Tradisi unik bernuansa adat berbalut religi masih hidup dan dipelihara oleh kelompok masyarakat di Bengkulu dalam menyambut bulan suci Ramadhan dan bulan Syawal.

Salah satu tradisi yang diwariskan para leluhur yakni memasak "gulai sepedeh" di masyarakat wilayah Kabupaten Mukomuko.

Gulai sepedeh yakni kuliner berbahan daging kerbau dipadu bumbu tertentu yang dimasak setiap satu hari sebelum 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

"Tradisi ini sudah turun temurun dari nenek moyang kami, intinya memupuk persaudaraan antarsesama," kata Muhammad Nizar, Kepala Kaum Melayu Kecik di Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.

Satu hari sebelum bulan puasa, warga Desa Sungai Ipuh menggelar tradisi pemotongan hewan kerbau dan dibagi ke seluruh warga di desa itu.

Kebiasaan ini kata Nizar sebagai lambang suka cita warga setempat yang mayoritas memeluk agama Islam untuk menyambut datangnya bulan suci. Tradisi serupa juga akan diulang pada satu hari sebelum Lebaran untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri.

"Intinya sebagai ucapan syukur memasuki bulan baik yaitu bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam," ucap dia.

Tahun ini menurut Nizar jumlah kerbau yang dipotong sebanyak tujuh ekor. Pemotongan hewan tersebut dilakukan setelah Shalat Zuhur dengan memilih kerbau terbaik dan terjamin kesehatannya.

Pemotongan hewan kerbau dilakukan di lapangan desa dan proses pemotongan ternak tersebut disaksikan penduduk desa karena setelah dipotong langsung dibagi di tempat itu juga.

Sistem pembagian daging tidak berdasarkan harga tapi dibagi sesuai dengan jumlah warga desa. Jumlah tumpukan daging biasanya akan dipastikan sama dengan jumlah kepala keluarga di desa itu.

"Harga daging sama untuk setiap tumpukan dengan berat hampir dua kilogram," tuturnya.

Rasa persaudaraan dan persatuan yang masih erat di kalangan masyarakat akan terlihat saat proses pembagian daging kerbau itu.

Untuk mendapatkan potongan daging, beberapa keluarga bisa bergotong royong membeli setiap tumpukan daging dengan harga tersebut kemudian dibagi rata.

"Bagi yang tidak mampu membeli satu tumpukan bisa bergotong royong, nanti dagingnya dibagi rata," tambahnya.

Pemesanan daging dari tiap warga biasanya dilakukan sepekan sebelum pemotongan kerbau. Hal itu untuk mengetahui kebutuhan daging bagi seluruh masyarakat di desa itu.

Pemotongan dan pembagian daging menurut Nizar biasanya disaksikan langsung oleh perwakilan kepala keluarga yang hadir di lapangan utama desa itu.

Setelah pemotongan daging kerbau, rasa persaudaraan antarwarga semakin erat dengan menu yang sama yang akan dimasak di tiap keluarga.



Tanpa Santan

Setelah daging dibagi lalu dibawa ke rumah masing-masing, warga pun segera melakukan kegiatan yang sama yakni memasak gulai sepedeh.

Masyarakat adat Melayu Kecik yang mendiami zona penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), berjarak 220 kilometer dari Kota Bengkulu umumnya akrab dengan kuliner bersantan. Namun, gulai sepedeh merupakan pengecualian.

"Sepedeh artinya gulai tanpa lemak atau tanpa santan, padahal masakan warga di sini selalu lekat dengan santan," ujar Nurbaiti, warga setempat yang bersiap memasak gulai sepedeh.

Daging yang dibeli bersama anggota keluarganya sudah dipotong-potong dan dibersihkan serta siap dimasak.

Meski tanpa santan, hidangan ini tampil dengan bumbu yang kaya. Bumbu yang digunakan yakni cabai, jahe, lengkuas, bawang putih, bawang merah, daun jeruk, serai dan ketumbar.

Semua bumbu tersebut dihaluskan kecuali bawang merah. Bumbu yang dihaluskan langsung dicampur dengan potongan daging.

Cara memasak diawali dengan menumis bawang merah yang sebelumnya sudah diiris lalu memasukkan cabai merah halus.

Setelah aroma bawang goreng tecium, campurkan daging kerbau yang sudah berlumur bumbu halus tersebut.

"Diamkan sebentar hingga daging mengeluarkan air sedikit, lalu setelah itu tambahkan air dan beri garam secukupnya lalu dimasak hingga daging empuk," paparnya, menerangkan.

Ia mengatakan, dalam kondisi api sedang, gulai sepedeh sudah matang setelah dimasak selama 45 menit hingga 60 menit.

Selain gulai utama yakni sepedeh, masyarakat setempat juga memasak penganan lainnya untuk melengkapi hidangan penyabut bulan puasa.

Penganan tersebut antara lain yakni lemang, kue lepek pendek yang terbuat dari tepung beras, onde-onde serta kue cucur yang terbuat dari adonan tepung beras dicampur gula merah.

Hidangan tersebut kata Nurjanah, akan menjadi menu utama pada makan malam sebelum menggelar sholat taraweh.

"Malam ini semua hidangan makan malam di rumah-rumah penduduk di desa ini akan sama yakni gulai sepedeh," tambah Muhammad Nizar.

Hal itu sesuai dengan keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada 18 Juni 2015.

Selama satu bulan penuh, umat Islam di seluruh dunia akan menjalankan ibadah puasa menahan lapar, dan menahan hawa nafsu dari amarah, dendam dan sifat buruk manusia lainya.

Ia mengharapkan, tradisi ini tetap dipertahankan para keturunnya sebagai lambang persaudaraan dan sukacita menyambut bulan Ramadhan dan bulan Syawal.

Gulai sepedeh yang melambangkan persaudaraan, persatuan dan sukacita itu juga akan menjadi menu wajib masyarakat setempat setelah malam takbiran sebagai tanda datangnya Hari Kemenangan.***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015