Air mata menetes hangat di pelupuk mata Fifi Sumanti, bidan berusia 31 tahun asal Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, saat mengisahkan perjuangannya memberi pemahaman tentang gizi kepada sebagian masyarakat yang keras kepala dan merasa tahu segalanya tentang asupan yang selama ini dicecap di mulut anak-anaknya.
Masyarakat Pulau Komodo, NTT, bukan tak mampu dari segi ekonomi, juga sudah tak lagi kekurangan air. Namun, ada mitos dan kepercayaan keliru yang berusaha ditepis oleh para bidan dan kader kesehatan di pulau ini agar warganya lebih jernih dalam berpikir. Mengedukasi mereka saban hari tanpa henti agar warga di pulau yang indah ini bisa merdeka dari stunting.
“Aduh Komodo, padahal ini sudah desa wisata lho. Desa wisata itu seharusnya pemikiran masyarakatnya bisa lebih bagus lagi, mau kita masa bodoh juga enggak bisa saya, karena ini keluarga, satu kampung juga,” kata Fifi sambil menyeka air matanya.
Fifi tidak sendiri dalam berjuang melawan pemikiran masyarakat Pulau Komodo yang masih rendah tentang gizi. Ditemani Faiza (27 tahun), ia berkeliling dari rumah ke rumah, mengetuk pintu sebagai seorang teman agar bisa lebih diterima. Dalam bekerja, mereka melepas seluruh jubah kehormatannya. Mereka bisa menjalankan peran sebagai seorang bidan, dokter, konsultan keluarga, hingga juru masak untuk program pemberian makanan tambahan.
Rasa cinta mereka pada Pulau Komodo sangatlah besar. Meskipun Fifi dan Faiza telah mengenyam pendidikan di luar NTT, mereka tetap pulang dan kembali mendedikasikan diri untuk keluarga yang membutuhkan uluran tangan di bidang kesehatan.
Ketika berkeliling Pulau Komodo, Fifi dengan sabar mengetuk pintu-pintu rumah dan disambut dengan hangat oleh para ibu yang mengenalnya sebagai Mama Sami. Orang NTT akan memanggil seorang ibu dengan nama anaknya ketika sudah merasa akrab. Ini membuktikan bahwa ibu-ibu di Pulau Komodo telah menganggap Fifi sebagai keluarga dan saudara mereka sendiri.
Melawan keterbatasan, menepis mitos
Fifi dan Faiza mengaku, rasa cinta dan pedulilah yang mengukuhkan niat mereka untuk tetap bertahan menjadi bidan di Pulau Komodo. Sebagai bidan, mereka merasa penghasilan yang selama ini didapatkan telah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, mereka merasa bahwa masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi, misalnya, ketika harus pergi ke Labuan Bajo untuk mengambil obat dan vaksin, yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
“Kita kan pakai perahu, perahunya tidak langsung pulang. Jadi, kami harus bermalam dulu. Kalau bermalam, kita butuh biaya banyak dari penginapan dan makannya karena tidak ada perahu untuk pulang-pergi. Kalau ada pun, itu terlalu mahal untuk kami biayanya,” ujar Faiza.
“Kita kan pakai perahu, perahunya tidak langsung pulang. Jadi, kami harus bermalam dulu. Kalau bermalam, kita butuh biaya banyak dari penginapan dan makannya karena tidak ada perahu untuk pulang-pergi. Kalau ada pun, itu terlalu mahal untuk kami biayanya,” ujar Faiza.
Ketika harus merujuk pasien, mereka juga tidak bisa langsung pulang dan harus bermalam di sana. Labuan Bajo yang kini sudah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata super-premium, membuat biaya hidup semakin mahal sehingga gaji sebagai seorang bidan pun rasanya masih kurang apabila harus sering pergi pulang terus-menerus.
Mereka mendapatkan transportasi Rp200-Rp300 ribu untuk pergi ke Labuan Bajo, meski jumlahnya masih jauh dari kata cukup karena biaya menginap dan makan tidak bisa ditanggung sehingga mereka mesti merogoh kocek pribadi.
Adapun Dana Desa sudah tidak dapat diotak-atik lagi karena untuk memenuhi kelas ibu, bayi dan balita, juga ibu-ibu hamil.
