Kota Cirebon memang tidak seperti Kota Bandung yang menjadi pilihan banyak wisatawan untuk berkunjung atau singgah. Namun, siapa sangka kalau kota yang terkenal akan empal gentong dan empal asemnya ini, memiliki satu makanan kaya rasa yang tersembunyi di balik sebuah desa kecil hasil akulturasi budaya Arab, Jawa, dan Cina.

Ya, itu adalah Mi Koclok Panjunan. Makanan yang bisa dijadikan rekomendasi untuk para pemudik berbuka puasa di jalan, ketika melewati panasnya Kota Cirebon, Jawa Barat.

Kedai yang kini dikelola oleh Ahmad Yakub sebagai generasi penerus keempat ini berdiri di sebuah ruko kecil dengan empat meja di dalamnya.

Mereka cuma memiliki sekitar enam pegawai. Satu orang membantu Ahmad Yakub untuk menerima pesanan dan mengantarkan mi dari sisi kompor, satu orang berperan sebagai kasir, sedangkan empat lainnya mengelola bagian belakang dapur untuk mengurus minuman dan keperluan lainnya.

Bagi pemudik yang tertarik mencicipi, Anda bisa datang dengan jam buka yakni 15.00 sampai 22.00 WIB pada hari-hari biasa, dan 16.00 sampai 22.00 WIB ketika bulan Ramadhan.

Letaknya berada di Jalan Pekarungan No.100, Panjungan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, salah satu gang di desa yang dikepung oleh rumah-rumah bergaya mur yang bernuansa budaya timur.

Ahmad Yakub, sang penjual, mengatakan keluarganya sudah berjualan sejak tahun 1970-an. Dulu, kakek buyutnyalah yang berjualan. Singkat kisah, Mi Koclok Panjunan yang dijual oleh sang kakek pada masa itu masih dijinjing mengelilingi daerah sekitar sambil berjalan kaki.

Akan tetapi, karena rasanya yang otentik dan memiliki kuah yang amat sangat kental dari mi pada umumnya, Mi Koclok Panjunan menjadi primadona warga sekitar. Saking banyak yang ketagihan, para langganan tetap pun memaksa si kakek untuk berjualan di tempat tetap, agar akses untuk hiburan lidah mereka bisa didapat jauh lebih mudah. Akhirnya dengan bujuk rayu penggemarnya, si kakek berhasil mendirikan kedai di gang itu pada tahun 1980-an.

Kepada ANTARA, Yakub membeberkan bahwa rahasia di balik cita rasa mi yang otentik itu adalah guyuran kuah berwarna putih kental yang keluarganya buat dengan menggunakan santan dan kaldu ayam berasal dari tetelan dan tulang ayam yang digodok dalam beberapa waktu sampai mendidih.

Bahan utama dari hidangan yang ia buat terdiri atas mi kuning lurus dan taburan ayam yang sengaja sudah disuwir-suwir. Usai dikoclok di dalam air rebus yang mendidih, mi dituangkan ke sebuah piring pipih putih. Untuk menikmatinya, pelanggan cukup bayar Rp20 ribu per porsi.

Mi koclok akan semakin memanjakan lidah setelah penjual menambahkan siraman kuah beserta taburan topping berupa sayuran seperti kecambah, kol, dan daun bawang.

Sementara, protein hewani lain yang disediakan sebagai topping adalah telur rebus yang diiris tipis-tipis. Anda diperbolehkan menambah topping, namun akan dikenakan biaya lebih.

Begitu mi masuk ke dalam mulut, lidah bisa merasakan tiap untaian mi yang kenyal itu secara sempurna terbalut ke dalam kuah yang gurih dan memberikan efek hangat di dalam perut. Bila menyukai makanan yang sedikit bertekstur keras, penikmat bisa menambahkan stik pangsit bumbu balado sebagai alternatif topping lainnya dengan harga Rp2 ribu saja.

Bagi pecinta rasa yang lebih tajam atau pedas, disarankan untuk menaburkan lebih banyak bumbu lain yang disediakan langsung di tiap meja, yakni sambal merah, lada, dan garam.

Kemudian, ada satu hal lagi yang membedakan Mi Koclok Panjunan dengan mi lain. Hal itu adalah cara pembungkusannya. Bila biasanya mi dibungkus ke dalam wadah seperti styrofoam atau plastik bening kiloan untuk dibawa pulang, keluarganya secara turun temurun justru memilih membungkus mi dengan daun pisang uang kemudian dibalut lagi dengan kertas cokelat.

