Kopi merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia yang banyak digemari masyarakat dunia karena memiliki aroma khas dan cita rasa yang menggoda sehingga mengundang minat orang untuk menyeruputnya. 

Cerita pahit getirnya menjadi petani kopi ini salah satunya datang dari Kabupaten Rejanglebong salah satu daerah penghasil kopi di Provinsi Bengkulu.

Kopi yang dahulunya menjadi komoditas andalan masyarakat daerah itu saat ini mulai menyurut seiring dengan penurunan produksi serta fluktuasi harga jual biji kopi di pasaran dunia yang tidak menentu.

"Kalau dahulu setiap panen petani bisa membeli motor atau mobil serta bahan-bahan kebutuhan pokok, sekarang tidak lagi," kata Iskandar (57), petani kopi Desa Air Meles Atas, Kecamatan Selupu Rejang.

Buah kopi yang dihasilkan setiap tahunnya, kata dia, turun drastis akibat pengaruh musim dan tanaman kopi yang tidak produktif lagi. Selain itu, harga jualnya juga tidak menentu, kadang naik dan turunnya bisa terjadi dalam sehari.

Usaha perkebunan kopi di daerah itu, lanjut Iskandar, sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini bisa dilihat dengan adanya peninggalan usaha perkebunan kopi milik Belanda di kawasan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur dan beberapa kecamatan lainnya di Rejanglebong. 

Tanaman kopi peninggalan penjajah Belanda ini umumnya jenis robusta yang telah berumur ratusan tahun. Tanaman ini kemudian dikembangkan dengan sistem stek atau kawin sambung sehingga tidak heran jika tanaman kopi di daerah ini batang bagian bawahnya memiliki ukuran yang relatif cukup besar, sedangkan di bagian atasnya kecil-kecil tetapi biji buahnya besar-besar.

Produksi biji kopi yang dihasilkan petani di daerah itu dalam dua tahun belakangan, kata dia, mengalami penurunan akibat pengaruh musim. Tingginya intensitas curah hujan dan angin yang berembus relatif cukup kencang membuat bunga tanaman kopi banyak yang gugur sehingga produksi buah kopi menurun. 

Jika sebelumnya untuk 1 hektare areal kebun kopi setiap musim panen bisa menghasilkan 2,5 ton kopi, saat ini kurang dari 1,5 ton saja.


Harga Stabil 
Sementara itu, Rusani (47)--petani kopi Desa Pelalo, Kecamatan Sindang Kelingi--mengatakan bahwa saat ini perkembangan harga jual kopi biji asalan di wilayah itu relatif stabil kendati sebelumnya sempat turun naik dari Rp17.500,00--Rp18.000,00 menjadi Rp20 ribu per killogram.

Kenaikan harga jual kopi bijian di daerah itu, kata dia, karena musim kopi sudah berlalu. Sedikitnya produksi kopi yang dihasilkan petani akibat adanya gugur bunga yang terjadi sejak 2014, sedangkan untuk musim kopi selanjutnya baru akan tiba pada pertengahan tahun 2015.

Meski harganya naik, menurut Rusani, petani kopi setempat tidak menikmatinya mengingat produksi buah kopi dari kebun mereka sedikit dengan rata-rata produksi per hektarenya hanya 800 kg--1,2 ton, sementara biaya pengolahan kebun meningkat karena sejumlah obat-obatan pertanian maupun kebutuhan pokok masyarakat justru mengalami penaikan.

Naiknya harga jual buah kopi ini tidak bisa menutupi tingginya biaya hidup sehari maupun pembelian obat-obatan pertanian. Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya kendati harga kopi murah di kisaran Rp14 ribu/kg, tanaman kopi mereka berbuah lebat dengan produksi per hektarenya bisa mencapai 2,5 ton sehingga pendapatan mereka masih relatif cukup tinggi.

"Sekarang harga kopi lagi mahal, tetapi buahnya sedikit sehingga harus kami jaga agar tidak dicuri orang. Bahkan, kami terpaksa tidur di kebun karena saat musim kopi mahal seperti sekarang ini kasus pencuri buah kopi biasanya sering terjadi," ujarnya.


Luar Daerah
Di lain pihak, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Rejanglebong Dharmansyah mengatakan bahwa luasan perkebunan kopi di daerahnya mencapai 23.656 hektare dengan produksi per tahun lebih dari 100.000 ton.

"Luasan perkebunan kopi rakyat yang tersebar pada 15 kecamatan di Kabupaten Rejanglebong hingga akhir 2012 tercatat mencapai 23.656 hektare yang terdiri atas 23.383 hektare jenis kopi robusta dan 273 hektare jenis kopi arabika," katanya.

Perkebunan kopi rakyat di daerah tersebut, kata dia, per tahunnya menghasilkan lebih dari 100.000 ton dengan rata-rata produksi per hektare 2,5 ton. Hasil produksi kopi itu sendiri selanjutnya dipasarkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, kemudian dipasarkan ke Kota Bengkulu, serta daerah lainnya, seperti Palembang, Jambi, Padang, dan Jawa.

Perkebunan kopi di daerah ini, kata dia, dalam sepuluh tahun belakangan mengalami kemajuan dengan pengembangan tanaman kopi stek batang dan daun sehingga luasan perkebunan kopi dalam setiap tahunnya terus bertambah.

Dari total luasan kebun kopi setempat seluas 23.383 hektare terdapat kebun yang telah berusia tua dan harus diremajakan dengan luasan 20.513 hektare, sedangkan kebun yang baru dibuka dengan usia 5--10 tahun mencapai 1.345 hektare.

Sejauh ini, dari luasan kebun kopi tua terdapat 1.525 hektare yang mengalami kerusakan karena tanamannya banyak yang mati dan sudah ditebang. Kebun yang rusak ini sebagian lagi telah diremajakan oleh pemiliknya dengan bantuan pemkab setempat melalui pengembangan tanaman kopi stek.

Pada tahun ini pihaknya akan melakukan pembibitan tanaman kopi jenis arabika di atas lahan seluas 3 hektare yang tersebar dalam tiga kecamatan, yakni Kecamatan Bermani Ulu Raya, Sindang Dataran, dan Kecamatan Selupu Rejang.

Bibit kopi yang dikembangkan ini nantinya akan dibagikan kepada kalangan petani kopi di daerah itu sebagai pengganti tanaman kopi yang sudah tidak produktif lagi.

Dengan harapan, ke depannya produksi kopi yang dihasilkan daerah itu dapat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, kemudian menjadikan kopi sebagai komoditas andalan Kabupaten Rejanglebong.***3***

Pewarta: Oleh Nur Muhamad

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015