Tahun ini bisa dibilang bukan masa yang mudah bagi para pelaku ekspor. Cukup banyak tantangan yang harus dihadapi. Persaingan pasar juga makin ketat.

Kawasan Uni Eropa, yang selama ini merupakan salah satu pasar utama produk ekspor Indonesia, masih berjuang menghadapi krisis yang merambat perlahan dan tak juga berakhir akibat besarnya utang negara-negara dengan ekonomi lemah seperti Yunani dan Portugal.

Pada Maret 2011, gempa dan tsunami melanda sebagian wilayah Jepang, negara yang tercatat banyak mengimpor barang dari Indonesia. Bencana itu sempat menyebabkan penurunan permintaan negara itu akan barang-barang asal Indonesia.

Selanjutnya, tanggal 5 Agustus 2011, perusahaan jasa keuangan Amerika Serikat (AS), Standard & Poor's, menurunkan peringkat surat utang jangka panjang AS dari AAA menjadi AA+.

Penurunan peringkat utang AS yang untuk pertama kali dilakukan Standard & Poor's sejak tahun 1917 itu membuat kepercayaan penanam modal turun serta menimbulkan ketidakpastian pada perekonomian dan kekhawatiran akan penurunan permintaan barang di negara yang dulu disebut adi daya itu.

Masalah lain yang juga ikut memberi tekanan pada kegiatan ekspor sepanjang tahun 2011 adalah penurunan harga beberapa komoditas ekspor andalan Indonesia seperti karet alam dan timah.

Untung bagi Indonesia, hingga penghujung tahun ini semua tantangan dan masalah itu bisa terlewati tanpa harus menanggung penurunan nilai ekspor dan defisit neraca perdagangan.

Kendati berfluktuasi namun nilai ekspor bulanan tercatat masih tinggi dan cenderung naik, bahkan beberapa kali mencatat rekor tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Mei 2011 ekspor mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah dengan nilai mencapai 18,33 miliar dolar AS.

Nilai ekspor kembali mencapai rekor baru pada Juni 2011 dengan nilai 18,41 miliar dolar AS dan berulang lagi pada bulan kedelapan dengan nilai 18,81 miliar dolar AS.

Penurunan nilai ekspor yang terjadi pada Februari, Juli, September dan Oktober tahun ini juga tidak membuat nilai ekspor secara kumulatif berkurang.

Menurut data BPS, nilai ekspor kumulatif sepanjang Januari-Oktober 2011 mencapai 169,03 miliar dolar AS, meningkat 34,88 persen dari periode yang sama tahun 2010.

Nilai ekspor nonmigas dalam sepuluh bulan pertama tahun ini juga tercatat naik 30,36 persen dari kurun yang sama tahun lalu menjadi 134,73 miliar dolar AS.

Capaian angka ekspor secara keseluruhan maupun ekspor nonmigas sepanjang Januari-Oktober tahun ini sudah mendekati target yang ditetapkan pemerintah.

Pemerintah menargetkan tahun ini nilai ekspor total bisa menembus angka 200 miliar dolar AS dan nilai ekspor nonmigas berada pada kisaran 139 miliar dolar AS sampai 146 miliar dolar AS.

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyatakan pemerintah optimistis target kinerja ekspor yang telah ditetapkan bisa tercapai pada akhir tahun.

        
Dominasi Produk Primer

Meski cenderung meningkat dan nilainya cukup besar namun barang-barang yang diekspor ke berbagai negara masih didominasi produk primer, produk berbasis sumber daya alam yang nilai tambahnya tidak tinggi.

Lebih dari dua per tiga dari komoditas ekspor Indonesia, menurut Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Prof. Didik J. Rachbini, terdiri atas barang-barang berbasis sumber daya alam yang tidak punya nilai tambah besar.

"Selain minyak dan gas, kebanyakan berupa barang tambang dan komoditas dari alam seperti minyak sawit mentah dan karet alam mentah," katanya.

Data BPS pun memberikan gambaran serupa.

Menurut badan pengolah data statistik tersebut, porsi ekspor minyak dan gas sepanjang Januari-Oktober 2011 mencapai 20,29 persen dari total ekspor.

