Sydney (Antara/AFP) - Mantan presiden Timor Timur Jose Ramos-Horta pada Rabu memperingatkan Australia untuk tidak meremehkan kerusakan akibat dugaan penyadapan, yang dikatakannya membuat marah negaranya.
Australia dituduh menggunakan program bantuan sebagai selubung menempatkan alat penyadap di kantor perdana menteri Timor Timur serta di ruang sidang kabinet selama berlangsung perundingan kesepakatan gas Laut Timor pada 2004.
Timor Timur membawa kasus sengketa ke Denhaag terhadap Canberra, dengan menuduh Australia telah melakukan kegiatan mata-mata untuk mendapatkan keuntungan komersil serta berupaya membuat kesepakatan pembagian keuntungan 50-50 dari nilai 40 miliar dolar Australia (Rp434 triliun) yang telah ditandatangani menjadi buyar.
Ramos-Horta, yang sekarang menjabat sebagai utusan khusus sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan dirinya pada saat itu tidak tahu bahwa Australia akan menyalahi kantor-kantor mereka.
"Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan Australia untuk membangun kepercayaan di antara rakyat atau pemimpin Timor Timur. Saya berharap Australia tidak menyepelekan kemarahan ini, kekecewaan bahwa mereka melakukan kegiatan mata-mata, spionase yang telah disebabkannya terhadap Indonesia dan Timor Leste," katanya.
Australia juga dituduh menyadap telepon Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, isterinya serta sejumlah orang dekatnya tahun 2009.
Ramos-Horta mengatakan akan bisa dimengerti jika Canberra memata-matai negara-negara seperti Korea Utara, tapi bukan negara-negara tetangga dan sekutunya.
"Ketika mereka mencoba mencuri dengar percakapan telepon presiden Indonesia, yang merupakan negara sahabat, atau isterinya, atau ketika mereka memata-matai negara sahabat seperti Timor-Leste, yang dibantu Australia menjadi merdeka pada tahun 1999 dan dianggap Australia sebagai sahabat, wah ini betul-betul menyepelekan hubungan kita yang telah berjalan selama 10 tahun," ujarnya.
Sebagai utusan PBB, Ramos-Horta memainkan peranan kunci dalam menjalankan lobi bagi Australia dalam mendapatkan kursi di Dewan Keamanan tahun lalu.
Namun, Ramos-Horta mengatakan jika saja ia dan badan dunia itu tahu soal dugaan aksi mata-mata, cerita akan menjadi berbeda.
"Kalau kita tahu bahwa Australia sedang memata-matai kita dan sahabat-sahabat kita... kalau kabar itu terungkap sebelum berlangsungnya pemungutan suara untuk (kursi) di Dewan Keamanan PBB setahun lalu, saya tidak yakin bahwa Australia akan mendapatkan kursi tersebut," katanya.
Australia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk masa dua tahun mulai bulan Januari.
Ramos-Horta mengatakan Canberra harus lebih sensitif dan terbuka serta mengakui kesalahannya.
"Australia gemar mengguri Timor Leste dan negara-negara lainnya soal keterbukaan dan integritas pada kehidupan publik. Yah, ini bukan contoh yang baik soal keterbukaan dan kejujuran," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
Australia dituduh menggunakan program bantuan sebagai selubung menempatkan alat penyadap di kantor perdana menteri Timor Timur serta di ruang sidang kabinet selama berlangsung perundingan kesepakatan gas Laut Timor pada 2004.
Timor Timur membawa kasus sengketa ke Denhaag terhadap Canberra, dengan menuduh Australia telah melakukan kegiatan mata-mata untuk mendapatkan keuntungan komersil serta berupaya membuat kesepakatan pembagian keuntungan 50-50 dari nilai 40 miliar dolar Australia (Rp434 triliun) yang telah ditandatangani menjadi buyar.
Ramos-Horta, yang sekarang menjabat sebagai utusan khusus sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan dirinya pada saat itu tidak tahu bahwa Australia akan menyalahi kantor-kantor mereka.
"Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan Australia untuk membangun kepercayaan di antara rakyat atau pemimpin Timor Timur. Saya berharap Australia tidak menyepelekan kemarahan ini, kekecewaan bahwa mereka melakukan kegiatan mata-mata, spionase yang telah disebabkannya terhadap Indonesia dan Timor Leste," katanya.
Australia juga dituduh menyadap telepon Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, isterinya serta sejumlah orang dekatnya tahun 2009.
Ramos-Horta mengatakan akan bisa dimengerti jika Canberra memata-matai negara-negara seperti Korea Utara, tapi bukan negara-negara tetangga dan sekutunya.
"Ketika mereka mencoba mencuri dengar percakapan telepon presiden Indonesia, yang merupakan negara sahabat, atau isterinya, atau ketika mereka memata-matai negara sahabat seperti Timor-Leste, yang dibantu Australia menjadi merdeka pada tahun 1999 dan dianggap Australia sebagai sahabat, wah ini betul-betul menyepelekan hubungan kita yang telah berjalan selama 10 tahun," ujarnya.
Sebagai utusan PBB, Ramos-Horta memainkan peranan kunci dalam menjalankan lobi bagi Australia dalam mendapatkan kursi di Dewan Keamanan tahun lalu.
Namun, Ramos-Horta mengatakan jika saja ia dan badan dunia itu tahu soal dugaan aksi mata-mata, cerita akan menjadi berbeda.
"Kalau kita tahu bahwa Australia sedang memata-matai kita dan sahabat-sahabat kita... kalau kabar itu terungkap sebelum berlangsungnya pemungutan suara untuk (kursi) di Dewan Keamanan PBB setahun lalu, saya tidak yakin bahwa Australia akan mendapatkan kursi tersebut," katanya.
Australia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk masa dua tahun mulai bulan Januari.
Ramos-Horta mengatakan Canberra harus lebih sensitif dan terbuka serta mengakui kesalahannya.
"Australia gemar mengguri Timor Leste dan negara-negara lainnya soal keterbukaan dan integritas pada kehidupan publik. Yah, ini bukan contoh yang baik soal keterbukaan dan kejujuran," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013