Bruce melompat kecil dan menapakkan kakinya di dermaga Kahyapu. Setelah berlayar dengan feri Pulo Tello selama 12 jam, pria asal Australia itu tiba di Pulau Enggano, pulau terluar Provinsi Bengkulu yang berada di tengah Samudera Hindia.

Kedatangan Bruce sudah ditunggu Zulvan Zaviery, warga setempat yang dikenalnya dua tahun terakhir. Menggunakan kendaraan roda dua, mereka langsung meninggalkan dermaga dan berkendara menuju pusat pendaratan ikan di Desa Kahyapu.

Bukan untuk membeli ikan tapi guna menyewa kapal nelayan yang digunakan menyeberang ke Pulau Dua, pulau kecil di sisi Pulau Enggano yang ditempuh 20 menit menggunakan kapal motor nelayan.

Beberapa bulan terakhir, Bruce rutin mengunjungi Pulau Enggano, pulau berpenghuni berjarak 106 mil laut dari Kota Bengkulu. Dia mengawasi pembangunan pondok wisata di Pulau Dua.

"Kami merintis akomodasi wisata di Pulau Dua, pulau kecil seluas 35 hektare di sisi Pulau Enggano," kata Bruce awal pekan lalu.

Pembangunan pondok wisata di pulau tak berpenghuni itu merupakan langkah awal Bruce untuk menyediakan akomodasi wisata lainnya di atas lahan seluas 3 hektare. Bruce dan istrinya Laily Levick, perempuan asli Bengkulu membeli tanah itu dari warga Enggano.

Letak Pulau Dua yang dekat dengan dermaga Kahyapu, tempat sandar kapal feri yang menjadi sarana transportasi utama warga Enggano menjadi pertimbangan mendasar untuk membangun akomodasi wisata di lokasi itu.

Selain itu, Pulau Dua dapat dikatakan pulau perawan sebab masih memiliki hutan alami dan sebagian kecil ditanami pohon kelapa oleh nelayan yang berteduh di pulau itu bila terjadi badai atau gelombang tinggi.

"Pulaunya masih alami dengan banyak flora dan fauna endemik jadi sangat potensial dikembangkan membangun vila untuk mereka yang berbulan madu," katanya.

Tahap awal, Bruce menawarkan konsep petualangan atau "Enggano Adventure" dengan beragam paket, yaitu snorkling, memancing, susur hutan mangrove dan pemantauan burung atau "bird watching" dengan menggandeng masyarakat setempat sebagai pemandu wisata serta penyedia transportasi keliling pulau.

Wisatawan bisa menginap di pondok wisata dengan fasilitas mandi air hangat dengan harga Rp150 ribu per malam. Mereka juga menyediakan seorang koki yang siap memasak makanan para wisatawan dengan harga khusus di luar biaya penginapan.

"Turis juga bisa merasakan pengalaman memancing ikan saat malam hari dan bisa langsung membakar hasil tangkapannya atau minta dimasak oleh koki," ucapnya.



Memecah Kebuntuan

Menurut Bruce, pengembangan pariwisata di pulau terluar itu memiliki tantangan tersendiri.

Kendala utama, menurutnya adalah biaya transportasi yang mahal untuk mengangkut material pembangunan fasilitas wisata. Ongkos yang dikeluarkan lebih tinggi beberapa kali lipat bila dibandingkan dengan pembangunan fasilitas serupa di Kota Bengkulu.

Ke depan, kata suami Laily Levick ini, mereka bermimpi membangun vila dan menyediakan kapal wisata yang dapat mengelilingi Pulau Enggano dan beberapa pulau kecil di sekitarnya hingga berlayar ke Pulau Mentawai di Sumatera Barat.

Tidak hanya itu, pihaknya juga berencana membangun area konservasi penyu bekerjasama dengan masyarakat adat pulau itu yang bisa mendukung kegiatan pariwisata berbasis pesisir.

"Kami sudah menginvestasikan banyak, dan kami yakin usaha ini tidak akan sia-sia karena Enggano memiliki potensi besar sebagai ikon wisata Bengkulu," katanya.

Ketua Bidang Perjalanan Wisata Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA) Provinsi Bengkulu Krishna Gamawan menilai bahwa upaya Bruce membangun akomodasi wisata di Pulau Enggano merupakan langkah untuk memecah kebuntuan.

Menurut dia berbagai kesempatan sudah dimanfaatkan ASITA dan sejumlah perusahaan perjalanan wisata untuk mempromosikan pariwisata Pulau Enggano.

"Sejumlah biro perjalanan pernah membawa tamu ke Enggano dan masyarakat di sana juga sudah membuat rumah tinggal sementara, tapi apa yang dilakukan Bruce dan timnya adalah memecah kebuntuan," katanya.

Menurut dia, Pulau Enggano memainkan peranan penting dalam pengembangan pariwisata di Provinsi Bengkulu.

Apalagi dalam pameran pariwisata bertajuk "Pesona Indonesia" yang digelar di Jakarta pada Desember 2015 menunjukkan tren pariwisata, terutama pasar domestik mulai meningkat untuk wisata kepulauan.

"Selama ini wisata kepulauan hanya `booming` untuk wisatawan asing, tapi tren ini mulai menular kepada wisatawan domestik mulai tahun 2015," ujar Direktur PT Alesha Wisata ini.

Hal ini menurut Krishna peluang untuk pengembangan pariwisata Pulau Enggano. Pada 2012 kata dia, Alesha Wisata membuat "7 Wonders of Bengkulu Tourism", di mana Pulau Enggano termasuk di dalamnya.

Walau di Pulau Enggano tidak terdapat kawasan yang dicadangkan sebagai Hutan Wisata Alam, namun potensi Pulau Enggano sebagai lokasi wisata patut diacungi jempol.

