Purwokerto (Antara) - Kericuhan saat sidang paripurna penetapan pimpinan DPR 2014-2019 memperburuk citra lembaga legislatif itu, kata pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman  Purwokerto Ahmad Sabiq.

"Itu (kericuhan, red.) memperburuk citra DPR karena mereka itu tidak mampu untuk melakukan permusyawaratan seperti yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini," kata Ahmad Sabiq, di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat.

Ia sangat menyayangkan sikap anggota DPR yang tidak bisa menyelesaikan persoalan dengan baik atau tidak bisa menjalin konsensus, tetapi malah lebih mengedepankan konfliknya.

Menurut dia, semestinya pemilihan pimpinan DPR itu dilaksanakan dengan permusyawaratan.

"Seperti di undang-undangnya, untuk pemilihan para pimpinan dewan itu dijalankan dengan permusyawaratan. Jika tidak bisa dilakukan dengan permusyawaratan, baru dengan voting," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.

Akan tetapi dalam sidang paripurna pada Rabu itu, kata dia, tampaknya tidak ada upaya-upaya permusyawaratan di antara anggota DPR.

"Hanya menang-menangan saja. Sementara yang sudah pasti kalah,  kemudian 'ngambek', 'walk out, dan seterusnya," kata dia menambahkan.

Menurut dia, kondisi tersebut menunjukkan ketidakdewasaan para politikus itu dalam berpolitik.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa kericuhan yang terjadi dalam sidang paripurna DPR tidak berpengaruh terhadap masyarakat karena hal itu sebuah tontonan yang sering kali dilihat.

"Namun, itu memperburuk citra DPR. Bahkan, sangat mungkin akan kembali terulang karena yang perdana saja (sidang paripurna untuk memilih pimpinan DPR,  red.) sudah sudah diawali dengan hal seperti itu, dapat kita prediksikan bahwa pola-pola konflik dapat terus terjadi," kata dia menegaskan. ***1***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014