Kupang (Antara) - Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, wajib membangun persahabatan dalam wadah kerja sama dengan negara-negara lain di dunia ini, namun tanpa membangun hubungan kerja sama dengan Australia, Indonesia tidak mungkin akan kiamat juga.

Demikian pandangan peraih penghargaan Justice Award 2013 dari Aliansi Pengacara Australia (ALA) Ferdi Tanoni dan pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa di Kupang, Kamis, menanggapi pasang-surutnya hubungan RI-Australia pascamerebaknya skandal penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Wetan Songa yang juga dosen hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan Australia justru memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Indonesia, karena posisi Indonesia sangat strategis serta kaya dengan sumber daya alam yang menjadi incaran negara-negara maju.

Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu menambahkan imigran kulit putih yang bermukim di Australia tidak sepenuhnya dikategorikan sebagai "European Overseas" seperti "Chinese Overseas", meski mayoritas bangsa kulit putih di Australia ini adalah keturunan Inggris.

"Mereka tidak mau disebut sebagai orang Inggris, karena masih ada pendatang dari negara-negara Eropa lainnya, seperti Italia, Jerman, Spanyol, Yunani, Prancis, Yugoslavia dan lain-lain meski tidak dominan," kata Tanoni yang sekitar 10 tahun lebih tinggal dan menetap di Canberra itu.

    
Tingkatkan kerja sama

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan sebagai negara tetangga terdekat, Indonesia dan Australia perlu meningkatkan kerja sama di segala bidang yang saling melengkapi dan saling menguntungkan dalam kesetaraan.

"Namun, apa yang dilakukan Australia terhadap Indonesia selama ini sejak Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, hanya menjadikan Indonesia sebagai seorang sahabat yang bisa menuruti kehendak Australia. Rakyat kita selalu menjadi korban dari hubungan persahabatan semu itu," katanya menegaskan.

Wetan Songa kemudian mencontohkan perjanjian sejumlah kerja sama di Laut Timor antara kedua negara yang hanya menguntungkan Australia, dimana hampir 80 persen wilayah perairan Laut Timor di antaranya dikuasai sepenuhnya oleh Australia.

Dalam hubungan dengan itu, tambah Tanoni, posisi tawar Indonesia harus dinaikkan, sekalipun Australia adalah bagian dari negara persemakmuran.

"Dunia ini kan bukan saja Australia...Tanpa Australia pun Indonesia tidak akan kiamat atau hancur seketika, karena masih banyak negara yang mau membangun kerja sama dengan Indonesia," ujarnya.

Soal memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia, Tanoni dan Wetan Songa menyatakan kurang sependapat, karena yang dipersalahkan dalam kasus ini adalah para diplomat Indonesia yang tidak mampu membangun diplomasi dalam hubungan antarbangsa.

    
Dendam kesumat
Di bagian lainnya, Tanoni menegaskan pers dan media massa di Australia, tidak memiliki dendam kesumat dengan Indonesia, meski ada peristiwa bersejarah pada masa lalu yang membuat media Australia berang dengan Indonesia terkait dengan pembunuhan lima orang wartawan Australia di Balibo, Timor Timur atau yang lebih populer dengan sebutan "Balibo Five".

"Persoalan utama dari kurang mesranya hubungan Indonesia-Australia, karena fungsi dan tugas para diplomat Indonesia di Australia, seperti Duta Besar Indonesia di Canberra serta para Konsul dan Konsul Jenderal di Australia tidak memainkan perannya secara maksimal dalam menggambarkan posisi Indonesia saat sekarang dan yang akan datang secara terus-menerus kepada publik Australia," katanya.

Ia menegaskan jika para diplomat Indonesia memainkan perannya secara maksimal, mungkin saja skandal penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono itu bisa saja tidak terjadi.

Wetan Songa menambahkan setelah masanya Adam Malik dan Moochtar Koesumaatmadja, langkah diplomasi Indonesia di dunia internasional terasa begitu hambar dan tak lagi punya gigi dengan bukti lepasnya Timor Timur dari NKRI melalui sebuah referendum yang diselenggarakan PBB pada Agustus 1999.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013