-anak, remaja, dan pengasuh mereka di abad ke-21.
Berdasarkan data terbaru, diperkirakan terdapat lebih dari satu hingga tujuh remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang hidup dengan diagnosis gangguan mental.
Setiap tahun, tindakan bunuh diri merenggut nyawa hampir 46.000 anak muda. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan besar antara kebutuhan untuk mengatasi masalah kesehatan mental dengan pendanaan yang tersedia.
Laporan tersebut menemukan bahwa secara global, anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental hanya mencapai dua persen.
Sementara itu, laporan tersebut juga merilis hampir satu di antara tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu.
“Waktu 18 bulan terakhir terasa sangat, amat berat bagi kita dan terutama bagi anak-anak. Peraturan karantina nasional dan pembatasan mobilitas karena pandemi menyebabkan anak-anak harus menghabiskan waktu-waktu yang berharga dalam kehidupan mereka terpisah dari keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain, padahal semua hal ini penting bagi masa kanak-kanak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Membenani
Remaja dan orang dewasa menghadapi pandemi yang panjang bukan tidak hanya dengan kecewa, namun juga kecemasan dan perasaan terisolasi yang membebani terhadap perubahan hidup akibat wabah yang belum bisa diprediksi kapan berakhir.
Pandemi membuat orang harus melakukan banyak aktivitas dari rumah. Meski saat ini peraturan pembatasan sosial sudah lebih longgar namun sebagian besar masyarakat masih memilih untuk bekerja dan belajar dari rumah, belum mengagendakan liburan, dan bahkan mulai merasa nyaman dengan pemanfaatan layanan serba daring cukup juga dari rumah.
Pakar Kesehatan Jiwa Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. dr. Ronny Tri Wirasto mengatakan sebelum pandemi seseorang terbiasa berinteraksi langsung dengan orang lain, tetapi situasi saat ini menyebabkan seseorang tiba-tiba harus membatasi melakukan interaksi langsung.
"Cara itu (pembatasan sosial, red.), sangat efektif dalam menekan laju penyebaran virus corona. Namun, cara itu pula menimbulkan berbagai persoalan lain, salah satunya persoalan kesehatan mental pada sebagian masyarakat karena manusia harus beradaptasi pada kebiasaan yang baru," ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyerukan penguatan layanan kesehatan mental secara umum dan peningkatan akses ke layanan kesehatan mental melalui teknologi.
Selain itu, badan dunia ini juga mendesak layanan dukungan psikologis yang lebih baik di sekolah, universitas, tempat kerja, dan untuk orang-orang di garis depan perang melawan COVID-19.
Saat ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi jangka panjang menyikapi masa pandemi COVID-19 yang diprediksi masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Selain menyiapkan peta jalan hidup bersama COVID-19, pemerintah juga terus melakukan berbagai upaya persuasif untuk membiasakan masyarakat beradaptasi dengan kebiasaan baru.
Selain disiplin prokes, pemerintah terus menggencarkan penggunaan aplikasi PeduliLindungi untuk penapisan di ruang publik yang menerapkan keharusan "check-in" dan "check-out" dengan pemindaian "quick response code" (QR code) dengan aplikasi tersebut.
Aplikasi tersebut akan menjadi hub informasi warga negara Indonesia (WNI) terkait dengan pandemi COVID-19. Misalnya terkait dengan status dan sertifikat vaksin, riwayat perjalanan, hingga status penyebaran COVID-19 di lokasi tempat berada secara seketika. Penggunaan aplikasi Pedulilindungi akan semakin meningkat seiring dengan pembatasan kegiatan sosial masyarakat yang lebih longgar.
Pilihan terbaik bagi masyarakat saat ini tetap menegakkan disiplin protokol kesehatan sebagai jalan menuju adaptasi kehidupan baru. Hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah. Masyarakat harus mengubah perilaku, cara pandang, dan beradaptasi dengan kebiasaan baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Gangguan pada kesehatan mental yang dialami oleh sedikitnya 122 juta jiwa tersebut terjadi pada kelompok usia produktif rentang usia 15 tahun hingga 50 tahun.
Seperti dikutip dari pernyataan Pelaksana Tugas Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021, beberapa faktor penyebab depresi, antara lain persoalan keterbatasan sosial karena terlalu lama diam di rumah dan kehilangan pekerjaan atau pendapatan.
Pandemi COVID-19 selain berbahaya buat kesehatan fisik, juga telah mengancam kesehatan mental. Orang-orang terpaksa menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di luar rumah, bahkan harus mengisolasi diri ketika terpapar virus corona jenis baru itu, dan setelah melakukan perjalanan di dalam serta luar negeri.
Sejumlah riset kesehatan mental COVID-19 menemukan pikiran negatif dan pengalaman buruk berkaitan dengan isolasi dalam jangka waktu lama. Banyak pasien COVID-19 menunjukkan gejala depresif, kecemasan, dan stres pascatrauma, baik yang menjalani isolasi di rumah sakit maupun di rumah.
