Analis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Rionaldo mengusulkan adanya penerbitan kode etik bagi profesi yang menggunakan secara langsung kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Penerbitan kode etik, kata dia, diperlukan lantaran karya yang diciptakan menggunakan kecerdasan buatan tidak bisa dilindungi oleh hak cipta serta tidak memiliki batasan.
"Selama regulasi yang lebih perinci mengenai kecerdasan artifisial belum disusun atau mungkin dalam proses, maka kita membutuhkan semacam kode etik," ucap Rionaldo dalam webinar bertajuk Perlindungan Kekayaan Intelektual di Era Artificial Intelligence yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Dia mencontohkan, beberapa profesi yang menggunakan secara langsung kecerdasan buatan, seperti antara lain penulis, akademisi, hingga desainer grafis, yang menghasilkan karya dari kecerdasan buatan maupun menggunakan bantuan kecerdasan buatan.
Saat ini, DJKI sedang berencana menambahkan regulasi terkait kecerdasan buatan ke dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pemerintah bertujuan memperkuat perlindungan hak cipta di era digital, mengadaptasi kebijakan hukum hak cipta agar sesuai dengan perkembangan zaman, serta memberikan perlindungan yang lebih maksimal bagi para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.
"Dengan begitu, para insan kreatif tidak kalah bersaing dengan kecerdasan buatan yang bisa menghasilkan karya dengan cepat dan murah," tuturnya.
Adapun Uni Eropa, Amerika Serikat, China, serta Brasil telah melakukan pengaturan kecerdasan buatan, ada yang berupa perintah eksekutif untuk mengidentifikasi potensi dan risiko kecerdasan buatan serta mekanisme pengawasan agar tidak mengurangi hak fundamental warga.
Di Indonesia, peraturan yang berlaku saat ini yang relevan dengan penggunaan AI, antara lain ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSE), Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permen PSE), serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024
Penerbitan kode etik, kata dia, diperlukan lantaran karya yang diciptakan menggunakan kecerdasan buatan tidak bisa dilindungi oleh hak cipta serta tidak memiliki batasan.
"Selama regulasi yang lebih perinci mengenai kecerdasan artifisial belum disusun atau mungkin dalam proses, maka kita membutuhkan semacam kode etik," ucap Rionaldo dalam webinar bertajuk Perlindungan Kekayaan Intelektual di Era Artificial Intelligence yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Dia mencontohkan, beberapa profesi yang menggunakan secara langsung kecerdasan buatan, seperti antara lain penulis, akademisi, hingga desainer grafis, yang menghasilkan karya dari kecerdasan buatan maupun menggunakan bantuan kecerdasan buatan.
Saat ini, DJKI sedang berencana menambahkan regulasi terkait kecerdasan buatan ke dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pemerintah bertujuan memperkuat perlindungan hak cipta di era digital, mengadaptasi kebijakan hukum hak cipta agar sesuai dengan perkembangan zaman, serta memberikan perlindungan yang lebih maksimal bagi para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.
"Dengan begitu, para insan kreatif tidak kalah bersaing dengan kecerdasan buatan yang bisa menghasilkan karya dengan cepat dan murah," tuturnya.
Adapun Uni Eropa, Amerika Serikat, China, serta Brasil telah melakukan pengaturan kecerdasan buatan, ada yang berupa perintah eksekutif untuk mengidentifikasi potensi dan risiko kecerdasan buatan serta mekanisme pengawasan agar tidak mengurangi hak fundamental warga.
Di Indonesia, peraturan yang berlaku saat ini yang relevan dengan penggunaan AI, antara lain ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSE), Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permen PSE), serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024