Sebagian besar ekspor nonmigas juga didominasi barang-barang berbasis sumber daya alam seperti bahan bakar mineral, minyak sawit mentah, karet alam, serta bijih, kerak dan abu logam.

"Ini kan sama dengan pola VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, perserikatan dagang Hindia Timur yang dibentuk tahun 1600-an), yang hanya mengekspor rempah dan bahan alam," kata Didik.

Pakar ekonomi itu mengatakan, secara bertahap pemerintah harus memperbaiki komposisi barang ekspor dengan memperbanyak ekspor produk hilir yang bernilai tambah tinggi.            

Dia mengapresiasi penerapan kebijakan dan program pemerintah yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan meningkatkan ekspor produk olahan bernilai tambah tinggi.

"Penerapan bea keluar itu bagus meskipun telat. Juga usaha-usaha mendorong hilirisasi industri, kami mengapresiasi," kata dia.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah harus bisa memastikan semua kebijakan dan program tersebut berjalan sesuai target.

Ragamkan Pasar

Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih berlanjut hingga tahun depan sehingga mau tidak mau pemerintah dan pelaku usaha harus mengatur siasat supaya dampaknya terhadap ekspor bisa ditekan seminimal mungkin.

Upaya yang menurut Didik bisa dilakukan untuk menekan dampak perlambatan permintaan pasar Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa antara lain dengan menambah keragaman pasar ekspor dengan merambah pasar-pasar nontradisional.

"Sebelumnya pasar utama adalah Jepang, AS dan Eropa, sekarang pasar China, India dan ASEAN makin baik, ini harus dimanfaatkan," katanya.

Pemerintah, menurut dia, juga perlu menjelajahi pasar-pasar prospektif baru seperti Afrika Selatan, Timur Tengah dan Eropa Timur.

Berkenaan dengan hal itu, saat masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah berusaha menepis dampak ketidakpastian ekonomi global terhadap ekspor dengan berusaha mempertahankan kinerja ekspor ke pasar tradisional dan melakukan diversifikasi pasar.

Pemerintah, kata dia, akan mengoptimalkan pemanfaatan pasar negara-negara ekonomi tumbuh di Asia serta menjajaki menjajaki pasar ekspor nontradisional yang prospektif seperti Afrika Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Timur untuk mempertahankan kinerja ekspor.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang menggantikan posisi Mari juga punya pandangan serupa.

"Selama bisa mendalami pasar baru yang non-tradisional, kita tidak akan terkena dampak dari krisis ekonomi Eropa," kata Gita.

Di samping meragamkan pasar ekspor, anggota LP3E Kadin Indonesia Prof. Ina Primiana mengatakan, pemerintah sebaiknya memanfaatkan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas tingkat regional maupun bilateral yang sudah disepakati untuk mendorong ekspor.

"Selama ini belum banyak dimanfaatkan. Ke depan harus terus disosialisasikan supaya kita juga bisa mendapatkan manfaat maksimal seperti yang didapat negara-negara lain. Harus jeli memanfaatkan peluang pasar yang tercipta dari perjanjian-perjanjian itu, supaya tidak hanya jadi pasar saja," katanya.

Ina menjelaskan pula bahwa pemerintah perlu mengoptimalkan peran atase dagang dan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia atau Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) di luar negeri untuk mendorong peningkatan ekspor.

"Selama ini atas dagang tidak begitu berfungsi. Seharusnya mereka mengidentifikasi produk Indonesia apa yang disukai masyarakat di negara tempat mereka bertugas, dan menjalankan fungsi 'market intelligence'," katanya.

Atase dagang dan ITPC di luar negeri, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia Charles Saerang, juga harus menguasai aturan main perdagangan dan peluang pasar produk nasional di negara tempat mereka ditugaskan.

Para pelaku usaha, kata Charles, membutuhkan bantuan dari atase dagang dan perwakilan ITPC yang piawai untuk merambah pasar-pasar ekspor baru dan memperluas jaringan pemasaran bagi produk mereka.(M035/M009)

Pewarta: Maryati

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2011