Keikhlasan dan ketulusan adalah dua hal yang dipegang oleh Fifi dan Faiza ketika mengabdi untuk masyarakat di Pulau Komodo.
Di dalam ruangan puskesmas pembantu yang luasnya mungkin tidak sampai 200 meter persegi, mereka merawat ibu-ibu hamil yang dulu lebih percaya kepada dukun beranak daripada bidan.
Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya kini masyarakat Pulau Komodo sudah tak ada lagi yang melahirkan dengan bantuan dukun beranak.
“Ada yang kejang, keracunan, tetapi dibilang kerasukan setan. Saya bilang, ini itu karena tensinya tinggi, di tubuhnya masih ada racun. Itu pun mereka masih rundingan di rumah, mau dibiarkan saja atau bagaimana? Saya tegaskan, nanti pasti kejang lagi, ternyata betul kan kejang lagi. Akhirnya setelah itu mau dibawa ke Puskesmas Labuan Bajo, malam-malam kita menyeberang laut,” kenang Fifi.
Rasa peduli yang melebihi segalanya, dedikasi untuk terus mengedukasi agar tak ada lagi ibu hamil yang menderita preeklamsia, atau ibu yang menderita komplikasi kehamilan yang berpotensi berbahaya dan ditandai dengan tekanan darah tinggi, terus dilakukan hingga kini sudah semua ibu di Pulau Komodo mau melahirkan di puskesmas pembantu, tak ada lagi yang melahirkan di rumah.
Dengan semua sarana yang sudah tersedia, mulai air yang mengalir dengan lancar, untuk memenuhi kebun-kebun sayur yang bekerja sama dengan balai taman nasional, seharusnya sudah cukup untuk menopang masyarakat dari segi gizi.
Namun, Fifi dan Faiza melihat tantangan terbesar yang mereka hadapi kini masih pada bagaimana mengedukasi masyarakat untuk paham tentang pentingnya gizi yang cukup bagi keluarganya, mengingat masyarakat Pulau Komodo masih memilih cara yang mudah untuk memberi makan anak-anaknya, misalnya, dengan memberikan mi instan, atau makanan ringan dengan kandungan bumbu-bumbu tambahan yang tinggi.
“Di sini lebih ke kemauan ibu, untuk mengubah perilaku, memang saya harus kerja lebih keras lagi dengan Kakak Faiza,” tutur Fifi.
Pentingnya memberi dukungan perempuan
Fifi dan Faiza hanyalah dua dari sekian banyak bidan perempuan di daerah terluar yang hingga kini masih berjuang keras melawan keterbatasan, baik dari segi geografis maupun ekonomi, dengan mengesampingkannya demi kepedulian sosial pada lingkungannya.
Meski dibantu dengan para kader-- karena mereka tidak bisa mendapatkan pendanaan dari pusat-- maka kerja para bidan ini akan semakin berat.
Belum lagi ditambah dengan beban administrasi yang harus dipenuhi setiap hari untuk pendataan. Dengan insentif kader yang hanya dianggarkan sebesar Rp400 ribu per tahun, rasanya wajar apabila belum ada kader yang siap sedia apabila dibutuhkan sewaktu-waktu, padahal dari segi kegawatdaruratan, peran mereka sangatlah krusial.
Belum lagi ditambah dengan beban administrasi yang harus dipenuhi setiap hari untuk pendataan. Dengan insentif kader yang hanya dianggarkan sebesar Rp400 ribu per tahun, rasanya wajar apabila belum ada kader yang siap sedia apabila dibutuhkan sewaktu-waktu, padahal dari segi kegawatdaruratan, peran mereka sangatlah krusial.
Peran laki-laki tentu juga diperlukan untuk membantu para perempuan pemberi kehidupan ini. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo kini juga menggalakkan program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) untuk meningkatkan kepedulian para bapak akan gizi anak-anak Indonesia.
Namun, peran tersebut tidak boleh hanya sekadar memberi bantuan makanan dan setelah itu dianggap selesai. Perlu ada upaya untuk membangun kesadaran bahwa urusan gizi dalam keluarga adalah tanggung jawab seumur hidup bagi kedua orang tua, bukan hanya ibu seorang.
Jika para perempuan di garis depan ini bisa mendapatkan rasa aman ketika bekerja untuk masyarakat, bisa dipastikan di masa depan, utamanya dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, Indonesia bisa merdeka dari stunting.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023