Guru Besar Ilmu Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Prof. Dr. Suwarno, M.Si. mengatakan seluruh masyarakat Indonesia khususnya Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, harus siap hidup berdampingan dengan bencana.
"Oleh karena itu, orasi ilmiah saya sampaikan dalam pengukuhan ini, mengambil judul 'Hidup Berdampingan dengan Bencana'," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis.
Sebelum dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto di Auditorium Ukhuwah Islamiyah UMP, Suwarno mengatakan, orasi ilmiah tersebut menitikberatkan bahwa bencana itu pada prinsipnya disebabkan oleh ulah tangan manusia, juga merupakan takdir Allah sebagai peringatan maupun ujian bagi manusia.
Terkait dengan hal itu, dia melakukan kajian yang berkaitan dengan geomorfologi khususnya bencana longsor yang ada di Kabupaten Banyumas.
Baca juga: BPBD Bengkulu diminta siagakan alat berat di wilayah rawan longsor
Dari hasil penelitian tersebut, kata dia, diketahui bawah sebagian besar wilayah Banyumas rawan longsor, sekitar 30 persen di antaranya masuk kategori atau zona merah rawan longsor.
Ia mengatakan kajian tersebut lebih menekankan kepada perilaku manusia dalam mengelola lahannya karena longsor itu akan terjadi kalau lerengnya terganggu.
"Sepanjang lerengnya tidak terganggu walaupun itu pada zona merah, Insyaallah tidak longsor," tegasnya.
Menurut dia, sekitar 60 persen gangguan lereng itu disebabkan oleh perilaku manusia dalam mengolah lahannya.
Dalam hal ini, kata dia, menanam tanaman besar yang terlalu rapat dapat menyebabkan beban lereng menjadi tinggi.
Selain itu, lanjut dia, membuat terasering dan mencetak sawah-sawah basah di daerah perbukitan dapat mengganggu lerengnya.
"Artinya, kalau menanam untuk pertanian, ya jangan mengganggu lereng. Biarkan lerengnya alami ditanami tanaman-tanaman besar yang bisa menghasilkan," kata Prof. Suwarno.
Saat ditanya kemungkinan penyebab longsor di Banyumas lebih didominasi oleh faktor manusia ataukah karena kondisi alamnya, dia mengatakan jika bicara kondisi alam, hampir di wilayah Banyumas Raya yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara relatif sama secara alami.
Baca juga: Tiga warga tewas tertimbun longsor saat kerja bakti
Akan tetapi, kata dia, dalam pengelolaan lahannya di setiap daerah berbeda-beda dan hal itu yang menyebabkan terjadinya longsor.
"Kalau sekarang ini, kejadian longsor di Banyumas sudah relatif menurun, berbeda dengan Banjarnegara karena pengelolaan lahan di Banyumas relatif sudah bagus," jelasnya.
Menurut dia, hal itu disebabkan masyarakat di Banyumas jarang menanam salak, sedangkan di Banjarnegara banyak warga yang menanam tanaman buah tersebut.
"Orang Banyumas itu sudah pintar. Jadi di lereng-lereng yang terjal itu ditanami tanaman besar yang agak jarang dan di sela-selanya ditanami kapulaga tanpa membuat terasering," katanya.
Ia mengatakan hal itu berbeda dengan di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, banyak ditanami kentang yang dapat memicu erosi.
Jika erosinya besar, kata dia, kejadian berikutnya adalah longsor karena bencana tersebut diawali dari erosi.
"Solusinya adalah hentikan menanam kentang dan beralihlah ke penanaman yang tidak perlu ada pengolahan lahan yang intensif. Kapulaga itu tidak perlu diolah lahannya, bisa hidup dan berbuah," katanya.
Terkait dengan upaya mitigasi bencana, Prof. Suwarno mengatakan hal itu konteksnya bukan pencegahan bencana tetapi bagaimana mengurangi risiko bencana.
Menurut dia, pengurangan risiko bencana pada intinya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat.
"Bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat? Ya ada pelatihan, ada sosialisasi, ada gladi bersih tentang bagaimana memanajemen bencana," tegasnya.
