Rejanglebong (Antara) - Kesiapsiagaan terhadap bencana alam harus dikuasai oleh warga yang berdiam di kawasan rawan bencana alam, pemerintah daerah, serta organisasi peduli bencana sehingga dapat mengurangi risiko bencana.

Belajar dari pengalaman atas beberapa bencana alam yang terjadi di Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu, pada awal 2015 yakni tanah longsor yang memakan korban jiwa lima warga daerah itu, sudah sepatutnya berbagai elemen di daerah ini mempersiapkan diri sejak jauh hari untuk menghadapi kemungkinan terjadin lagi bencana alam.

Bencana alam yang memakan korban jiwa serta merusak sejumlah sarana transportasi seperti jalan, jembatan, dan saluran irgasi serta puluhan hektare areal pertanian yang tertimbun tanah baik perkebunan kopi maupun sawah di daerah itu, tidak ada yang menghendakinya terjadi. 

Dilihat dari keadaan geografis, Kabupaten Rejanglebong merupakan salah satu daerah yang rawan bencana alam seperti gunung api, gempa bumi, banjir dan tanah longsor. 

Berdasarkan perjalanan sejarah kejadian bencana alam gempa bumi skala besar 5,5 hingga 6,5 skala Richter yang pernah terjadi di daerah itu setidaknya tercatat pada 1979, 1997 dan 2007.

Selain itu ancaman gunung meletus yakni Gunung Api Bukit Kaba dengan ketinggian 1.938 meter di atas permukaan laut (dpl) yang terletak di Desa Sumber Urip, Kecamatan Selupu Rejang, terakhir kali meletus pada 1953 dengan memakan korban jiwa puluhan orang serta harta benda yang tak terkira. Saat ini Gunung Bukit Kaba dalam status normal dan dalam pengawasan karena tercatat sebagai salah satu gunung api berstatus aktif.

Menurut keterangan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Rejanglebong Masdar Helmi, letak daerah itu yang berada di gugusan Bukit Barisan dan patahan Austronesia membuat kawasan setempat rawan bencana alam berupa gempa bumi, tanah longsor dan gunung meletus.

Besarnya potensi bencana alam yang ada di daerah itu dan bisa terjadi kapan saja membuat pihak BPBD setempat jauh-jauh hari telah melaksanakan pelatihan penanggulangan bencana dan kesiapsiagaan terhadap bencana untuk mengurangi risiko kejadian akibat bencana alam, dengan melibatkan kalangan pelajar SD hingga SMA serta kalangan umum.

Penyediaan peralatan penanggulangan bencana yang memadai dan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan tangguh merupakan salah satu unsur penting dalam penanggulangan bencana, terutama pada tindakan penyelamatan dan evakuasi korban saat bencana terjadi. 

Langkah lainnya kata dia, ialah pengoptimalan SDM penanggulangan bencana juga harus dipersiapkan sedini mungkin sehingga jika terjadi bencana alam dapat segera mengambil tindakan maupun kemampuan menggunakan peralatan penanggulangan bencana yang mereka miliki.

Penguasaan tekhnis dan peralatan penanggulangan bencana itu diharapkan nantinya akan meningkatkan pemahaman tentang kebijakan dan strategi penanggulangan bencana dan dukungan peralatan serta logistik, meningkatkan kemampuan dan keterampilan peserta dalam pengoperasian peralatan penanggulangan bencana serta kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang akan berkemungkinan terjadi dalam 15 kecamatan di Rejanglebong.

"Penguasaan peralatan penanggulangan bencana ini sangat penting misalnya untuk penyiapan mobil dapur umum lapangan, water treatment mobile, tenda pengungsi, penggunaan radio komunikasi, GPS serta peralatan penunjang lainnya. Selain itu pelatihan manajemen penanganan bencana juga harus dipahami petugas penanggulangan bencana, sehingga dalam penanganannya tidak terjadi tumpang tindih antara satu dengan lainnya," kata Helmi.


Rawan Longsor

Sementara itu menurut keterangan Kepala Seksi Logistik BPBD Rejanglebong Andi Purwanto, dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Rejanglebong, enam diantaranya dinyatakan BPBD setempat sebagai daerah rawan bencana tanah longsor yaitu Kecamatan Curup Selatan, Bermani Ulu, Sindang Beliti Ilir, Sindang Beliti Ulu, Binduriang dan Kecamatan Padang Ulak Tanding terutama disepanjang jalan lintas Curup-Lubuklinggau.

Ke enam yang kecamatan yang dinyatakan rawan bencana tanah longsor dari 15 kecamatan yang ada di daerah tersebut kata dia, harus diwaspadai masyarakat masing-masing wilayah terutama saat musim penghujan belakangan ini.

Tingginya curah hujan di daerah itu tambah dia, membuat sejumlah lokasi rawan longsor ini setiap saat dapat terjadi mengingat kondisi tanah yang masih labil akibat perubahan musim dari kemarau ke musim hujan.

