Jakarta (Antara) - Pemerintah perlu membuat aturan hukum yang lebih baik tentang larangan judi "on line"  terhadap warga masyarakat golongan tertentu karena saat ini judi lewat dunia maya kian marak terjadi di masyarakat.

Indonesia sudah punya undang-undang penertiban perjudian, yakni UU No 7 Tahun 1974. Namun faktanya di lapangan masih banyak perjudian baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Wasis Susetio, usai menghadiri Forum Diskusi Grup/FGD tentang maraknya judi on line di Jakarta, Selasa.

Peraturan perundang-undangan yang ada masih bersifat tumpang tindih bankan ada yang tidak sejalan dengan Pasal 28 hruf E tentang keyakinan memeluk agamanya, menyakini keyakinannya terhadap kebiasaan yang dilakukannnya.

Judi itu bagi umat Islam dilarang. Oleh karena itu, negara harus melarang dan mengawasinya secara ketat. Namun terhadap agama lain yang menjadikan judi bukan sebagai perbuatan dosa, maka sebaiknya negara memberikan ruang gerak agar tidak terjadi kucing-kucingan antara pelaku dengan aparat penegak hukumnya, katanya.   

Omzet judi on line yang ada di Indonesia dikabarkan ada yang mencapai Rp360 miliar per bulan, bahkan ada yang lebih besar dari jumlah itu. Artinya jumlahnya bisa triliunan rupiah.

Dari bisnis sebesar itu pemerintah tidak mendapatkan keuntungan sepeser pun baik dari sisi perpajakan maupun dari sisi pendapatan lainnya mengingat aturan hukumnya saling tumpang tindih.

"Itu sebabnya saya memahami jika ada pihak yang ingin mengajukan judicial review terhadap UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Judi," kata Wasis.

FGD yang dilaksanakan oleh Forum Pemerhati Hukum dan Kebijakan Dunia Maya (FP HUKEDUM) mendatangkan nara sumber seperti Prof. Dr. Ade Saptomo, Prof. Dr. Faisal Santiago, Ahli Hukum Pidana dari Binus, Ahmad Sofyan, Konsultan Pajak Dr. Menwih dan Praktisi Informasi Teknologi, Rama Yurindara.

Menurut Wasis, UU No 7 Tahun 1974 tentang  Penertiban Perjudian yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 9 Tahun 1981 bertentangan dengan Pasal 303 KUHP.

Pasal 1 UU No 7/1974 antara lain menyebutkan, semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Namun pasal tersebut tidak menyebutkan  pencabutan pasal 303 KUHP yang antara lain pasal 1 ayat ((2) menyebutkan, perjudian di khalayan umum dilarang kecuali mendapatkan izin dari pemerintah yang berwenang.

Oleh karena itu, sebenarnya judi itu dalam KUHP diberi ruang gerak oleh undang-undang, sekarang tergantung apakah pemerintah mau memberi izin apa tidak, karena dimasa lalu izin perjudian itu juga pernah ada misalnya Porkas dan SDSB, kata Wasis.

       
Mengalir lewat bank BUMN   

Ditempat sama, Konsultan Pajak Dr. Menwih mengatakan, kini tak dapat disangkal bahwa praktik perjudian on line di Indonesia sudah menyebar tidak hanya di perkotaan tetapi juga sampai ke pelosok desa sejalan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat dan majunya teknologi tinggi.

Pemerintah tampaknya kesulitan dalam memberantas model judi on line itu karena providernya tidak ada di Indonesia. Tetapi uang orang Indonesia mengalir ke luar melalu bank-bank termasuk lewat bank BUMN.  

Dalam hukum pajak ada aturan yang menyebutkan, jika ada penerimaan pendapatan terhadap wajib pajak secara ekonomi WP itu wajib membayar pajak. Tetapi bagaimana jika ada WP  yang tiap bulan menerima uang dari hasil judi triliunan rupiah tetapi tidak membayar pajaknya ?     Bukankah negara mengalami kerugian terhadap kasus tersebut, katanya, dengan nada tanya.

Menwih menyampaikan gagasannya agar negara dapat mengatur perjudian yang saat ini cukup marak karena jika pemerintah tidak mengatur, maka akan rugi dan yang untung hanya provider asing baik dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.

 "Devisa kita keluar, sementara kita tidak mendapatkan apa--apa lantaran tidak mampu mengatur secara baik," katanya, seraya menambahkan, di beberapa negara ASEAN, kecuali Brunei dan Indonesia, parlemennya mampu membuat aturan yang menguntungkan bagi warga dan negaranya.***2***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017