Sebanyak enam orang seniman asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kalimantan menggelar pameran seni rupa dengan tema besar terkait Hak Asasi Manusia (HAM), yakni "From the River to the Liberty" di Unicorn Young Collector Club (UYCC) Art Gallery Surabaya.
Gallery Director UYCC, Aldridge Tjiptarahardja dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu, mengatakan pameran tersebut bercerita tentang HAM yang menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ada tiga hal, yakni setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi.
"Tiga hal tersebut harus dipenuhi di manapun kita berada, tidak peduli agama, pemerintah, bahkan kasta ekonomi apapun. Tiga itu harus terpenuhi," ucapnya.
Pameran tersebut, lanjutnya, juga merespons isu yang saat ini terjadi, yaitu peperangan yang banyak terjadi.
"Kami lihat perang ini tidak beretika, bukan masalah kami pro-negara apa atau agama apa. Tapi, ini sudah mengenai kemanusiaan yang pantas diperjuangkan dengan hak asasi manusia ini," katanya.
Jumlah karya yang dipamerkan, kata dia, sebanyak lima tema dengan enam seniman, yakni "Hacking My Head" karya Nani Nur, "URUP" Ritadwika, "Adrenaline of Legacy" Ramadhan Arif, "Ruang Ruang Kebebasan" Catur Agung, "RING(IN)" I Gusti Ketut Alit bersama Rhandu Fahmintha Dewa dan "Bersulang untuk Para Petarung" Iwan Sri Hartoko.
"Pameran ini berlangsung selama empat bulan ke depan, untuk pengunjung yang ingin melihat akan dikenakan tarif sebesar Rp50.000 per orang, namun hanya sekali bayar. Jadi, pengunjung bisa masuk berkali-kali hingga pameran ini selesai," tuturnya.
Sementara itu, salah satu seniman asal Yogyakarta Ramadhan Arif mengatakan karya yang ia buat merupakan gambaran kisah tragis Qabil dan Habil (Kain dan Habel) menyoroti awal mula konflik antar-manusia.
"Dari kisah tersebut, kita sebagai manusia dapat merefleksikan bahwa konflik yang terjadi selalu berpusat pada insan, hingga kematian menjadi suguhan harian tentang kisah hidup orang lain," katanya.
Sampai saat ini, lanjutnya, konflik terbesar manusia termanifestasi dalam konflik Israel-Palestina, yang sejak abad ke-19 hingga 21 menimbulkan perdebatan kompleks yang memicu spiral kekerasan dalam militer, politik dan agama.
"Oleh karena itu, seni harus digunakan sebagai alat untuk memahami sifat manusia dalam mengekspresikan emosi untuk mengungkapkan makna yang lebih dalam, membangun fondasi empati antara ego dan jiwa," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024
Gallery Director UYCC, Aldridge Tjiptarahardja dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu, mengatakan pameran tersebut bercerita tentang HAM yang menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ada tiga hal, yakni setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi.
"Tiga hal tersebut harus dipenuhi di manapun kita berada, tidak peduli agama, pemerintah, bahkan kasta ekonomi apapun. Tiga itu harus terpenuhi," ucapnya.
Pameran tersebut, lanjutnya, juga merespons isu yang saat ini terjadi, yaitu peperangan yang banyak terjadi.
"Kami lihat perang ini tidak beretika, bukan masalah kami pro-negara apa atau agama apa. Tapi, ini sudah mengenai kemanusiaan yang pantas diperjuangkan dengan hak asasi manusia ini," katanya.
Jumlah karya yang dipamerkan, kata dia, sebanyak lima tema dengan enam seniman, yakni "Hacking My Head" karya Nani Nur, "URUP" Ritadwika, "Adrenaline of Legacy" Ramadhan Arif, "Ruang Ruang Kebebasan" Catur Agung, "RING(IN)" I Gusti Ketut Alit bersama Rhandu Fahmintha Dewa dan "Bersulang untuk Para Petarung" Iwan Sri Hartoko.
"Pameran ini berlangsung selama empat bulan ke depan, untuk pengunjung yang ingin melihat akan dikenakan tarif sebesar Rp50.000 per orang, namun hanya sekali bayar. Jadi, pengunjung bisa masuk berkali-kali hingga pameran ini selesai," tuturnya.
Sementara itu, salah satu seniman asal Yogyakarta Ramadhan Arif mengatakan karya yang ia buat merupakan gambaran kisah tragis Qabil dan Habil (Kain dan Habel) menyoroti awal mula konflik antar-manusia.
"Dari kisah tersebut, kita sebagai manusia dapat merefleksikan bahwa konflik yang terjadi selalu berpusat pada insan, hingga kematian menjadi suguhan harian tentang kisah hidup orang lain," katanya.
Sampai saat ini, lanjutnya, konflik terbesar manusia termanifestasi dalam konflik Israel-Palestina, yang sejak abad ke-19 hingga 21 menimbulkan perdebatan kompleks yang memicu spiral kekerasan dalam militer, politik dan agama.
"Oleh karena itu, seni harus digunakan sebagai alat untuk memahami sifat manusia dalam mengekspresikan emosi untuk mengungkapkan makna yang lebih dalam, membangun fondasi empati antara ego dan jiwa," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024