Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Camelia Catharina Pasandaran menilai aturan di dalam RUU Penyiaran yang melarang tayangan eksklusif jurnalisme investigasi berpotensi mengganggu peran pers sebagai watchdog atau anjing penjaga dan pilar keempat demokrasi.
"Larangan untuk menayangkan liputan investigasi eksklusif berpotensi mengganggu peran pers sebagai watchdog dan sebagai pilar keempat demokrasi," kata Camelia saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, karya jurnalis investigasi selama ini justru menginisiasi terbongkarnya kasus-kasus yang tersembunyi. Untuk itu, pelarangan ini telah menghalangi kebebasan pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
"Pelarangan ini tentu saja menghalangi kebebasan pers untuk menyampaikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat," ujarnya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers nasional. Adapun dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.
"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata anggota Panja Nurul Arifin di Jakarta, Selasa.
Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait dengan RUU Penyiaran. Hal ini mengingat RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI.
"RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR masih dalam proses, jadi belum final," katanya menegaskan.
Nurul Arifin menyebutkan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42, yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, khusus di bidang penyiaran.
Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
"RUU yang beredar bukan produk yang final sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," katanya.
Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.
Dikatakan pula bahwa RUU Penyiaran ini adalah perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebetulnya sudah digulirkan sejak 2012. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024
"Larangan untuk menayangkan liputan investigasi eksklusif berpotensi mengganggu peran pers sebagai watchdog dan sebagai pilar keempat demokrasi," kata Camelia saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, karya jurnalis investigasi selama ini justru menginisiasi terbongkarnya kasus-kasus yang tersembunyi. Untuk itu, pelarangan ini telah menghalangi kebebasan pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
"Pelarangan ini tentu saja menghalangi kebebasan pers untuk menyampaikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat," ujarnya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers nasional. Adapun dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.
"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata anggota Panja Nurul Arifin di Jakarta, Selasa.
Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait dengan RUU Penyiaran. Hal ini mengingat RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI.
"RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR masih dalam proses, jadi belum final," katanya menegaskan.
Nurul Arifin menyebutkan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42, yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, khusus di bidang penyiaran.
Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
"RUU yang beredar bukan produk yang final sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," katanya.
Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.
Dikatakan pula bahwa RUU Penyiaran ini adalah perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebetulnya sudah digulirkan sejak 2012. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024