Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Usai sudah perdebatan dalam rapat paripurna DPR RI yang menghasilkan keputusan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga Bahan bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada 1 April 2012.

Keputusan paripurna DPR RI tersebut tidak diduga oleh pemerintah yang menginginkan adanya penyesuaian harga premium dan solar bersubsidi, karena anggaran negara saat ini makin terbebani akibat harga minyak dunia makin fluktuatif dan sulit untuk diprediksi.

Dalam APBN-Perubahan 2012, DPR menetapkan subsidi energi sebesar Rp225 triliun dengan rincian subsidi BBM sebesar Rp137,4 triliun, subsidi listrik Rp65 triliun dengan cadangan resiko energi sebesar Rp23 triliun.

Padahal alokasi anggaran tersebut telah mempertimbangkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Sedangkan opsi lainnya yang memberikan subsidi energi Rp266 triliun tanpa kenaikan BBM bersubsidi justru tidak menjadi pokok pembahasan antara pemerintah dengan Badan Anggaran DPR RI.

Dengan demikian, mau tidak mau pemerintah harus melakukan penghematan sebagai upaya untuk menjaga beban subsidi yang tinggi dan mempertahankan defisit anggaran yang telah ditetapkan sebesar 2,23 persen.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, upaya penghematan seperti yang telah diinstruksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan keuangan negara.

"Anggaran untuk pembangunan semakin berkurang. Oleh sebab itu, kita harus lakukan penghematan besar-besaran. Dimulai saja dari diri kita sendiri," ujarnya.

Hatta meminta semua instansi pemerintah melakukan penghematan dengan menekan alokasi anggaran untuk hal-hal yang tidak terlalu mendesak, seperti anggaran studi banding dan perjalanan dinas.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga mengharapkan hal yang sama, semua Kementerian Lembaga mampu melakukan penghematan secara efektif untuk ikut menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Ini sudah dibahas di rapat terbatas sama Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) penegasannya semua harus disiplin dipotong penghematan itu, karena sekarang kan BBM bersusbidi belum naik," ujarnya.

Menkeu mengatakan pemerintah tetap menargetkan penghematan sebesar Rp18,9 triliun walaupun kenaikan BBM bersubsidi mengalami penundaan, karena Kementerian dan Lembaga memiliki keterbatasan untuk memotong anggaran mereka.        

"Tadinya kita punya target Rp22 triliun pengematan anggaran, tapi karena satu dan lain hal karena juga sudah ada yang direalisasi menjadi penghematannya Rp18,9 triliun. Rp18,9 triliun ini juga masih ada lembaga dan kementerian yang masih menginginkan supaya jangan dipotong semua," ujar mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini.

Penghematan yang direncanakan berlangsung secara masif dalam Kementerian Lembaga tersebut meliputi penggunaan energi seperti BBM dan listrik serta air.

Selain itu, pengalokasian BBM bersubsidi tepat sasaran, kebijakan pengendalian BBM bersubsidi secara bertahap dan konversi kepada Bahan Bakar Gas (BBG) akan terus diupayakan oleh pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk menghindari tekanan dan menjaga agar APBN Perubahan tetap sehat dan ekonomi terus bergulir dengan baik seiring dengan tidak dinaikannya BBM bersubsidi oleh pemerintah, maka langkah-langkah penghematan secara nasional dibutuhkan.

Gerakan penghematan nasional yang akan segera berlangsung ini akan dipimpin secara langsung oleh Presiden.

"Bulan April ini saya akan memimpin langkah marathon kita tiap minggu kita juga bekerja, sehingga Insya Allah pada awal Mei kita berlakukan kebijakan kita sebuah gerakan penghematan nasional," katanya.

Untuk itu, Presiden meminta dukungan kepada seluruh masyarakat luas, dunia usaha, dan seluruh pemerintahan baik di pusat maupun daerah agar gerakan ini dapat berjalan dengan baik.

