Keseimbangan alam yang terjaga adalah kunci keberlanjutan sumber pangan yang melimpah. Begitu prinsip para nelayan tradisional Kota Bengkulu dalam menjalankan profesinya berinteraksi dengan laut.

Selama beratus tahun, nelayan tradisional Kota Bengkulu konsisten menggunakan alat tangkap ramah lingkungan untuk memanen berbagai jenis ikan. Dengan peralatan sederhana, mereka mampu hidup berkecukupan bila tidak layak disebut sejahtera.

Namun, beberapa tahun belakangan, sebagian kecil nelayan mulai menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Mereka menggunakan pukat hela atau biasa disebut "trawl". Alat tangkap ini menyapu seluruh material yang tersangkut pada jaring.

Nelayan Bengkulu.

Tak peduli apakah ikan besar atau masih berupa telur ikan, bila terjaring akan ikut disapu. Bahkan terumbu karang yang masuk dalam pukat pun tak kenal ampun ikut tertangkap.

Menurut Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Bengkulu Romi Faislah, jumlah nelayan lokal yang menggunakan trawl tidak sampai 10 persen dari 42.000 orang seluruh nelayan di daerah ini.

Sementara 90 persen lainnya menggunakan alat tangkap tradisional ramah lingkungan dan kehidupan mereka bergantung pada sumber daya laut yang ada.

"Kami nelayan tradisional bisa tetap bertahan dengan hasil tangkapan ramah lingkungan, berarti pemilik kapal trawl tak lain ingin memperkaya diri," kata Romi.

Penggunaan trawl dalam jangka panjang, kata Romi, akan menurunkan kualitas sumber daya laut. Laut yang menjadi tumpuan puluhan ribu nelayan tradisional Kota Bengkulu semakin miskin sumber daya.

Kondisi ini secara otomatis mengancam keberlanjutan sumber penghidupan dan menciptakan kemiskinan baru di daerah itu.


Masa Transisi

Pada 1980, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mendorong pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kala itu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl (Pukat Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali, guna menjaga kesehatan habitat serta produktivitas penangkapan nelayan tradisional.

Namun dalam dua dekade terakhir, alat penangkapan ikan jenis trawl telah berkembang pesat dalam bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak ramah lingkungan.

Penggunaan trawl dengan mengeruk dasar perairan merusak habitat serta penggunaan lubang jaring yang kecil juga menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum matang.

Menurut data HNSI Kota Bengkulu, masih ada 300 unit kapal pengguna alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Kota Bengkulu.

Operasi kapal dengan alat tangkap terlarang itu masih diberi kelonggaran dengan asumsi dalam masa transisi atau peralihan alat tangkap dari pukat hela ke alat tangkap ramah lingkungan.

Nelayan memperbaiki kapal.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu Ivan Syamsurizal mengatakan para nelayan pengguna alat tangkap cantrang atau pukat hela (trawl) diberi waktu untuk beralih ke alat tangkap ramah lingkungan sesuai batas waktu yang ditentukan pemerintah, yakni per 31 Desember 2017.

Hingga batas waktu yang ditentukan, maka tidak ada toleransi tambahan, seluruh alat tangkap nelayan yagn beroperasi di perairan Bengkulu adalah alat tangkap ramah lingkungan.

Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan (API) Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Peraturan ini sempat mendapat penolakan dari para nelayan pengguna cantrang sehingga pemerintah memberlakukan masa transisi atau pengalihan penggunaan alat tangkap.

"Kami sudah sosialisasikan ke para nelayan pengguna cantrang tentang batas waktu peralihan alat tangkap," kata Ivan.

Menanggapi masa transisi ini, Rustam Efendi, nelayan tradisional dari Bengkulu Tengah mengatakan tenggat waktu yang diberikan bagi nelayan pengguna trawl sudah cukup lama, yakni hampir dua tahun, untuk beralih dari trawl ke alat tangkap ramah lingkungan.

Nelayan tradisional, menurut dia, sudah cukup bersabar menunggu masa transisi ini berakhir karena kenyataannya di lapangan trawl masih beraksi.

Ia berharap, batas waktu yang diberikan pemerintah per 31 Desember 2017 dapat dipatuhi para pengguna cantrang.

Perkampungan nelayan.

Menurut nelayan lokal Bengkulu, konflik pengelolaan sumber daya alam khususnya operasi kapal trawl di perairan Bengkulu ibarat bom waktu yang setiap saat bisa meledak.

Eprizal, nelayan lokal, mengingatkan konflik horizontal antara nelayan tradisional dengan nelayan kapal trawl pada 1998 di perairan wilayah ini.

Waktu itu, kata dia, nelayan tradisional membakar beberapa kapal pengguna trawl. Ia berharap jangan sampai kejadian serupa terulang.

Karena itu, ketegasan pemerintah dan penegakan hukum, menurut dia, menjadi kunci penyelesaian persoalan ini.

Sementara di lapangan, lanjutnya, pemberian toleransi waktu justru membuat jumlah kapal yang masuk ke Bengkulu terus bertambah.

Dari 149 kapal trawl yang beroperasi pada 2014, jumlahnya kini meningkat menjadi 300 unit kapal. Bahkan kapal trawl dari provinsi tetangga ikut beraktivitas karena menganggap Bengkulu daerah yang aman bagi kapal trawl.

Rustam berharap, operasi 300 kapal trawl dengan 1.000 orang nelayan yang terlibat jangan sampai mengorbankan masa depan 41 ribu nelayan tradisional lainnya.***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017