Daun pisang disebutkan berguna untuk menambahkan aroma sedap dari makanan yang ia masak itu.

Kemudian, untuk minuman yang tersedia ada air mineral, es jeruk segar, teh tawar, teh manis, hingga kopi renceng yang bisa melegakan tenggorokan dan menambah stamina untuk berkendara di jalan.

“Hari-hari biasa kami bisa menjual lebih dari 100 porsi per hari. Akan tetapi kalau puasa, porsi banyak terjual, cuma lebih sepi. Baru membeludak lagi begitu Lebaran. Kalau untuk omzet, kurang lebih sama,” ujarnya.

Seorang pemudik, Zainudin, yang pulang ke Cirebon dari arah Bekasi, membawa tujuh anggota keluarganya langsung ke kedai Mi Koclok Panjunan, hanya untuk berbuka puasa bersama dengan mi itu.

Kata Zainudin, anak-anaknya amat lahap memakan sepiring mi ditambah dengan dinginnya es teh manis dalam ukuran segelas sedang. Ia mengaku puas, makanan yang ia pilih sebagai hidangan utama untuk berbuka memenuhi harapannya dari perjalanan yang panjang.


Istrinya, Hana, membenarkan kalau delapan anggota keluarganya itu menyantap mi koclok habis tak bersisa. Ia bahkan membungkus lebih banyak mi untuk dibawa pulang ke rumah orang tuanya.

Pengunjung yang berasal dari Jakarta, Ifa, malah mengaku kaget. Di pikirannya, Mi Koclok Panjunan tidak memiliki tekstur kuah yang kental.

“Kalau lihat di Google, itu kan kayak cuma kuah putih biasa ya. Tahunya pas sampai ke sini gurih banget dan itu kental. Kental banget (kuahnya),” ujar Ifa.

Berbeda dengan pengunjung lainnya, Saras, yang mengatakan kuah kental dari Mi Koclok Panjunan mengingatkannya pada makanan khas negeri Cina yakni nasi hotpot, yang juga memiliki kuah kental di atasnya.

“Akan tetapi, yang ini rasanya lebih gurih, kayaknya karena rebusannya ya, dan ia enggak mencair kuahnya, tetap kental,” kata Saras.
 

Kuliner sambil belajar

Saras yang merupakan fresh graduate tersebut, mencurahkan isi hatinya bahwa singgah ke Kota Cirebon merupakan keputusan yang tepat. Jika ia tidak berkunjung ke Mi Koclok Panjungan, ia tidak akan bisa merasakan sensasi dari tenangnya suasana desa yang sempat menjadi lokasi strategis bangsa Arab untuk berdagang sembari menyiarkan agama Islam itu.

Memang pemilik Mi Koclok Panjunan, selain piawai membuat kuliner terenak di Kota Cirebon, juga cerdas menentukan titik kedai berdiri.

Tepat di gang sebelah kiri kedai, pembeli bisa mendengar lantunan azan bersuara merdu dari Masjid Merah Panjunan. Masjid ini dibangun oleh Syarif Abdurakhman atau Pengeran Panjunan pada tahun 1480, yang terletak persis di samping kiri gang di mana kedai itu berdiri.

Masjid itu bisa dikunjungi umum untuk melaksanakan shalat lima waktu sekaligus menjadi destinasi wisata singkat pemudik karena terkenal sebagai masjid tertua kedua setelah Tajug Peilagrahan di Cirebon.

Akan tetapi, perlu diingat, pemudik hanya bisa shalat di aula utama karena ruangan yang ada di depan tempat imam, dibuka hanya ketika hari raya Idul Adha dan Idul Fitri, sebagaimana yang  diamanatkan oleh para Wali Songo. Meski demikian, pemudik tetap bisa merasakan suasana sederhana nan hangat di masjid.

Di sana pemudik bisa beribadah sambil mendalami sejarah dengan memutari bangunan Masjid Merah yang mempunyai nuansa Jawa namun ada ornamen Hindu-Buddha yang melekat di tiap sisinya.

Mata tiap pemudik juga bisa dihibur dengan semua sisi dinding masjid yang tersusun dari batu bata berwarna merah dan dilapisi tanah itu. Pasalnya, dinding ditempeli oleh piring keramik yang merupakan bukti cinta Putri Ong Tien yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati.

Dari Mi Koclok Panjunan pula pelancong bisa belajar bahwa tips terbaik dari berkelana ke daerah lain adalah menyisiri tiap jalannya, amati sekitar, dan mencoba hal baru.

Dengan begitu, pengunjung pun menemukan pengalaman tak terduga yang membekas di hati.
 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023