Bengkulu (Antara) - Direktur Ulayat Bengkulu Oka Andriansyah menilai ada empat penyebab terjadinya krisis air di daerah itu yakni manajemen sumber daya air lemah, peraturan yang ada tidak memadai, terjadinya pencemaran dan pemakaian air tidak efisien.
"Empat persoalan yang menjadi penyebab krisis air dapat diatasi dengan komitmen yang baik dari semua pihak," katanya di Bengkulu, Selasa.
Ia mengatakan hal itu ketika ditanya tentang penyelenggaraan rapat koordinasi teknis (Rakernis) pemantauan kualitas air sungai se-Indonesia yang digelar di Kota Bengkulu.
Kelemahan manajemen sumberdaya air, seperti lemahnya kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air, pengelolaan yang parsial membuat daerah ini mengalami krisis air.
Selain itu, pencemaran air yang semakin memburuk serta pemakaian air yang tidak efisien juga perlu menjadi perhatian semua pihak.
"Khusus di Bengkulu, kondisi Sungai Airbengkulu menjadi contoh nyata kondisi pencemaran sungai," katanya.
Sungai tersebut, tambahnya, tercemar berat akibat aktivitas industri perkebunan dan pertambangan, juga limbah domestik.
Namun, dari sejumlah pencemar itu, limbah industri seperti pencucian batu bara di hulu sungai dan pembuangan limbah pengolahan hasil perkebunan mendominasi.
Oka mengatakan semua pihak perlu menyikapi persoalan ini dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
Ada banyak instansi yang memiliki tugas pengurusan daerah aliran sungai (DAS), namun penyelenggaraannya cenderung sektoral, tidak terpadu bahkan terkadang berbenturan, dan tidak partisipatif.
"Upaya pemberdayaan masyarakat lokal pun belum mendapatkan perhatian serius dalam manajemen DAS, yang berakibat pada semakin minimnya inisiatif lokal untuk pelestarian alam dan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat yang tidak ramah lingkungan," katanya menerangkan.
Kondisi tersebut mengakibatkan degradasi dan semakin rentannya ekosistem DAS yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang berada dalam ekosistem tersebut.
Dalam laporan yang disampaikan Deputi VII Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas Hendri Bustaman mengatakan bahwa hasil pemantauan kualitas air sungai pada 2013 menemukan 80 persen sungai prioritas di Indonesia tercemar berat.
"Pemantauan dilakukan di 57 sungai prioritas di 33 provinsi dan hasilnya pada 2013, 80 persen tercemar berat," katanya.
Ia mengatakan dari 80 persen tercemar berat itu, 60 persen pencemarnya adalah limbah domestik atau sampah rumah tangga.
Dari Rakernis yang berlangsung Senin hingga Selasa (24-25/3), akan dihasilkan data kecenderungan kualitas air di berbagai sungai prioritas.
Data itu akan digunakan untuk perhitungan indeks kualitas Lingkungan Hidup Indonesia, juga untuk kepentingan berbagai instansi terkait serta mencari solusi peningkatan kualitas air sungai. ***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Empat persoalan yang menjadi penyebab krisis air dapat diatasi dengan komitmen yang baik dari semua pihak," katanya di Bengkulu, Selasa.
Ia mengatakan hal itu ketika ditanya tentang penyelenggaraan rapat koordinasi teknis (Rakernis) pemantauan kualitas air sungai se-Indonesia yang digelar di Kota Bengkulu.
Kelemahan manajemen sumberdaya air, seperti lemahnya kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air, pengelolaan yang parsial membuat daerah ini mengalami krisis air.
Selain itu, pencemaran air yang semakin memburuk serta pemakaian air yang tidak efisien juga perlu menjadi perhatian semua pihak.
"Khusus di Bengkulu, kondisi Sungai Airbengkulu menjadi contoh nyata kondisi pencemaran sungai," katanya.
Sungai tersebut, tambahnya, tercemar berat akibat aktivitas industri perkebunan dan pertambangan, juga limbah domestik.
Namun, dari sejumlah pencemar itu, limbah industri seperti pencucian batu bara di hulu sungai dan pembuangan limbah pengolahan hasil perkebunan mendominasi.
Oka mengatakan semua pihak perlu menyikapi persoalan ini dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
Ada banyak instansi yang memiliki tugas pengurusan daerah aliran sungai (DAS), namun penyelenggaraannya cenderung sektoral, tidak terpadu bahkan terkadang berbenturan, dan tidak partisipatif.
"Upaya pemberdayaan masyarakat lokal pun belum mendapatkan perhatian serius dalam manajemen DAS, yang berakibat pada semakin minimnya inisiatif lokal untuk pelestarian alam dan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat yang tidak ramah lingkungan," katanya menerangkan.
Kondisi tersebut mengakibatkan degradasi dan semakin rentannya ekosistem DAS yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang berada dalam ekosistem tersebut.
Dalam laporan yang disampaikan Deputi VII Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas Hendri Bustaman mengatakan bahwa hasil pemantauan kualitas air sungai pada 2013 menemukan 80 persen sungai prioritas di Indonesia tercemar berat.
"Pemantauan dilakukan di 57 sungai prioritas di 33 provinsi dan hasilnya pada 2013, 80 persen tercemar berat," katanya.
Ia mengatakan dari 80 persen tercemar berat itu, 60 persen pencemarnya adalah limbah domestik atau sampah rumah tangga.
Dari Rakernis yang berlangsung Senin hingga Selasa (24-25/3), akan dihasilkan data kecenderungan kualitas air di berbagai sungai prioritas.
Data itu akan digunakan untuk perhitungan indeks kualitas Lingkungan Hidup Indonesia, juga untuk kepentingan berbagai instansi terkait serta mencari solusi peningkatan kualitas air sungai. ***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014