Inpres Penghematan
Sebelumnya, pemerintah pernah menginstruksikan adanya penghematan energi dan air dalam lingkungan instansi Kementerian Lembaga lewat penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) nomer 13 tahun 2011 pada pertengahan tahun lalu, karena anggaran subsidi dan penggunaan kuota volume BBM diperkirakan akan melampaui asumsi.

Presiden dalam Inpres itu memerintahkan menteri/kepala LPNK, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, gubernur, dan bupati/walikota, BUMN dan BUMD, untuk melakukan penghematan energi dan air di lingkungan instansi masing-masing.

Penerbitan Inpres nomer 13 tahun 2011 ini menggantikan Inpres nomer 2 tahun 2008 yang memuat beberapa instruksi penghematan dengan target tertentu.

Pertama, penghematan listrik sebesar 20 persen dan air 10 persen, yang dihitung dari rata-rata penggunaan listrik dan air di lingkungan masing-masing dalam kurun waktu enam bulan sebelum dikeluarkannya Inpres.

Kedua, penghematan pemakaian BBM Bersubsidi sebesar 10 persen, melalui pengaturan pembatasan penggunaan BBM Bersubsidi bagi kendaraan di lingkungan instansi masing-masing, dan di lingkungan BUMN dan BUMD, yang dilakukan sepanjang BBM non subsidi tersedia di wilayah masing-masing.

Untuk mengawal dan mengoptimalkan program penghematan itu, presiden mengubah susunan keanggotaan Tim Nasional yang telah dibentuk berdasarkan Inpres No. 2 Tahun 2008 khususnya kedudukan Sekretaris, yang semula dijabat Eddie Widiono, sekarang diganti oleh Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM.

Tim Nasional juga diwajibkan memberikan laporan atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden setiap tiga bulan dengan memberikan tembusan kepada Kepala UKP4.

Namun, hingga saat ini belum ada kepastian dan hasil konkrit dari upaya penghematan yang pernah dilakukan pada 2011, karena terbukti pemerintah kembali menginstruksikan upaya penghematan.

Menurut pakar ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi upaya penghematan berdasarkan Inpres tersebut belum berjalan maksimal, karena kemungkinan masih banyak pegawai negeri sipil yang tidak melaksanakan Inpres tersebut.

Untuk itu, gerakan penghematan nasional yang kembali dicanangkan oleh Presiden nantinya harus dimulai oleh pemerintah agar masyarakat dapat meniru tauladan baik yang telah diperlihatkan oleh aparat negara.

"Bagaimanapun upaya penghematan tidak bisa lepas dari kemampuan kita memberikan harga yang layak dari sebuah sumber daya langka," katanya.

Hal tersebut perlu dilakukan karena selama ini ternyata masih banyak kendaraan operasional Kementerian dan Lembaga yang menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu penggunaan AC justru makin meluas di kantor-kantor Pemerintah.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago juga menyayangkan implementasi Inpres nomer 13 tahun 2011 yang berlangsung tidak maksimal karena ketiadaan pengawasan yang memadai.

"Padahal ada atau nggak ada (imbauan) pemerintah, harusnya ada yang mengontrol (Inpres) itu, mana saja yang jalan," katanya.

Saran dan kritik yang dilakukan oleh para pemerhati tersebut harus dijadikan cambuk bagi pemerintah agar di masa mendatang masalah pengelolaan energi menjadi prioritas utama yang harus ditemukan solusinya.

Transformasi dalam bidang energi seperti diversifikasi kepada penggunaan energi terbarukan dapat menjadi alternatif untuk memecahkan masalah ini, selain penghematan Kementerian Lembaga, mengingat dalam 20 tahun mendatang cadangan BBM diperkirakan makin menipis.

Menurut Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika, pemerintah perlu segera membuat roadmap pengembangan energi alternatif dan menyediakan sarana infrastruktur untuk konversi Bahan Bakar Gas (BBG) yang lebih memadai.

"Cadangan sumber daya alam makin berkurang, terutama minyak dalam sepuluh tahun mendatang, mestinya pemerintah mengembangkan energi alternatif semisal biofuel, matahari, angin," ujarnya.
        
(T.S034/Z002)

Pewarta: Satyagraha

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012