Hutan Lindung (HL) Lampeong--Gunung Lumut merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis yang belum terjamah berlokasi di Kabupaten Barito Utara (Barut), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kawasan hutan ini membentang di sepanjang pergunungan di batas antara Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.  

Posisi geografis HL Lampeong--Gunung Lumut yang berada di pegunungan menjadikannya penting secara ekologis karena merupakan pengatur tata air (water regime) bagi beberapa sungai penting yang ada di ketiga provinsi itu. Secara sosial-budaya, nilai terpenting kawasan lindung ini yakni tradisi pengiriman arwah masyarakat Dayak penganut Kaharingan.  

Gunung Lumut dalam kepercayaan Kaharingan diyakini sebagai tempat persemayaman dan pembersihan arwah orang yang meninggal, termasuk roh-roh leluhur mereka, sebelum pada akhirnya menuju ke langit atau surga.        

Kekhawatiran muncul sejak beberapa tahun silam saat perusahaan tambang mulai melakukan eksplorasi dalam kawasan dan aktivitas perusahaan sawit semakin mendekati hutan lindung yang berada di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara tersebut.

Masyarakat desa lantas sadar jika status hutan lindung ternyata tidak cukup mampu menghalau para pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Karena itu, sejak 2005 inisiatif pengusulan perubahan kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut oleh masyarakat yang didukung Pemerintah Kabupaten Barito Utara menjadi kawasan taman nasional cagar biosfer berjalan.

Program Manager WWF Indonesia di Kalteng Rosenda Chandra Kasih mengatakan keterlibatan WWF dalam pengusulan kawasan lindung menjadi taman nasional karena melihat keinginan masyarakat untuk melindungi kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi ini sejalan dengan program inisiatif Heart of Borneo (HoB).

"Hasil pemetaan daerah konservasi tinggi WWF melihat Kalteng dapat menjadi 'window display conservation', karena itu isu ini (pengusulan Hutan Lindung Lampeong--Gunung Lumut menjadi taman nasional) kami kawal," katanya.

Koordinator Program Muller Schwaner WWF Indonesia, Ambang Wijaya mengatakan pihaknya telah mengumpulkan data dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten selama empat tahun sejak 2009 sehingga sudah dapat melihat ada kekhasan dari kawasan yang bersinggungan dengan kepentingan keagamaan.

Masyarakat desa disekitar kawasan lindung saat ini, menurut dia, menginginkan proteksi terhadap gunung yang mereka anggap sakral. Mereka juga meminta agar masyarakat tidak kehilangan akses terhadap hutan di Gunung Lumut jika kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional.

"Kalau tambang beroperasi di sana (Hutan Lindung Lampeong--Gunung Lumut) belum ada, tapi  investor sudah mencari-cari. Masalahnya orang-orang di Pemerintahan Daerah itu tidak begitu paham lokasi tambang, mereka biasanya mempersilahkan saja kalau ada pihak yang ingin mengeksplorasi," ujar dia.

    
                   Menunggu Taman Nasional
Proses penetapan satu kawasan hutan menjadi taman nasional tidak lah sebentar, dibutuhkan berbagai kajian teknis dan rekomendasi dari masing-masing pemimpin daerah.  

Surat Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Utara tanggal 24 Agustus 2009 Nomor 47/DISHUTBUN/IV/I/2009, Rekomendasi DPRD Kabupaten Barito Utara Nomor  DPRD.B.15/10/2010 tanggal 12 April 2010, serta Usulan Bupati Barito Utara dengan Surat tanggal 21 Agustus 2010 Nomor  671.A.990/2010 mengusulkan peningkatan status kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut menjadi Taman Nasional sudah lama dikeluarkan.

Rekomendasi Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 24 Juli 2013 Nomor 522/1264/Dishut atas dasar Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah dengan surat tanggal 26 Maret 2013 Nomor 522.1.100/484/Dishut pun sudah dikantongi sebagai syarat pengajuan kawasan hutan tersebut menjadi taman nasional.

Dalam pertemuan pemangku kepentingan di Palangka Raya pada pertengahan November 2013 yang merupakan perwakilan Dinas Kehutanan Kalteng, Yayasan Gunung Lumut--Muller, masyarakat beberapa desa di sekitar Hutan Lindung, dan Ketua Majelis Agama Kaharingan Barito Utara.

Lampeong-Gunung Lumut, WWF Indonesia--Kalteng menyepakati kesimpulan yang diantaranya meminta kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar melakukan moratorium perizinan di sekitar kawasan yang diusulkan sebagai Taman Nasional.

Mereka juga meminta agar kawasan Gunung Peyuyan dan Gunung Penyenteau merupakan bagian tidak terpisahkan dari Gunung Lumut dan akan diusulkan sebagai kawasan perluasan Taman Nasional Gunung Lumut.

Kawasan Hutan Lindung Lampeong--Gunung Lumut seluas lebih dari 20.000 hektare (ha) awalnya masuk areal HPH PT Indexim Utama. Namun, menurut Kepala Unit Pembinaan Hutan PT Indexim Utama Jamaluddin, sejak 1999 telah dilakukan enclave atau pelepasan lahan untuk kepentingan umum seluas lahan yang sekarang menjadi kawasan lindung tersebut.

PT Indexim Utama yang memiliki luas area 52,480 ha memang menjadi perusahaan yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Lindung Lampeong--Gunung Lumut. Satu-satunya jalan untuk masuk ke kawasan lindung tersebut hanya melalui jalan milik Indexim.

Karena itu, ia mengatakan aktivitas ilegal seperti upaya pembalakan liar yang terjadi pada 2004 di kawasan hutan lindung dapat diketahui perusahaan dan dicegah.

PT Indexim Utama telah mengetahui inisiatif masyarakat sekitar kawasan hutan lindung untuk melindungi Gunung Lumut, namun baru-baru ini saja mengetahui pengajuan kawasan tersebut menjadi taman nasional.

Wakil Manager Camp Seroja Sei Mea, Agus Setio Sadmoko mengatakan perusahaan pun tidak keberatan jika jalan mereka dipergunakan sebagai pintu masuk jika kawasan hutan lindung tersebut disetujui menjadi taman nasional.

Ketua Yayasan Gunung Lumut-Muller Syahdan Sindrah mengatakan dokumen usulan peningkatan status kawasan Hutan Lindung Lampeong--Gunung Lumut menjadi taman nasional sudah sampai ke Menteri Kehutanan. Saat ini proses pengusulan menunggu hasil kerja tim dari Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan terkaitan zonasi kawasan. (Antara)

Pewarta: Oleh Virna P Setyorini

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013