Jakarta (Antara) - Setidaknya konsumsi rokok Indonesia mencapai 302 miliar batang per tahun pada tahun 2013 sehingga angka tersebut menempatkan Indonesia menjadi negara dengan perokok terbanyak di Asia Tenggara.

Konsummen rokok di Indonesia mencapai 46,16 persen. Secara keseluruhan, jumlah perokok aktif laki-laki dan perempuan naik 35 persen pada 2012 atau berkisar 61,4 juta perokok pada 2013.

Berdasarkan lembar fakta dari riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, persentase pengeluaran rokok rumah tangga termiskin mengalahkan persentase pengeluaran kebutuhan dasar utama seperti makanan bergizi, kesehatan dan pendidikan. Data tahun 2010 menunjukkan pengeluaran rokok rumah tangga termiskin sebesar 11,91 persen.

Situasi ini mengkhawatirkan karena jumlah konsumsi rokok di Indonesia terus naik setiap tahunnya.

Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2010 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit terkait tembakau terjadi pada 190.260 orang atau 12,7 persen dari seluruh kematian di tahun yang sama.

Keganasan rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga menyulut persoalan ekonomi.

    
Kerugian ekonomi
Kerugian ekonomi sebagai akibat dari hilangnya waktu produktif terkait penyakit akibat dari kebiasaan merokok diperkirakan senilai Rp105,3 triliun.

Biaya rawat inap akibat penyakit terkait merokok tercatat sebesar Rp1,85 triliun dan biaya rawat jalan sebesar Rp0,26 triliun.

Kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok sebesar Rp245,4 triliun sementara penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2010 sebesar Rp56 triliun. Artinya, kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok adalah empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.

Penghitungan beban ekonomi akibat konsumsi rokok tersebut tentu saja mempertegas kerugian yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok dari kacamata ekonomi.

Untuk menekan konsumsi rokok, pemerintah terus menaikkan cukai hasil tembakau. Akan tetapi kebijakan ini nampaknya belum mampu mengendalikan konsumsi rokok, karena meskipun pendapatan negara dari cukai hasil tembakau terus bertambah tetapi penurunan konsumsi rokok tidak signifikan.

"Permintaan rokok bersifat inelastis, besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya," kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dr. Sonny Harry B. Harmadi, dalam seminar "Tobacco Excise Earmaking for Public Health: International Experience", di Denpasar, Bali, Selasa.

"Rokok bersifat adiktif. Kenaikan harga rokok tidak membuat perokok berhenti," tambahnya.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan penerimaan cukai hasil tembakau terus meningkat dan melebihi target. Ia memaparkan 95,3 persen penerimaan cukai adalah dari rokok (HT).

Per 13 September 2013 pendapatan cukai mencapai Rp76,3 triliun atau 72,89 persen dari target APBN Perubahan 2013 sebesar Rp104,7 triliun. Perolehan cukai tersebut seiring dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (HT) berdasarkan PMK 179/PMK.011/2012.

Hal ini justru mengkhawatirkan karena penerimaan cukai tembakau yang selalu meningkat ini apakah memang disebabkan karena tarif cukai yang terus naik atau tidak ada penurunan konsumsi rokok yang signifikan meskipun

Menurut Prima ruang untuk menaikkan cukai tembakau sebenarnya sudah terbatas karena tarif cukai sudah mendekati 57 persen sebagaimana batas maksimal yang diatur UU No. 39 tahun 2007. Artinya, konsumsi rokok masih terus bertambah.

    
Promosi bahaya kesehatan

Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dr. Sonny Harry B. Harmadi mengatakan konsumsi rokok sudah terlalu mengakar yang akhirnya menjadi seperti budaya.

Menaikkan harga cukai tembakau memang bukan solusi mengendalikan konsumsi rokok tetapi menurut dia hal tersebut menjadi salah satu instrumen untuk menekan perokok generasi muda.

Berdasarkan data 2010, maka 20 persen remaja usia 15-19 tahun atau meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1995.

"Setidaknya bisa mengurangi perokok remaja dengan harga rokok yang lebih mahal," jelasnya.

