Jakarta (Antara) - Jaksa Penuntut Umum KPK menilai bahwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin tidak dapat membuktikan sumber harta kekayaannya sehingga tetap layak didakwa melakukan pencucian uang dan dirampas hartanya.
"Mengenai pembelaan bahwa harta terdakwa bukan korupsi karena sudah dilaporkan di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), LHKPN bukanlah cara untuk membuktikan tindak kejahatan tapi terdakwa harus membuktikan sumber hartanya. Dalam sidang telah terlihat terdakwa tidak bisa membuktikan sumber harta miliknya secara terbalik seperti pasal 77 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebaliknya kami bisa membuktikan bahwa harta itu berasal dari tindak pidana," kata ketua JPU KPK Kresno Anto Wibowo saat pembacaan replik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Dalam perkara ini Nazaruddin dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan ditambah dengan perampasan aset hingga sekitar Rp600 miliar karena melakukan tindak pidana korupsi yaitu menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya dari sejumlah proyek pemerintah pada 2010 dan melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 serta Rp283,6 miliar pada periode 2009-2010.
Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010 menyebutkan "Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana".
Nazar dalam perkara ini memang meminta agar sejumlah harta kekayaannya tidak ikut dirampas karena mengklaim bahwa harta tersebut berasal dari usaha yang sah dan merupakan harta warisan.
Nazar dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) juga mengaku bahwa bukan orang nomor satu di Permai Grup melainkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai orang nomor satu sehingga tidak bisa disebut sebagai aktor utama dalam pelaku korupsi sejumlah proyek pemerintah.
"Mengenai terdakwa bukan orang nomor satu di Permai Grup tidak menghilangkan pemidanaan terdakwa sebagai subjek hukum. Karena terdakwa adalah subjek hukum yang sehat yang dapat menolak untuk melakukan perbuatan pidana tap imalah melakukan tindak pidana," ungkap Kresno.
Selain itu jaksa juga menolak permintaan Nazar agar harta sejumlah pihak yang tidak ada hubungannya dikembalikan kepada para pemiliknya.
"Mengenai harta dari pihak lain dikembalikan ini memperkuat pertanyaan kami bahwa terdakwa punya kepentingan terhadap harta tersebut karena orang-orang itu menjadi gate keeper bagi terdakwa menyamarkan tindak pidananya, demikian replik ini dibacakan. kami JPU KPK meminta majelis hakim memutus perkara sesuai dengan surat tuntutan kami," tegas Kresno.
Sejumlah aset yang menurut Nazaruddin harus dikembalikan antara lain dua ruko dan tanah di Jalan Abdullah Syafei, kebun kelapa sawit seluas 2.500 hektar di kelurahan Pematang Hulu Riau, deviden saham Krakatau Steel atas nama Neneng Sri Wahyuni, deviden saham PT Berau sebesar Rp45 miliar atas nama istri Nazar yaitu Neneng Sri Wahyuni, dua aset tanah di jalan Wijaya Kebyoran Baru atas nama Neneng, polis asuransi AXA Mandiri atas nama Neneng, tanah dan bangunan di jalan Jenderal Sudirman Riau, deviden saham CIMB Niaga, deviden saham PT Gudang Garam, uang di sejumlah rekening atas nama PT Mahkota Negara, PT Extratech dan PT Pacifit Putra Metropolitan, rumah dan bangunan di Pejaten, apartemen Taman Rasuna, ruko di Bekasi Mas, tanah atas nama PT Mekar Arum Abadi,
Nazaruddin juga mengklaim memperoleh harta warisan hingga ratusan miliar pada 1996 yaitu berupa emas dan uang tunai senilai Rp15 miliar, tanah di bukit Malaja Pematang Siantar seluas 2 hektar, 17 unit truk, tanah tambang batu bara 5 ribu hektar di 9 lokasi Simalungun, kebun sawit 15 ribu hektar di labuhan batu sumatera utara, tambang batubara 11 ribu hektar di kalimantan barat dan tambang bauksit seluas 15 ribu hektar di Maluku Utara.
Sidang putusan akan dibacakan pada Kamis, 9 Juni 2016.***2***