Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Hai bocah..., silahkan menyunggingkan senyum selebar-lebarnya lantaran menyaksikan akhir drama serba keblinger dari penarikan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) yang mengisahkan dongeng istri simpanan.

Soal teks istri simpanan kok ya disuapkan kepada bocah siswa kelas II SD.

Itu jelas-jelas keblinger karena main-main dengan soal bacaan di sekolah dan birokrat pendidikan ramai-ramai seperti biasanya berlaku sebagai mereka yang berdiri di garis depan pemberantasan segala ketidakberesan di sekolah.

Yang keblinger, langsung ditunjuk hidungnya yakni PT Media Kreasi (MK) karena dianggap menyebarkan virus bahwa dalam cerita berjudul "Bang Maman dari Kali Pasir" ada kalimat yang tak laik dikunyah anak-anak, apalagi ditelan sebagai gizi jiwa.  

Kata itu menggonggok ada di sebuah kalimat dalam bab 11 buku PLBJ 2B, yakni "... Akhirnya Bang Maman meminta bantuan kepada Patme supaya berpura-pura menjadi istri simpanan Salim ...". Secara terang benderang, kata istri simpanan tidak perlu ditulis lantaran dongeng itu dimuat dalam LKS yang ditujukan kepada siswa.

Yang memesona dan membuat para bocah terkagum-kagum, bukan semata-mata ada sisi keblinger tapi ada sisi jenaka seperti seorang guru di sekolah jurnalistik yang mendemokan bagaimana menghidup-hidupkan teks dengan memeragakan aneka permainan, bahasa kerennya "game". Murid dituntut banyak senyum sementara guru diminta banyak ngomong jenaka.

Jangan sesekali bermain sirkus dengan kata-kata, apalagi ketika membaca koran, menyaksikan tayangan televisi, dan membaca teks istri simpanan di LKS PLBJ.

Banyaklah bermain "game" kata-kata, lupakan segala hal yang serba njlimet.

Njlimetnya, kalau semua buku teks yang beredar senantisa diatur berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) yang dibawahi langsung oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BSNP Kemdikbud), maka teks istri simpanan sampai lolos gitu lho?

Amati secara cermat, saksikan secara jeli, jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh punggawa pendidikan negeri ini.

Mereka mengamini apa yang disebut sebagai pencipta hukum serentak penafsir hukum.

Mereka mengekor kepada kecenderungan cendekiawan abad 18 dan abad 19 ketika mendefinisikan "yang modern" sebagaimana disinyalir oleh filsuf Zygmunt Bauman.

"SKKD itu oleh pemerintah pusat, tapi untuk muatan lokal Disdik setempat boleh melakukan penyesuaian. Maka kalau ada yang salah, itu bukan penulis dan penerbit, tapi Disdik DKI," kata   Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (Sekjen FSGI) Retno Listyarti.

Dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab, Kepala Seksi Kurikulum dan Penilaian TK/SD/PLB Sujadiyono mendaulat kepala sekolah yang memiliki buku LKS agar segera menyambangi dinas pendidikan.

"Kami baru memanggil beberapa kepala sekolah yang memiliki LKS tersebut untuk datang ke sini (dinas pendidikan)," kata Sujadiyono.

Sontak, Kepala Pusat Kurikulum dan Buku Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puskurbuk Kemdikbud) Diah Hariyanti mengaku tidak tahu soal LKS sekolah dasar teks istri simpanan.

Itu tanggung jawab internal sekolah, karena LKS tidak perlu menggaet ijin dari Puskurbuk karena sifatnya semata-mata sebagai pengayaan mata pelajaran di sekolah.

Sekarang, di mana rumahnya si "tanggung", di mana rumahnya si "jawab" ketika merespons soal teks istri simpanan?

Hai bocah...silakan terbahak setelah melihat keblinger kata-kata karena ada rumus pendidikan yang nginggris "banking concept of education".

Ringkasnya, guru mengajar, murid diberi; guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa; guru mengatur, murid mengikuti saja. Lucunya, guru bicara, murid mendengar.

Persisnya gaya keblinger seperti ini perlu ditelanjangi karena mencantumkan kata "semua".

Contohnya, semua murid harus mendengar ketika guru menjelaskan materi ajar.

Semua calon wartawan harus mencermati staf pengajar yang menyukai aneka permainan mengenai jurus jitu menjadi wartawan handal.

Di hadapan nalar sehat, kata "semua" sulit dirunut dan diuji karena serba menyamaratakan, begitu kata aliran postmodern.  

Contohnya, ya itu tadi, soal teks istri simpanan. Namanya saja simpanan alias siluman, kelewat musykil dicari dan ditemukan nalarnya. Ujung-ujungnya keblinger.

Contohnya lagi, pernyataan bahwa tidak LKS tidak perlu memperoleh ijin dari Puskurbuk karena sifatnya semata-mata sebagai pengayaan mata pelajaran di sekolah.

Lha kok bisa ya? Kalau jawabannya, semua itu sudah ada peraturannya, maka di mana letak kriteria dari akal sehat.

Soalnya, kalau akal sehat sudah disimpan di bawah karpet kekuasaan maka yang tersisa hanyalah otot dan gada alat pemukul.

Kalau keblinger seputar teks istri simpanan diselesaikan dengan penarikan buku LKS PLBJ, maka cerita besarnya dari lakon ini belum dijelajah, belum diteliti, belum ditemukan kepalsuan-kepalsuannya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayan (Kemdikbud) akan membentuk tim khusus untuk menelisik kasus LKS istri simpanan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menyatakan, belum saatnya anak di usia SD mengenal istilah istri simpanan atau memahami cerita-cerita semacam sinetron.                                

"Harus ada yang bertanggung jawab. Dunia pendidikan jangan diracuni oleh cerita picisan semacam itu. Sekolah pun jangan lalai memberikan produk pendidikan yang dapat merusak moral anak," ujar Nuh.

Harus ada yang bertanggungjawab, ini bukan semata lahir dari respons bahwa yang menang adalah yang kuat, karena taruhannya bukan main-main karena menyentuh "soal manusia".

Seburuk-buruknya teks dari bacaan soal pembunuhan berantai, maka sama buruknya mereka yang mendongengkan teks istri simpanan di telinga, di mata, di benak pikiran siswa kelas II SD.

Pembacaan teks keblinger istri simpanan menegaskan bahwa ada sosok yang membisikkan bahwa rasio manusia adalah alat untuk berkuasa.

Contohnya, Napoleon Bonaparte punya pengalaman tidak nyaman ketika menghadapi mereka yang ingin berkuasa, yang suka membisikkan nasehat ke telinga penguasa bahwa pemerintahan tidak sama sama dengan mengajar murid kelas II SD.

Nah, keblinger ketika mendekonstruksi teks istri simpanan mengerucut kepada pertanyaan mbalelo, apakah keutamaan (virtus) dapat diajarkan?

Hati Plato tiba-tiba piatu setelah menyaksikan kematian dramatis Sokrates sang guru yang mesti menenggak racun demi kebenaran yang diyakininya.

Sokrates dihukum oleh pengadilan Athena dengan tuduhan telah meracuni jiwa anak-anak mudia belia.

Plato merasa ada sesuatu yang berjalan kurang klop dalam proses penyelenggaraan negara, utamanya penyelenggaraan pendidikan.(T.A024/A025)

Pewarta: A.A. Ariwibowo

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012