Jakarta, (Antara) - Persahabatan Indonesia dan Australia sebagai negara bertetangga tak selalu sejalan.
Kerap ada kisah dan kondisi yang menunjukkan bahwa hubungan kedua negara tersandung kerikil karena jalan yang ditempuh tak senantiasa mulus.
Perbedaan pandangan banyak mewarnai kalangan pemerintahan sehingga wajar memunculkan pertanyaan tentang Aussie sebenarnya sahabat ataukah musuh.
Kita tak bisa langsung menjawabnya. Lihatlah film dokumenter "Indonesia Calling" yang dibuat oleh sineas Belanda, Joris Ivens, pada 1946.
Film berdurasi 22 menit itu menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Australia, berupa semangat kerja sama yang muncul secara spontan pada saat pemuda Indonesia membutuhkan dukungan pada awal kemerdekaan Indonesia dan rakyat Australia menjawab dengan dukungan dan bantuan yang luar biasa kepada rakyat Indonesia.
Film tersebut menggambarkan perjuangan kemerdekaan oleh masyarakat Indonesia di Australia terhadap pemerintah Belanda yang melalui pelabuhan-pelabuhan di Australia hendak mengirimkan pasukan dan senjata untuk menjajah kembali Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia yang dibawa Belanda ke Australia - setelah Jepang merebut Hindia Belanda pada Perang Dunia II - demonstrasi dengan menolak bekerja dengan pihak Belanda, baik dari kalangan buruh, pelaut, maupun tentara yang telah dilatih oleh pemerintah Belanda.
Dengan dukungan kuat dari publik Australia serta Australian "Waterside Workers Union", buruh dan para pelaut Indonesia, China, India berhasil memboikot kapal-kapal Belanda ke Indonesia, yang dikenal sebagai The Black Armada.
Selama beberapa tahun upaya pemboikotan tersebut berhasil menahan ratusan kapal Belanda ke Indonesia.
"Sepenggal catatan sejarah ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia maupun Australia," kata Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema saat nonton bersama film dokumenter itu di KBRI Canberra dalam Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2013. Pejabat pemerintah, akademisi, pengamat, dan masyarakat, banyak yang ikut menonton film tersebut.
Ketika Indonesia bertekad mengusir Belanda dari Irian Barat dengan kesiapan perang pada operasi Trikora pada awal 1960-an, Australia membela Indonesia. Australia bersama AS membentuk tim diplomasi komisi tiga negara untuk dibawa ke PBB dalam penyerahan Papua ke RI.
Anehnya dalam perseteruan dengan Malaysia di Kalimantan, Australia mendukung negeri jiran itu. Pasti karena merupakan bagian dari Persemakmuran Inggris. Malaysia, Australia, dan Inggris menghadapi Indonesia.
Australia mendukung lahirnya era Rezim Orde Baru yang menjauh dari Blok Timur dan berlawanan dengan rezim Orde Lama. Australia banyak membantu dalam kelengkapan alat militer Indonesia, baik kapal, pesawat, kendaraan militer, termasuk persenjataan. Australia pun sangat mendukung integrasi Timor Timur ke wilayah Negara Kesatuan RI pada pertengahan 1970-an. Namun integrasi Timor Timur menjadi duri dalam daging bagi Indonesia.
Selama pemerintahan Soeharto, Timor Timur tetap tak berkutik di pangkuan Ibu Pertiwi meskipun di berbagai forum internasional, militer Indonesia kerap dituduh melakukan berbagai pelanggaran HAM.
Pemerintahan BJ Habibie memberi opsi bagi rakyat Timor Timur.
Musuhi RI
Dalam penyelesaian masalah Timor Timur, 1999, Aussie nyata sekali memusuhi Indonesia. Terlebih kelompok proreferendum antiintegrasi menang. Indonesia merasakan kecurangan Australia lewat UNAMET, sehingga keabsahan hasil jajak pendapat dipertanyakan khususnya oleh publik.
Sementara reaksi dunia internasional, khususnya Australia, justru semakin mencurigai adanya rekayasa pihak Indonesia, misalnya melalui kolusi TNI dengan gerakan milisi, guna mementahkan hasil jajak pendapat. Ketika Indonesia kemudian menyetujui masuknya pasukan penjaga perdamaian ke Timtim, Australia pun, yang sejak awal memang telah menyiagakan 2.000 pasukannya di Darwin, bergegas memimpin pasukan multinasional Interfet.
Persahabatan tulus dan tidak memancing-mancing kemarahan Indonesia semestinya bisa ditunjukkan oleh Aussie apalagi garis politik luar negeri pemerintahan Presiden Susilo Bambang jelas. Indonesia tidak pernah merasa memusuhi negara mana pun.