Sementara itu, promosi bahaya kesehatan juga harus gencar untuk mengetuk kesadaran masyarakat bahwa rokok sangat berbahaya untuk kesehatan. Promosi kesehatan tidak hanya memerlukan komitmen pemerintah pusat tetapi juga dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah.

Penyuluh Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Dwi Adi Maryandi mengatakan promosi kesehatan di Indonesia masih kurang yakni hanya 0,96 persen.

Ia mengatakan kenaikan harga rokok yang tidak diikuti penurunan konsumsi rokok yang signifikan menunjukkan kesadaran masyarakat akan bahaya rokok masih sangat rendah.

"Untuk itu perlu dilakukan promosi kesehatan yang lebih gencar. Peran pemerintah daerah juga penting karena masalah kesehatan di tiap wilayah pasti berbeda," katanya.

Kasubdit Sinkronisasi dan Dukungan Teknis, Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Anwar Syahdat mengatakan alokasi dana untuk kesehatan akan lebih besar dengan kebijakan 10 persen pajak daerah dari cukai.

"Pajak daerah dipungut oleh cukai pusat nanti ditransfer ke daerah berdasarkan jumlah penduduknya,"

"Setidaknya 50 persen dari 10 persen tersebut nantinya untuk kesehatan termasuk promosi bahaya rokok, penegakan hukum kawasan tanpa rokok, dan penegakan hukum kawasan tanpa rokok," tambahnya.

Selanjutnya sisa dari dana tersebut sebesar 30 persen, lanjutnya, akan diberikan kepada pemerintah provinsi dan 70 persen untuk pemerintah kabupaten.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan Adijanto kebijakan ini diharapkan dapat menekan konsumsi rokok yang terus meningkat di Indonesia.

"Dengan pajak baru ini diharapkan bisa lebih baik. Tadinya kan hanya dua persen dari cukai untuk 19 provinsi di Indonesia saja, jadi tidak merata. Kalau yang ini kan pembagian dana-nya merata di Indonesia," jelas Adi.

Sebanyak dua persen dari dana bagi hasil cukai tembakau nasional diberikan kepada 19 daerah produsen tembakau yang digunakan untuk penanganan penyakit akibat rokok, pembangunan fasilitas kesehatan dan pembangunan kawasan tanpa rokok.

Selanjutnya, komitmen pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat akan kesehatan dari alokasi dana yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat.

Sedikit mengintip kesuksesan salah satu kota di negara tetangga, Filipina. Kota Balangan di Filipina sebagai salah satu kota yang berhasil menerapkan kebijakan promosi kesehatan di tingkat pemerintah daerah.

Pada kesempatan yang sama, Wali Kota Balanga Filipina Jose Enrique Garcia III mengungkapkan kisah suksesnya membangun kota yang sehat. Kota tersebut memiliki program kesehatan "Go 4 Health" yakni Go Smoke-Free, Go Slow Sa Tagay, Go Sigla, Go Sustansya.

Menurut dia,kunci keberhasilan menggalakkan gaya hidup sehat perlu dukungan kebijakan peraturan daerah, peran komunitas, koordinasi antarsektor, informasi soal kesehatan yang intensif, memberikan pelatihan dan seminat, evaluasi dan kontrol serta menciptakan lingkungan yang mendukung.

Ia menyebar CCTV di titik tertentu ysehingga petugas patroli siap menangkap kumpulan remaja yang terlihat merokok. Di sana, katanya, merokok dilarang dilakukan di ruang publik dan ruang kerja.

Penjualan rokok pun dibatasi seperti larangan menjual atau mendistribusikan rokok di sekitar sekolah dan taman bermain.

Kota tersebut juga memiliki 30 green ladies dan gencar melakukan rehabilitasi lingkungan dan program edukasi kesehatan setiap pekan.

Berdasarkan data 2012, hanya 17,53 persen warganya yang merokok. Angka ini menurun dari 23,80 persen pada 2010. Ia mengklaim penurunan penjualan rokok di kota-nya menurun 81,7 persen setelah kampanye soal bahaya rokok yang terus dilakukan.

"Aktivitas ekonomi pun terus meningkat," ujarnya.

Pewarta: Oleh Monalisa

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014