Sejauh ini pihaknya belum bisa melakukan perbaikan pada sejumlah titik rawan longsor dalam beberapa kecamatan di daerah itu karena terbatasnya anggaran yang mereka miliki dan masih menunggu selesainya verifikasi APBD 2015 yang saat ini masih dibahas pihak Pemprov Bengkulu.

Untuk memantau perkembangan sejumlah lokasi rawan longsor ini pihaknya telah menyiagakan 70 personil yang tergabung dalam tim reaksi cepat (TRC) yang beranggotakan dari berbagai instansi terkait seperti TNI, Polri, dinas kesehatan, dinas pekerjaan umum, PMI, para camat dan pihak lainnya.

Bencana alam tanah longsor yang terjadi di daerah itu terjadi pada Minggu malam (7/2) lalu terjadi di dua desa di Kecamatan Sindang Beliti Ulu yang korban jiwa empat orang tiga orang diantaranya berasal dari satu keluarga dari Desa Tanjung Agung yakni pasangan suami-isteri Win Sapri (30), kemudian istrinya Leni Maryanti (30) dan Farel (3) anak satu-satunya.

Satu korban lainnya atas nama Asna (30) warga Desa Lubuk Alai Kecamatan Sindang Beliti Ulu.

Sementara itu bencana tanah longsor lainnya terjadi pada Rabu sore (11/3) di kawasan Dusun Karang Jaya, Desa Tebat Pulau, Kecamatan Bermani Ulu, dalam kejadian ini menewaskan Ardi (27) warga asal Kelurahan Talang Benih Kecamatan Curup, yang bekerja sebagai petani dan pengojek angkutan kayu. 

Korban tewas ini ditemukan warga tertimbun tanah dan balok kayu dikawasan Dusun Karang Jaya Desa Tebat Pulau Kecamatan Bermani Ulu, sehari kemudian.


Kerusakan Lingkungan 

Sementara itu koordinator LSM Pengawasan Masyarakat (pekat) Bengkulu, Ishak Burmansyah mengatakan, kerusakan hutan lindung Bukit Balai Rejang, di Kecamatan Sindang Dataran akibat aksi pembalakan liar dan perambahan membuat daerah itu rawan bencana banjir dan tanah longsor.

"Saat ini kondisi hutan lindung Bukit Balai Rejang sudah memprihatinkan sekali, hal ini bisa dilihat dengan terjadinya bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi belum baru-baru ini. Selama ini kawasan di dekat hutan lindung itu tidak pernah longsor dan banjir, tetapi pada awal Februari 2015 di kawasan ini terjadi banjir dan tanah longsor," katanya.

Hutan lindung Bukit Balai Rejang di daerah tersebut kata dia, masuk di wilayah di Kecamatan Sindang Beliti Ilir dan Sindang Dataran dengan luasan 16.000 hektare lebih saat ini kondisinya tersisa 10 persen yang masih berbentuk hutan selebihnya sudah dirambah masyarakat pendatang untuk areal perkebunan kopi.

Maraknya perambahan hutan ini telah berakibat terjadinya musibah tanah longsor dan banjir yang terjadi pada awal Februari lalu dengan meluapnya Sungai Air Beliti yang meliputi empat kecamatan yakni Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Sindang Beliti Ilir, Sindang Dataran dan Kecamatan Kota Padang. Dimana banjir ini mengakibatkan jalan provinsi di antara Desa Merantau dan Periang Kecamatan Sindang Beliti Ilir terendam banjir dan longsor yang menimbun badan jalan.

Bencana alam akibat kerusakan hutan lindung di daerah itu kata dia, sebagai lemahnya pengawasan terhadap praktik perambahan dan penindak dari dinas terkait dan terkesan dibiarkan. Jika ingin menyelamatkan hutan maka pihak-pihak terkait harus membuat tindakan tegas.

"Jadi selama ini modus yang digunakan kelompok ini dengan alasan faktor ekonomi, dengan alasan tidak memiliki lahan sendiri kemudian melakukan perambahan hutan, namun faktanya di lapangan kalangan ini melakukan pembalakan liar dengan menebangi pohon-pohon yang ada di kawasan hutan lindung," ujarnya. 

Dia berpesan, belajar dari beberapa kejadian diatas sudah selayaknya masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Rejanglebong untuk dapat menguasai tekhnis penanggulangan bencana sejak dini sehingga jika terjadi bencana mereka dapat menyelamatkan dirinya serta orang lain.

Selain itu bencana yang terjadi juga tidak terlepas dari kerusakan lingkungan yang terjadi belakangan ini, sehingga tidak salah jika kearifan lokal kembali diberlakukan dalam melaksanakan pembangunan dengan tetap menjaga keseimbangan alam dan tidak hanya semata-mata terpaku pada kegiatan pembangunan tanpa dilakukan peninjauan dampak yang akan timbul kemudian hari.***4***

Pewarta: Oleh Nur Muhamad

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015