Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) tidak mengancam jiwa secara langsung, namun dapat mengakibatkan beberapa komplikasi yang berbahaya, demikian Dokter Spesialis Gastroenterologi FKUI-RSCM Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM.
Jika diabaikan dan tidak diobati dengan benar dapat menyebabkan iritasi dan peradangan pada dinding dalam kerongkongan (esofagus).
"Lama-kelamaan akan menyebabkan luka kronis, penyempitan pada kerongkongan bawah, sampai terjadi kanker esofagus," ujar Prof. Ari dalam webinar pada Kamis.
GERD adalah penyakit saluran cerna dengan gejala dan komplikasi yang mengganggu, akibat refluks atau naiknya isi lambung ke kerongkongan. GERD bisa disebabkan oleh melemahnya katup atau sfingter pada esofagus bagian bawah, sehingga tidak mampu menutup dengan baik.
Gejala utama penyakit ini adalah sensasi nyeri dan juga rasa terbakar (heartburn) pada dada dan mulut terasa pahit.
Prof. Ari menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan GERD seperti obesitas, hernia hiatal, kehamilan, pengosongan lambung yang terlambat dan skleroderma.
Selain itu, kekambuhan dari GERD juga dapat dipicu oleh beberapa aktivitas seperti merokok, mengkonsumsi makanan dalam porsi besar sekaligus, makan di waktu yang terlalu larut, mengkonsumsi makanan yang berlemak atau digoreng, mengkonsumsi minuman atau makanan berkafein, serta mengkonsumsi obat tertentu seperti aspirin.
Penanganan GERD yang tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi peradangan pada dinding dalam kerongkongan atau esofagus. Peradangan tersebut dapat menyebabkan munculnya luka hingga jaringan parut di kerongkongan sehingga penderita menjadi sulit menelan.
"Kondisi ini juga memicu terjadinya Esofagitis, Striktur Esofagus, dan Barrett’s Esophagus yaitu penyakit yang berisiko menimbulkan kanker esofagus. GERD dapat menyebabkan kematian apabila sudah terjadi perubahan struktur esofagus dan bertransformasi menjadi kanker esofagus," kata Prof. Ari.
Secara global, prevalensi GERD adalah 8-33 persen (semua umur, semua jenis kelamin). Prevalensi GERD di masing-masing negara berbeda-beda, contohnya lebih dari 25 persen di Asia Selatan dan Eropa Selatan, 18-27 persen di Amerika Utara, dan kurang dari 10 persen di Asia Timur, Asia Tenggara, Kanada, dan Prancis.
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi GERD pada penduduk perkotaan adalah 9,35 persen. Namun sebuah survei online dengan 2.045 responden, menunjukkan bahwa 57,6 persen dari mereka menderita GERD yang diketahui dengan mengisi GERD-Quesionnaire (GERD-Q).
Menurut Prof. Ari, penatalaksanaan yang paling penting dari GERD adalah dengan mencegah terjadinya kekambuhan. Oleh karenanya, perlu ada edukasi kepada penderita agar memahami faktor risiko dan pemicu dari terjadinya GERD, untuk sebisa mungkin dihindari.
"Penderita GERD juga akan direkomendasikan untuk melakukan perbaikan gaya hidup untuk mencegah kekambuhan, seperti memiliki berat badan ideal, berhenti merokok, tidak berbaring segera setelah makan, makan dengan perlahan, serta tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat pada area pinggang," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Jika diabaikan dan tidak diobati dengan benar dapat menyebabkan iritasi dan peradangan pada dinding dalam kerongkongan (esofagus).
"Lama-kelamaan akan menyebabkan luka kronis, penyempitan pada kerongkongan bawah, sampai terjadi kanker esofagus," ujar Prof. Ari dalam webinar pada Kamis.
GERD adalah penyakit saluran cerna dengan gejala dan komplikasi yang mengganggu, akibat refluks atau naiknya isi lambung ke kerongkongan. GERD bisa disebabkan oleh melemahnya katup atau sfingter pada esofagus bagian bawah, sehingga tidak mampu menutup dengan baik.
Gejala utama penyakit ini adalah sensasi nyeri dan juga rasa terbakar (heartburn) pada dada dan mulut terasa pahit.
Prof. Ari menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan GERD seperti obesitas, hernia hiatal, kehamilan, pengosongan lambung yang terlambat dan skleroderma.
Selain itu, kekambuhan dari GERD juga dapat dipicu oleh beberapa aktivitas seperti merokok, mengkonsumsi makanan dalam porsi besar sekaligus, makan di waktu yang terlalu larut, mengkonsumsi makanan yang berlemak atau digoreng, mengkonsumsi minuman atau makanan berkafein, serta mengkonsumsi obat tertentu seperti aspirin.
Penanganan GERD yang tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi peradangan pada dinding dalam kerongkongan atau esofagus. Peradangan tersebut dapat menyebabkan munculnya luka hingga jaringan parut di kerongkongan sehingga penderita menjadi sulit menelan.
"Kondisi ini juga memicu terjadinya Esofagitis, Striktur Esofagus, dan Barrett’s Esophagus yaitu penyakit yang berisiko menimbulkan kanker esofagus. GERD dapat menyebabkan kematian apabila sudah terjadi perubahan struktur esofagus dan bertransformasi menjadi kanker esofagus," kata Prof. Ari.
Secara global, prevalensi GERD adalah 8-33 persen (semua umur, semua jenis kelamin). Prevalensi GERD di masing-masing negara berbeda-beda, contohnya lebih dari 25 persen di Asia Selatan dan Eropa Selatan, 18-27 persen di Amerika Utara, dan kurang dari 10 persen di Asia Timur, Asia Tenggara, Kanada, dan Prancis.
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi GERD pada penduduk perkotaan adalah 9,35 persen. Namun sebuah survei online dengan 2.045 responden, menunjukkan bahwa 57,6 persen dari mereka menderita GERD yang diketahui dengan mengisi GERD-Quesionnaire (GERD-Q).
Menurut Prof. Ari, penatalaksanaan yang paling penting dari GERD adalah dengan mencegah terjadinya kekambuhan. Oleh karenanya, perlu ada edukasi kepada penderita agar memahami faktor risiko dan pemicu dari terjadinya GERD, untuk sebisa mungkin dihindari.
"Penderita GERD juga akan direkomendasikan untuk melakukan perbaikan gaya hidup untuk mencegah kekambuhan, seperti memiliki berat badan ideal, berhenti merokok, tidak berbaring segera setelah makan, makan dengan perlahan, serta tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat pada area pinggang," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022