Jakarta (Antara) - Pengamat energi ReforMiner Komaidi Notonegoro mengatakan perlakukan elpiji 12 kg semestinya serupa bahan bakar jenis pertamax.

         "Keduanya sama-sama produk nonsubsidi, sehingga harganya bisa naik dan turun mengikuti pasar atau sesuai biaya pengadaannya," ujarnya di Jakarta, Minggu.

         Menurut dia, asalkan memiliki dasar yang jelas, Pertamina tidak perlu ragu menaikkan harga elpiji 12 kg.

         Kewajaran harga elpiji Pertamina, lanjutnya, bisa dibandingkan dengan produk perusahaan lain yang tidak disubsidi. Misalkan, produk Petronas yang beredar di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia.

         Komaidi juga menilai kerugian bisnis elpiji 12 kg yang ditanggung Pertamina bisa dengan mudah diverifikasi pemerintah, karena 100 persen saham BUMN tersebut milik negara.

         "Akses data untuk keperluan verifikasi kerugian Pertamina akan mudah didapat pemerintah," katanya.

         Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto juga mengatakan kenaikan harga elpiji 12 kg yang tidak mendapat subsidi merupakan domain korporasi.

         Apalagi, Pertamina mengalami kerugian Rp5-6 triliun per tahun dari bisnis elpiji 12 kg, sehingga wajar jika dinaikkan.

         "Elpiji 12 kg bukanlah barang subsidi, sehingga tidak selayaknya Pertamina sebagai korporasi merugi dan menyubsidi orang yang tidak berhak," katanya.

         Selama ini, elpiji 12 kg dikonsumsi konsumen mampu seperti kafe, restoran, ataupun rumah tangga kaya yang semestinya tidak berhak mendapat subsidi, apalagi dari korporasi seperti Pertamina.

         Menurut Dito, berdasarkan UU, subsidi hanya diberikan kepada masyarakat yang berhak dan untuk itu, sudah disediakan tabung elpiji 3 kg yang bersubsidi.

         Pertamina terakhir kali menaikkan harga elpiji 12 kg pada Oktober 2009 sebesar Rp100 per kg dari sebelumnya Rp5.750 menjadi Rp5.850 per kg.

         Sementara, biaya produksi elpiji naik dari Rp7.000 pada 2009 menjadi Rp10.000 per kg.

         Dengan biaya produksi Rp10.000 per kg dan harga jual ke agen hanya Rp4.912 per kg, maka ada selisih Rp5.000 per kg yang mesti ditanggung Pertamina.

         Jika penjualan elpiji 12 kg pada 2013 diperkirakan 977.000 ton, maka kerugian Pertamina hampir Rp5 triliun.

         Pertamina mencatat, dari 2008 sampai 2013, total kerugian Rp22 triliun.

         Kerugian disebabkan dua faktor utama yakni harga pembelian elpiji dan kurs.

         Harga bahan baku elpiji mengacu harga pasar yakni kontrak (contract price/CP) Aramco.

         Kontribusi bahan baku mencapai 80-90 persen harga jual elpiji dan 10-20 persen berupa biaya penyimpanan dan pendistribusian.

         Harga jual Pertamina yang hanya Rp5.850 per kg tergolong rendah di kawasan.

         Di China dan India, harga elpiji dijual di atas Rp12.000 tanpa subsidi, sementara Malaysia dan Thailand Rp7.000 per kg dengan subsidi.

         Badan Pemeriksa Keuangan pernah merekomendasikan agar Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg untuk menekan  kerugian.

         Kalau harga elpiji 12 kg dinaikkan Rp3.500 per kg atau Rp42.000 per tabung mulai 1 Januari 2014, maka bisa menekan kerugian Pertamina Rp3 triliun pada 2014.

         Dengan kenaikan harga Rp42.000 per tabung, Pertamina menghitung, konsumen bakal menambah pengeluaran Rp28.000-Rp42.000 per bulan.

         Untuk mengantisipasi  migrasi konsumen elpiji 12 kg ke 3 kg, Pertamina mengembangkan sistem monitoring penyaluran LPG 3 kg (SIMOL3K) mulai Desember 2013.

         Dengan sistem itu, Pertamina dapat memonitor penyaluran elpiji 3 kg hingga level pangkalan.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013