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, ada beberapa kegiatan alam bebas yang dapat dinikmati di pulau itu antara lain pengamatan buaya endemik Pulau Enggano atau "Crocodile Watching".

Selanjutnya pengamatan burung atau "Bird Watching" sebab ada banyak burung liar di Enggano. Dua spesies endemik yang telah terdeteksi yakni Celepuk Enggano (Otus enganensis) dan burung Kacamata (Zosterops salvadorii).

Lokasi "tracking and rock climbing" atau panjat tebing dapat dilakukan di Tebing Pakiu di tepi Pantai Koomang. Menelusuri hutan belantara Pulau Enggano mempunyai daya tarik tersendiri. Jalan sisa penjajahan bangsa Jepang merupakan trek yang memiliki nilai histori.

Keindahan pesisir dan bawah laut juga tidak kalah menarik antara lain di perairan Pulau Dua, Pulau Merbau, Kahyapu, Pantai Teluk Harapan, TelukLabuho, Teluk Berhawe, Tanjung Kioyo, Tanjung Koomang, dan pantai di Kaana.

Namun, persoalan transportasi menjadi kendala utama dalam pengembangan destinasi wisata baru itu. Sebab mobilitas transportasi bergantung pada kondisi cuaca di perairan barat Sumatera itu.

Untuk mengakses pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkulu Utara itu dapat dilakukan melalui jalur laut dan udara.

Terdapat dua dermaga di pulau itu yakni di Desa Kahyapu untuk sandar kapal feri Pulo Tello dengan jadwal dua kali berlayar dalam sepekan.

Dermaga lainnya terdapat di Desa Malakoni untuk sandar kapal perintis yang melayari perairan barat Sumatera itu setiap 10 hari.

Sedangkan transportasi udara dilayani pesawat perintis Susi Air dengan jadwal dua kali dalam sepekan melalui bandara perintis di Desa Banjarsari.



Ikon Pariwisata

Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Pemerintah Provinsi Bengkulu optimistis bahwa Pulau Enggano berpotensi menjadi ikon pariwisata Bengkulu.

Penjabat Gubernur Bengkulu, Suhajar Diantoro mengatakan bahwa Pulau Enggano memiliki keunikan dari sisi budaya, ekosistem dan pesona perairan bawah laut.

"Pulau Enggano dihuni masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal dan pesona kekayaan alam yang bisa menarik turis domestik," kata Suhajar.

Secara budaya kata dia, masyarakat yang bermukim di pulau itu masih memegang tradisi dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam di pulau tersebut.

Sementara keunikan ekosistemnya terekspos dari hasil penelitian Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan (LIPI) yang melakukan ekspedisi ke pulau itu pada 2015.

Ekspos dari LIPI itu mengungkap hal penting yang membuat Enggano semakin istimewa karena dari penelitian terhadap flora dan faunanya menunjukkan bahwa pulau itu tidak pernah bersatu dengan Pulau Sumatera.

"Saya sudah meminta pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara untuk menyusun proposal tentang strategi pengembangan Pulau Enggano untuk sektor pariwisata," ucapnya.

Proposal tersebut akan disampaikan ke pemerintah pusat untuk mendukung pengembangan pulau terluar itu untuk menjadi salah satu destinasi wisata berbasis ekosistem darat dan perairan.

Menurut Suhajar, tantangan dalam penyusunan proposal tersebut adalah strategi yang realistis dalam perencanaan pembangunan dan memanfaatkan jejaring yang baik, sehingga dapat meyakinkan pemerintah pusat.

Selama ini kata Suhajar, kekayaan alam menjadi modal utama yang dimiliki Provinsi Bengkulu untuk menarik wisatawan ke daerah ini.

Kekayaan flora dan fauna seperti bunga rafflesia dan keberadaan satwa langka gajah Sumatera menjadi andalan, tapi Enggano jangan dilupakan karena potensinya juga besar.

Pulau seluas 40 ribu kilometer persegi itu dihuni masyarakat adat dengan lima suku asli yakni Kaahua, Kauno, Kaitora, Kaharuba, dan Kaharubi, sedangkan bagi pendatang diberi nama suku Kamay.

Untuk mendukung sektor wisata, masyarakat adat Enggano membangun enam rumah adat yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan adat, serta bisa disewakan untuk para wisatawan.

Enam rumah adat sesuai dengan jumlah suku yang mendiami pulau terluar itu yakni rumah adat Suku Kamay atau warga pendatang di Desa Kahyapu.

Rumah adat Suku Kaaruba dibangun di Desa Kaana, rumah adat Suku Kaharubi di Desa Malakoni, rumah adat Suku Kaahua di Desa Apoho dan rumah adat Suku Kauno dan Kaitora di Desa Meok.

Ketua Suku Kaitora, Raffli Zen Kaitora mengatakan rumah adat yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat itu sudah menyebar di lima dari enam desa.

"Rumah adat ini selain dipakai untuk pertemuan adat juga bisa digunakan para wisatawan," kata Raffli.

Pembangunan rumah adat itu menggunakan angggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan senilai Rp480 juta melalui Yayasan Karya Enggano.

Rumah adat Enggano berbentuk rumah panggung dua lantai setinggi enan meter dengan bentuk bangunan bulat atau melingkar perukuran 8 x 8 meter.

Raffli mengatakan bahwa pengelolaan rumah adat yang bisa menjadi rumah tinggal sementara atau "homestay" dengan kapasitas 10 orang itu diserahkan ke masing-masing lembaga adat.

"Kami berharap rumah adat ini bisa menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan adat yang bisa mendukung pariwisata di Pulau Enggano," ucapnya. ***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016