"Dengan demikian, Indonesia bisa melakukan all direction foreign policy. Kita harus menciptakan million friends and zero enemy. Kita bisa kerja sama dengan siapa pun," kata Yudhoyono dalam pidato seusai dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Boediono untuk periode 2009-2014, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, pada 20 Oktober 2009.
RI-Indonesia sangat lekat memerangi terorisme menyusul tragedi bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005) yang banyak menewaskan korban.
"Tragedi bom bali juga adalah salah satu titik balik atau turning point dari hubungan diplomatik kedua negara setelah bencana Tsunami di Aceh. Kedua kejadian ini mengubah kebijakan John Howard saat itu dalam soal dinamika bilateral yang sempat tidak harmonis setelah peristiwa lepasnya Timor Leste dari Indonesia" kata Guru Besar Australian National University Greg Fealy, sebagaimana dilansir oleh situs Radio Australia.
Australia tampak melakukan berbagai intervensi dalam persoalan Papua dengan memelihara sejumlah tokoh Organisasi Papua Merdeka.
Kedua negara menyepakati deklarasi kerja sama kemitraan strategis komprehensif pada 2005. Tahun 2006 kedua negara menandatangani persetujuan kerangka kerja mengenai kerja sama keamanan, yang lebih dikenal dengan "Lombok Treaty". Namun tetap Australia memiliki agenda tersembunyi untuk terus mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Pasang surut
Wakil Presiden Boediono saat melakukan lawatan ke Australia baru-baru ini tidak terkejut dengan hubungan bilateral Indonesia dan Australia yang ditandai pasang surut, mengingat keduanya memiliki sejumlah perbedaan. Pasang surut hubungan itu disebabkan ideologi yang berbeda, perbedaan orientasi strategis, saling salah pengertian serta adanya salah persepsi di antara kedua negara.
Boediono mencontohkan, Indonesia dan Australia bersama-sama memberikan perhatian terhadap ancaman terorisme, seperti dengan adanya ledakan Bom Bali tahun 2002 yang menewaskan dua ribu orang tak berdosa, yang kebanyakan merupakan warga Australia. Sejumlah masalah seperti penyelundupan manusia dan obat-obatan terlarang juga menjadi isu utama bagi hubungan bilateral kedua negara, yang menjadikan keduanya lebih dekat dalam kerja sama serta koordinasi berbagai kebijakan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terhormat dengan dipilihnya Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi Perdana Menteri Australia Tony Abbott dan Ibu Negara Margaret Aitken pada 30 September lalu.
Menurut Presiden SBY, hubungan kedua negara kini tengah berada pada momentum terbaiknya dalam rentang sejarah kedua negara.
"Kita telah berhasil melampaui masa-masa yang penuh tantangan dalam kehidupan bertetangga dekat. Kita bersyukur pembentukan kemitraan kom-prehensif pada tahun 2005 serta Perjanjian Lombok pada tahun 2006, menandai era baru dalam hubungan bilateral yang dilandasi oleh prinsip kesetaraan untuk kemajuan bersama," kata Yudhoyono kepada Abbott.
Presiden menguraikan perkembangan kerja sama perdagangan dan investasi Indonesia-Australia yang terus mencatat berbagai kemajuan. Ia menyebutkan, pada 2012, volume perdagangan kedua negara telah mencapai 10,2 miliar dollar AS, dan diharapkan pada 2015 akan bisa menembus angka 15 miliar dollar AS. Saat ini Australia merupakan satu dari sepuluh negara investor terbesar di Indonesia.
"Pada 2012 lalu, volume investasi Australia di negeri kami meningkat 700 persen dibandingkan tahun 2011. Ini merupakan lonjakan yang luar biasa," kata Kepala Negara.
Pendidikan dan pariwisata telah mempererat hubungan di antara masyarakat kedua negara. Pada tahun 2012, tercatat lebih dari 17.000 pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Australia. Sementara itu, pada tahun yang sama, sekitar 900 ribu wisatawan Australia berkunjung ke Indonesia untuk menikmati keindahan alam, budaya, dan tradisi bangsa yang khas dan unik.
Pujian dari Kepala Negara itu kini menghadapi ujian. Kemana hubungan bilateral kedua negara ke depan, bagaimana nasib hubungan kedua negara?
Paling tidak ada 14 tahap dalam jalur diplomasi bila ingin memutuskan hubungan diplomatik yakni surat protes, denials/ accusation, pemanggilan dubes untuk konsultasi, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda antinegara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antarwarganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang. Berbagai langkah tersebut tidak mesti berurutan, dan Indonesia telah mengambil empat langkah pertama.***1***
Australia sahabat atau musuh?
Sabtu, 23 November 2013 20:42 WIB 1945