Bengkulu (Antara) - Bank Indonesia mengatakan kenaikan harga rokok seperti yang diwacanakan diyakini tidak akan mempengaruhi inflasi di Provinsi Bengkulu.

Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Bengkulu Bambang Himawan, di Bengkulu, Kamis, mengatakan kenaikan harga `administered price` atau harga yang ditetapkan pemerintah untuk rokok malah akan menurunkan tingkat konsumsi komoditas tersebut.

Hal itu dikarenakan, di Bengkulu kalangan perokok terbanyak merupakan masyarakat menengah ke bawah. Jika kenaikan harga rokok direalisasikan, akan terjadi penurunan konsumsi yang cukup signifikan.

"Pengaturan keuangan keluarga seharusnya sudah ada proporsinya, jadi kalau biasanya merokok satu bungkus, nantinya akan merokok beberapa batang per hari," kata dia lagi.

Jika masyarakat perokok tetap memaksakan konsumsi seperti biasanya, katanya pula, tentunya harus menekan keuangan mereka yang notabene dijadikan untuk memenuhi kebutuhan pokok.

"Jadi tidak mungkin kan mereka mengurangi konsumsi kebutuhan pokok hanya untuk memenuhi kebiasaan merokok," kata dia lagi.

Kecuali, perokok mengabaikan kebutuhan pokok lainnya yang harus dipenuhi akibat menjadi pecandu berat, sehingga walaupun harga yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari harga saat ini, tingkat konsumsi tetap tidak menurun.

"Kalau seperti itu baru kita waspadai akan terjadi inflasi, karena dengan kenaikan harga yang tidak menurunkan tingkat konsumsi, biaya konsumsi akan melonjak, ini yang memicu inflasi," ujarnya pula.

BI Bengkulu belum melakukan koreksi baik prediksi inflasi maupun pertumbuhan ekonomi terkait adanya wacana kenaikan harga rokok.

Prediksi pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 tetap pada angka 5,3 persen (year on year/yoy), dan inflasi berada pada rentang 3,5--4 persen (yoy).***3***

Pewarta: Boyke LW

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016