Ancaman gangguan kesehatan mental juga terjadi di masyarakat pada umumnya. Penyebab utama karena adanya pembatasan sosial yang bertujuan menekan angka penularan virus corona. Situasi yang serba membatasi gerak sehari-hari dapat menimbulkan perasaan tertekan atau stres.
Menurut penelitian dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat, orang-orang yang sebelum pandemi sudah memiliki lingkaran sosial terbatas lebih rentan terhadap masalah psikis. Sebab, jumlah teman atau keluarga yang bisa diajak berkomunikasi saat pandemi menjadi lebih terbatas.
Kesepian dan isolasi sosial juga meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan pada anak-anak dan remaja.
Selagi sekolah masih menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh, anak dan remaja harus lebih mendapat perhatian terkait dengan kondisi mental mereka. Remaja dan orang dewasa muda berusia 18-24 tahun diketahui banyak merasa kesepian pada masa pembatasan sosial. Padahal usia itu adalah masanya mereka mengembangkan jati diri lewat lingkungan pertemanan.
Ancaman kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di masa pandemi juga mendapat perhatian dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) yang dalam laporan utama dirilis pada 5 Oktober 2021 memperingatkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi mengalami dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap kesehatan mental mereka.
Menurut laporan berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health – laporan Unicef yang paling komprehensif tentang kesehatan mental anak-anak, remaja, dan pengasuh mereka di abad ke-21.
Berdasarkan data terbaru, diperkirakan terdapat lebih dari satu hingga tujuh remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang hidup dengan diagnosis gangguan mental.
Setiap tahun, tindakan bunuh diri merenggut nyawa hampir 46.000 anak muda. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan besar antara kebutuhan untuk mengatasi masalah kesehatan mental dengan pendanaan yang tersedia.
Laporan tersebut menemukan bahwa secara global, anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental hanya mencapai dua persen.
Sementara itu, laporan tersebut juga merilis hampir satu di antara tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu.
“Waktu 18 bulan terakhir terasa sangat, amat berat bagi kita dan terutama bagi anak-anak. Peraturan karantina nasional dan pembatasan mobilitas karena pandemi menyebabkan anak-anak harus menghabiskan waktu-waktu yang berharga dalam kehidupan mereka terpisah dari keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain, padahal semua hal ini penting bagi masa kanak-kanak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Membenani
Remaja dan orang dewasa menghadapi pandemi yang panjang bukan tidak hanya dengan kecewa, namun juga kecemasan dan perasaan terisolasi yang membebani terhadap perubahan hidup akibat wabah yang belum bisa diprediksi kapan berakhir.
Pandemi membuat orang harus melakukan banyak aktivitas dari rumah. Meski saat ini peraturan pembatasan sosial sudah lebih longgar namun sebagian besar masyarakat masih memilih untuk bekerja dan belajar dari rumah, belum mengagendakan liburan, dan bahkan mulai merasa nyaman dengan pemanfaatan layanan serba daring cukup juga dari rumah.
Pakar Kesehatan Jiwa Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. dr. Ronny Tri Wirasto mengatakan sebelum pandemi seseorang terbiasa berinteraksi langsung dengan orang lain, tetapi situasi saat ini menyebabkan seseorang tiba-tiba harus membatasi melakukan interaksi langsung.
"Cara itu (pembatasan sosial, red.), sangat efektif dalam menekan laju penyebaran virus corona. Namun, cara itu pula menimbulkan berbagai persoalan lain, salah satunya persoalan kesehatan mental pada sebagian masyarakat karena manusia harus beradaptasi pada kebiasaan yang baru," ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyerukan penguatan layanan kesehatan mental secara umum dan peningkatan akses ke layanan kesehatan mental melalui teknologi.
Selain itu, badan dunia ini juga mendesak layanan dukungan psikologis yang lebih baik di sekolah, universitas, tempat kerja, dan untuk orang-orang di garis depan perang melawan COVID-19.
Saat ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi jangka panjang menyikapi masa pandemi COVID-19 yang diprediksi masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Selain menyiapkan peta jalan hidup bersama COVID-19, pemerintah juga terus melakukan berbagai upaya persuasif untuk membiasakan masyarakat beradaptasi dengan kebiasaan baru.
Selain disiplin prokes, pemerintah terus menggencarkan penggunaan aplikasi PeduliLindungi untuk penapisan di ruang publik yang menerapkan keharusan "check-in" dan "check-out" dengan pemindaian "quick response code" (QR code) dengan aplikasi tersebut.
Aplikasi tersebut akan menjadi hub informasi warga negara Indonesia (WNI) terkait dengan pandemi COVID-19. Misalnya terkait dengan status dan sertifikat vaksin, riwayat perjalanan, hingga status penyebaran COVID-19 di lokasi tempat berada secara seketika. Penggunaan aplikasi Pedulilindungi akan semakin meningkat seiring dengan pembatasan kegiatan sosial masyarakat yang lebih longgar.
Pilihan terbaik bagi masyarakat saat ini tetap menegakkan disiplin protokol kesehatan sebagai jalan menuju adaptasi kehidupan baru. Hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah. Masyarakat harus mengubah perilaku, cara pandang, dan beradaptasi dengan kebiasaan baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021