Bengkulu (Antara) - Aktivis lingkungan menyatakan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, Jerman pada 6-17 November 2017 menjadi momentum bagi dunia untuk menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi mengingat emisi dihasilkan memicu pemanasan global dan perubahan iklim.

"Ini momentum menghentikan batu bara yang bertanggungjawab atas sumbangan 43 persen emisi karbon dunia," kata Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu Ali Akbar, di Bengkulu, Selasa.

Ia pun menyoroti kebijakan Pemerintahan Joko Widodo yang justru menambah energi listrik sebesar 35.000 megawatt pada 2019 dengan sumber pembangkit baru dari batu bara mencapai 60 persen.

Pembangunan pembangkit baru salah satunya direncanakan di wilayah Sumatera bagian selatan, termasuk Bengkulu dengan kapasitas hampir 4.000 MW.

Pengembangan energi kotor itu, menurut Ali, kontraproduktif dengan upaya Pemerintah Indonesia menekan emisi karbon dengan target pengurangan pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan mencapai 41 persen dengan bantuan dunia internasional.

"Ada kontraproduktif di mana pemerintah menarget pengurangan emisi sembari menambah pembangkit batu bara baru, ini tidak masuk akal," ujar mantan Direktur Walhi Bengkulu ini pula.

Padahal, ujar dia lagi, potensi energi alternatif yang ramah lingkungan seperti tenaga surya, tenaga angin, air dan panas bumi cukup besar di Indonesia.

Butuh komitmen politik, kata Ali, untuk menghentikan pengembangan energi kotor batu bara yang menurunkan kualitas lingkungan sekaligus berdampak buruk bagi makhluk hidup.

Ia pun mencontohkan kebijakan Tiongkok dan India yang sudah bertobat menggunakan batu bara dan beralih ke energi ramah lingkungan berkelanjutan.

Polusi udara membuat Tiongkok meninggalkan batu bara dan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya sebagai pemenuhan energi masa depan negara itu.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Tiongkok telah mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 4,1 miliar ton dan benar-benar berhasil menyelaraskan aksi perubahan iklim dengan perkembangan ekonomi dan sosial.

Sementara Indonesia kini berada di peringkat ke-6 setelah Rusia dari 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca. Total emisi yang dihasilkan Indonesia per tahun sekira 1,98 miliar ton.

Karena itu, pertemuan KTT Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, Jerman seyogianya digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai momentum untuk menghentikan penambahan PLTU batu bara, khususnya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017