Jakarta  (ANTARA Bengkulu) - Kerukunan umat beragama di Tanah Air berjalan "gontai", kadang miring ke kiri atau terlalu miring ke kanan, namun pada saat tertentu kembali tegak lurus sesaat dan terus aktif menggerakkan bandul lonceng kehidupan dengan diselingi suara bel menurut waktu yang sudah ditetapkan.

Kerukunan umat beragama kadang dapat diibaratkan suhu tubuh manusia dalam perjalan hidupnya. Kadang tubuh mengalami panas, demam, merasa sakit. Atau kadang merasa nyaman karena iklim sekitar dalam keadaan baik. Suasana dan lingkungan sekitar pun ikut mempengaruhi sehat tidaknya seseorang.

Namun harus diyakini bahwa suasana nyaman atau tidaknya umat berada di suatu tempat tidak semata ditentukan oleh atas kemauan orang itu sendiri. Orang terlahir di atas permukaan bumi tidak atas kemauan sendiri. Jika orang bersangkutan tahu akan dilahirkan di atas tanah gersang seperti jazirah Arab, yang panas terik itu, tentu akan memilihi daerah sejuk seperti di Pulau Dewata Bali.

Atau bisa saja jika orang bersangkutan tahu akan lahir dari seorang ibu di kawasan Amerika Serikat, yang dianggap makmur itu, meminta kepada Tuhan agar ditempatkan di kawasan Afrika lantaran di sana binatang buasnya lebih banyak.

Jadi, karena kehadiran umat di atas permukaan bumi atas kemauan dan kehendak-Nya, maka tidak cukup alasan bagi manusia untuk menyalahkan sesama hanya disebabkan adanya perbedaan. Perbedaan itu ternyata indah. Islam berpandangan kehidupan dunia pun indah. Agama lain pun, yang memiliki nilai universal, memandang kehidupan yang merupakan ciptaan Tuhan sesungguhnya indah.

Tuhan pun menciptakan seluruh alam semesta ini tak sia-sia. Cacing saja, binatang kecil yang hidup di bawah permukaan tanah kotor dan oleh manusia dianggap menjijikkan, ternyata memberi manfaat besar. Cacing dengan segala kelebihannya, mampu menembus batu dan memberi kesuburan bagi tumbuh-tumbuhan. Cacing pun ternyata memberi manfaat bagi manusia karena belakangan ini dijadikan sebagai obat.

Allah menciptakan alam semesta tak sia-sia. Para ulama dan tokoh masyarakat pun membenarkan pandangan itu, karena alam semesta ini bergerak sudah menurut kehendak-Nya. Bintang, matahari, bulan dan planet bumi di jagat raya ini bergerak sesuai dengan koridornya masing-masing.

Dan, Muhammad Maftuh Basyuni, mantan Menteri Agama, dalam berbagai ceramahnya juga kerap mengulangi pernyataannya bahwa kehancuran jagat raya dapat terjadi manakala alam jagat, matahari, bulan, bintang dan planet bumi pergerakannya terlepas dari koridornya masing-masing.

Karena itu, Maftuh Basyuni meminta agar perbedaan hendaknya dipandang sebagai rahmat. Termasuk dalam hal perbedaan agama. Nabi Muhammad SAW pun telah memberi contoh ketika diajak kelompok agama lain untuk menyembah berhala pada saat tertentu. Lalu Nabi Muhammad SAW menolak dengan mengatakan, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Pernyataan itu mengandung makna bahwa Nabi Muhammad SAW pun mengakui adanya perbedaan.

Dalam kenyataan di lapangan, seperti dikemukakan Menteri Agama Suryadharma Ali ternyata di setiap penganut agama dijumpai unsur radikalisme. Bahkan negara Barat memberikan label kepada Islam sebagai terorisme. Untuk menjelaskan ini, katanya, sungguh melelahkan.

Karena itu pula Suryadharma Ali berharap para ulama tak menghabiskan energi membicarakan radikalisme, terorisme dan multikultural lantaran sikap Islam pun sudah tegas, sebagai pembawa kedamaian, toleransi dan rahmatan lil alamin. Ulama diminta memberi perhatian kepada pendidikan umat, yang ke depan diharapkan dapat lebih memahami kondisi objektif di negeri tercinta ini.

                                                          Majemuk
Dalam kaitan bernegara, Indonesia merupakan bangsa majemuk dengan beragam agama, karena itu kerukunan antar umat beragama harus dibina secara baik dan terus menerus, kata Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar.

Nararudin berharap agar perbedaan tersebut menjadi sebuah keindahan ibarat sebuah lukisan.

"Jadikan perbedaan suatu keindahan," kata Wamenag Nasaruddin Umar pada penutupan kegiatan pengembangan Kawasan Binaan Kerukunan (KBK) umat beragama di Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Sabtu (17/12) malam.

Ibarat sebuah lukisan, maka harus ada warna yang berbeda-beda.

"Lukisan jadi indah bukan karena warna putih, tapi harus ada warna yang lain," ujarnya.

Indonesia memang negara yang multikultur, etnik dan juga agama. Karena itu, sepatutnya toleransi dan kebersamaan menjadi nilai luhur dalam kebhinekaan.

"Kerukunan yang kita inginkan tidak bisa terwujud bila kesejahteraan ekonomi, pendidikan masyarakat serta lingkungan hidup yang sehat tidak mendukung. Semua aspek kehidupan tersebut saling menopang satu sama lain," paparnya.

Ia juga berharap KBK di Pondok Melati ini menjadi model bagi pembinaan kerukunan umat beragama. Karena di tempat ini ada semua penganut agama; Islam, Katolik, Protestan,  Hindu, Buddha dan Konghuchu bisa hidup rukun damai tanpa harus dipisah secara psikologis karena alasan perbedaan agama.

"Kawasan ini layak dikunjungi tamu kita yang ingin menyaksikan betapa indahnya Indonesia. Ini kita jadikan obyek studi banding," kata Wamenag.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Abdul Fatah mengatakan, bahwa salah satu program yang dikembangkan Kementerian Agama adalah membentuk Kawasan Bina Kerukunan di berbagai daerah.

"Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah memperkuat kerukunan pada masyarakat akar rumput melalui tiga aspek kehidupan, yaitu aspek keagamaan, aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup," kata Abdul Fatah

Masyarakat di tingkat "grassroot"  (akar rumput) merupakan basis nyata kerukunan beragama perlu terus- menerus mengembangkan kerukunan yang harmonis dengan menyentuh berbagai aspek kehidupan, tidak hanya menyangkut pemahaman agama yang benar tetapi juga pendidikan yang memadai, kesejahteraan ekonomi yang cukup.

Tersentuhnya semua aspek penguatan kerukunan itu adalah tanggung jawab semua warga, baik pemuka agama, pemerintah, organisasi keagamaan maupun seluruh komponen masyarakat termasuk seluruh umat beragama.

Dalam acara penutupan KBK ini ditampilkan berbagai seni budaya seperti, Barongsai, Topeng Betawi, Musik Keroncong dan yang lainnya. (T.E001/A011)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei

Editor : Indra Gultom


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2011