Sementara itu, Rektor UMP Assoc. Prof. Dr. Jebul Suroso mengatakan di perguruan tingginya sudah mencetak sembilan guru besar, namun sekarang tinggal tujuh orang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi: Masyarakat harus siap hidup berdampingan dengan bencana
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
"Oleh karena itu, orasi ilmiah saya sampaikan dalam pengukuhan ini, mengambil judul 'Hidup Berdampingan dengan Bencana'," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis.
Sebelum dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto di Auditorium Ukhuwah Islamiyah UMP, Suwarno mengatakan, orasi ilmiah tersebut menitikberatkan bahwa bencana itu pada prinsipnya disebabkan oleh ulah tangan manusia, juga merupakan takdir Allah sebagai peringatan maupun ujian bagi manusia.
Terkait dengan hal itu, dia melakukan kajian yang berkaitan dengan geomorfologi khususnya bencana longsor yang ada di Kabupaten Banyumas.
Baca juga: BPBD Bengkulu diminta siagakan alat berat di wilayah rawan longsor
Dari hasil penelitian tersebut, kata dia, diketahui bawah sebagian besar wilayah Banyumas rawan longsor, sekitar 30 persen di antaranya masuk kategori atau zona merah rawan longsor.
Ia mengatakan kajian tersebut lebih menekankan kepada perilaku manusia dalam mengelola lahannya karena longsor itu akan terjadi kalau lerengnya terganggu.
"Sepanjang lerengnya tidak terganggu walaupun itu pada zona merah, Insyaallah tidak longsor," tegasnya.
Menurut dia, sekitar 60 persen gangguan lereng itu disebabkan oleh perilaku manusia dalam mengolah lahannya.
Dalam hal ini, kata dia, menanam tanaman besar yang terlalu rapat dapat menyebabkan beban lereng menjadi tinggi.
Selain itu, lanjut dia, membuat terasering dan mencetak sawah-sawah basah di daerah perbukitan dapat mengganggu lerengnya.
"Artinya, kalau menanam untuk pertanian, ya jangan mengganggu lereng. Biarkan lerengnya alami ditanami tanaman-tanaman besar yang bisa menghasilkan," kata Prof. Suwarno.
Saat ditanya kemungkinan penyebab longsor di Banyumas lebih didominasi oleh faktor manusia ataukah karena kondisi alamnya, dia mengatakan jika bicara kondisi alam, hampir di wilayah Banyumas Raya yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara relatif sama secara alami.
Baca juga: Tiga warga tewas tertimbun longsor saat kerja bakti
Akan tetapi, kata dia, dalam pengelolaan lahannya di setiap daerah berbeda-beda dan hal itu yang menyebabkan terjadinya longsor.
"Kalau sekarang ini, kejadian longsor di Banyumas sudah relatif menurun, berbeda dengan Banjarnegara karena pengelolaan lahan di Banyumas relatif sudah bagus," jelasnya.
Menurut dia, hal itu disebabkan masyarakat di Banyumas jarang menanam salak, sedangkan di Banjarnegara banyak warga yang menanam tanaman buah tersebut.
"Orang Banyumas itu sudah pintar. Jadi di lereng-lereng yang terjal itu ditanami tanaman besar yang agak jarang dan di sela-selanya ditanami kapulaga tanpa membuat terasering," katanya.
Ia mengatakan hal itu berbeda dengan di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, banyak ditanami kentang yang dapat memicu erosi.
Jika erosinya besar, kata dia, kejadian berikutnya adalah longsor karena bencana tersebut diawali dari erosi.
"Solusinya adalah hentikan menanam kentang dan beralihlah ke penanaman yang tidak perlu ada pengolahan lahan yang intensif. Kapulaga itu tidak perlu diolah lahannya, bisa hidup dan berbuah," katanya.
Terkait dengan upaya mitigasi bencana, Prof. Suwarno mengatakan hal itu konteksnya bukan pencegahan bencana tetapi bagaimana mengurangi risiko bencana.
Menurut dia, pengurangan risiko bencana pada intinya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat.
"Bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat? Ya ada pelatihan, ada sosialisasi, ada gladi bersih tentang bagaimana memanajemen bencana," tegasnya.
Sementara itu, Rektor UMP Assoc. Prof. Dr. Jebul Suroso mengatakan di perguruan tingginya sudah mencetak sembilan guru besar, namun sekarang tinggal tujuh orang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi: Masyarakat harus siap hidup berdampingan dengan bencana
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023