Jakarta (Antara) - Jaksa penuntut umumm (JPU) KPK menuntut agar harta milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sebesar Rp600 miliar dirampas untuk negara.

"Estimasi (harta yang diminta untuk dirampas) sekitar Rp600 miliar, jadi dari saham sekitar Rp300 miliar. Kemudian dari uang yang disita itu juga sekitar Rp100 miliar belum dari aset yang dari properti seperti rumah, pabrik, itu kan nilainya cukup besar," kata ketua JPU KPK Kresno Anto Wibowo seusai sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin.

Selain menuntut perampasan harta Nazaruddin yang didapat dari tindak pidana pencucian uang, jaksa juga menuntut Nazaruddin dengan pidana 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan karena menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah tahun 2010, melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp283,6 miliar pada periode 2009-2010.

"Jadi kan ditotal pencucian uangnya sulit. Kita bicara keuntungannya saja waktu dia melakukan tindak pidana korupsi baik di dakwaan kesatu maupun ada perkara di luar itu sedangkan dari dakwaan kedua itu (pencucian uangnya) sekitar Rp500 miliar," tambah Kresno.

Kesulitan tersebut terjadi karena Nazaruddin memutar uangnya berkali-kali sehingga menutupi jejak jalur uang (layering).

"Karena uangnya 'layering', uang masuk ke rekening bank, kemudian masuk ke saham, uangnya itu-itu juga, tidak bisa kita pilah-pilah rekening bank sekian, rekening saham sekian karena uangnya cuma berputar-putar termasuk lari ke Singapura dan ke perkara Anas Urbaningrum ada yang dibuat untuk kongres. Tapi kalau patokan dakwaan kedua itu Rp500 miliar, dan kurang lebih (semuanya) Rp1 triliun kalau dijumlah baik fee maupun dari proyek," jelas Kresno.

Aset terbesar yang dirampas berasal dari saham dan properti.

"Kalau aset sudah diambil Rp600 miliar dari total 1 triliun, sudah cukup lumayan meski ada aset yang tidak bisa kita ambil karena disebut ada 'gatekeeper' (penjaga) di Singapura seperti Gareth Lim dan Lim Keng Seng. Kami sudah membuat MLA (mutual legal assistance) dan putusan nanti yang akan digunakan aparat penegak hukum di Singapura untuk melacak," tambah Kresno.

Bahkan salah satu anak perusahaan Permai Grup yang dimilik Nazaruddin yaitu PT Pacific Putra Metropolitan Ltd pun namanya masuk dalam Panama Papers.

"Coba dihubungkan dengan Panama Papers yang sedang heboh, di sana ada namanya PT Pacific Putra Metropolitan Ltd, namanya sama dengan PT Pacific yang membeli saham Garuda," ungkap Kresno.

Menurut Kresno, setidaknya Nazaruddin melalui anak-anak perusahaan Permai Grup membeli saham Garuda hingga 6 juta dolar.

"Kalau cerita yang kita ketahui di sini 6 juta dolar Singapura, berdasarkan fakta persidangan," tegas Kresno.

Nazaruddin dituntut berdasarkan tiga dakwaan. Dalam dakwaan pertama, Nazaruddin dinilai terbukti  menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya Rp23,119 miliar dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan Rp17,250 miliar dari PT Nindya Karya.

Penerimaan tersebut karena sudah ada kesepakatan Nazar dengan PT DGI untuk mendapatkan fee sebesar 21-22 persen dari nilai kontrak sehingga Nazaruddin mau untuk memperlancar proyek sejak proses penganggaran dan pelelangan dengan cara memberikan "fee" kepada satuan kerja dan panitia pengadaan sehingga PT DGI dan PT Nindya Karya.

Pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbutki melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp627,86 miliar selama periode 2010-2014 yaitu 19 lembar cek dari PT DGI senilai total Rp23,119 miliar; dari PT Nindya Karya Rp17,250 miliar; PT DKI terkait pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Palembang berupa 5 lembar cek senilai Rp4,575 miliar; dari PT Waskita Karya sejumlah Rp13,250 miliar; dari PT Adhi Karya sejumlah Rp3,762 miliar; dari Odie dan kawan-kawan sejumlah Rp33,158 miliar; dari Alwin sejumlah Rp14,148 miliar dan dari PT Pandu Persada Konsultan sejumlah Rp1,7 miliar sehingga Permai Grup mendapatkan keuntungan sebesar Rp580,39 miliar.

Hasil keuntungan tersebut diputar dengan membeli saham tersebut antara lain pembelian saham PT Garuda Indonesia (persero) Tbk senilai total 298.036.000 lembar berjumlah Rp163,918 miliar; saham PT Bank Mandiri senilai total 7.651.500 lembar berjumlah Rp40,14 miliar; saham PT Krakatau Steel, saham PT Bank Negara Indonesia, serta sukuk yang ditotal sekitar Rp300 miliar.

"Meski terdakwa membantah bahwa tidak semua harta berasal dari tindak pidana korupsi karena ada juga yang berasal dari sumber sah khususnya yang diatasnamakan Neneng Sri Wahyuni seperti rumah di pejaten dan restoran, tapi penuntut umum berpendapan alasan itu harus dikesampingkan," kata ketua jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo.

Sedangkan dakwaan ketiga, Nazaruddin dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp283,599 miliar selama periode 2009-2010 dengan cara menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp50,205 miliar; dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp33,194 miliar; dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikannya) senilai Rp200,265 miliar.***2*** 

Pewarta:

Editor : Riski Maruto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016