Lebak (Antara) - Pengamat Ekonomi dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Wasilatul Fallah Rangkasbitung Encep Khaerudin mengatakan pemerintah diminta mengkaji lebih dalam terkait rencana kenaikan harga rokok sampai Rp50 ribu per bungkus.

"Kami mengkhawatirkan kenaikan harga rokok itu bisa berimbas terhadap pengangguran baru," kata Encep saat dihubungi di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Senin.

Saat ini, wacana kenaikan harga rokok per bungkus hingga Rp50.000 perlu dilakukan pengkajian secara mendalam.

Apabila kenaikan harga rokok tersebut karena alasan penyumbang terbesar kemiskinan dari perokok aktif maka kebijakan itu bukan solusi.

Kenaikan rokok tersebut dipastikan akan berdampak terhadap industri rokok gulung tikar karena produknya tidak ada yang terjual.

Selain itu juga kenaikan rokok akan memunculkan peredaran rokok ilegal maupun alternatif rokok lainnya.

Karena itu, ia menilai wacana ide kenaikan rokok tersebut tidak tepat jika kenaikan rokok akibat penyumbang kemiskinan terbesar.

Disamping itu juga kenaikan harga rokok dapat menimbulkan permasalahan baru di masyarakat, terutama pengangguran.

Mereka para pekerja industri rokok sekitar 6 juta orang dipastikan akan dirumahkan atau PHK- secara besar-besaran.

Selain itu juga akan berdampak buruk terhadap pendapatan petani tembakau, cengkeh, hingga pedagang asongan dan pedagang rokok kaki lima.

"Kami menilai kenaikan rokok itu perlu dilakukan pengkajian secara matang sehingga tidak menimbulkan permasalahan sosial," katanya.

Menurut dia, kenaikan rokok tersebut jelas tidak masuk akal karena kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan juga belum ditetapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu).

Ia menilai kenaikan CHT tidak akan melonjak drastis dan tidak jauh berbeda dengan kenaikan tahun 2016 rata-rata sebesar 11,19 persen.

"Kami menilai wacana kenaikan harga rokok sampai Rp50.000 per bungkus perlu dilakukan kajian sehingga tidak berimbas terhadap pengangguran," katanya.

Ia mengatakan, untuk menggali pendapatan pajak negara sebaiknya pemerintah mengenakan pajak tinggi terhadap pemilik tanah yang sengaja ditelantarkan.

Sebab, di beberapa negara cukup berhasil dalam perolehan pendapatan pajak dari pemilik tanah yang ditelantar atau tidak produktif.

Saat ini, banyak pemilik tanah yang sengaja ditelantarkan juga tidak bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengelola pertanian pangan, hortikultura dan palawija.

Padahal, jika tanah tersebut dikelola tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Kami setuju jika pemerintah mengenakan pajak tinggi terhadap pemilik tanah yang tidak produktif atau ditelantarkan," katanya menjelaskan. ***4***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016