Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail memandang perlu tradisi pemikiran kritis dan akal sehat agar masyarakat terhindar dari informasi "berjubah" agama yang bisa membuat seseorang menjadi radikal.
Dalam mencari dan mencerna suatu informasi, kata Noor Huda Ismail, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi yang mereka butuhkan hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah mereka yakini.
"Dalam dunia psikologi, bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias," kata Noor Huda melalui keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Pemuda dan pelajar jadi target penyebaran radikal terorisme
Noor Huda menjelaskan bahwa seseorang ketika mencari informasi cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu. Setelah itu, mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang tersebut.
"Hal itu terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi," ujarnya.
Keadaan seperti itu, kata dia, diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing. Misalnya, penggemar klub bola Arsenal, kalau mengeklik Arsenal, seluruh informasi itu yang berkaitan dengan klub tersebut.
"Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau sudah mengeklik, misalnya al-wala wal bara’, istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung akan hanya menerima informasi yang sama. Di dunia akademis, biasanya ini disebut dengan filter bubble," katanya.
Ia memandang penting mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Selain itu, perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar.
Baca juga: 50 ribu dai-daiyah ditugaskan cegah paham radikal
"Kemampuan membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting," ujarnya.
Menurut dia, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah. Saat ini masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tetapi justru mana yang viral.
Ia juga menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Hal itu, menurut dia, berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah hingga para pejabat yang memegang kendali.
"Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk pada kebijakan atau keputusan yang diambil,” ujarnya.
Oleh karena itu, Noor Huda berpesan agar masyarakat jangan percaya pada satu guru atau sumber saja, tetapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber.
Masyarakat, lanjut dia, juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi, serta dalam membagikan informasi harus menggunakan prinsip saring sebelum membagikan.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
Dalam mencari dan mencerna suatu informasi, kata Noor Huda Ismail, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi yang mereka butuhkan hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah mereka yakini.
"Dalam dunia psikologi, bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias," kata Noor Huda melalui keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Pemuda dan pelajar jadi target penyebaran radikal terorisme
Noor Huda menjelaskan bahwa seseorang ketika mencari informasi cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu. Setelah itu, mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang tersebut.
"Hal itu terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi," ujarnya.
Keadaan seperti itu, kata dia, diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing. Misalnya, penggemar klub bola Arsenal, kalau mengeklik Arsenal, seluruh informasi itu yang berkaitan dengan klub tersebut.
"Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau sudah mengeklik, misalnya al-wala wal bara’, istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung akan hanya menerima informasi yang sama. Di dunia akademis, biasanya ini disebut dengan filter bubble," katanya.
Ia memandang penting mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Selain itu, perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar.
Baca juga: 50 ribu dai-daiyah ditugaskan cegah paham radikal
"Kemampuan membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting," ujarnya.
Menurut dia, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah. Saat ini masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tetapi justru mana yang viral.
Ia juga menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Hal itu, menurut dia, berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah hingga para pejabat yang memegang kendali.
"Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk pada kebijakan atau keputusan yang diambil,” ujarnya.
Oleh karena itu, Noor Huda berpesan agar masyarakat jangan percaya pada satu guru atau sumber saja, tetapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber.
Masyarakat, lanjut dia, juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi, serta dalam membagikan informasi harus menggunakan prinsip saring sebelum membagikan.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023