Tak mudah membangun usaha dari nol hingga sukses membawa produk lokal ke mancanegara, kemudian bermimpi memamerkan karyanya di negara adidaya Amerika Serikat.

Itulah mimpi Trisna Anggraini, seorang pengusaha yang 20 tahun terakhir fokus mengembangkan produk budaya lokal, batik besurek khas Bengkulu.

Tak hanya menjadikan batik sebagai ladang bisnis, peran perempuan kelahiran Manna, Bengkulu, 1 Agustus 1971 ini cukup penting dalam pelestarian sekaligus mengangkat besurek ke pentas mode nasional dan internasional.

Beranjak dari kegelisahan atas minimnya produk budaya yang menunjukkan identitas daerah, Trisna mulai menggeluti kerajinan batik besurek pada 1999.

Ketika itu, ibu satu anak ini masih tercatat sebagai karyawan sebuah bank dan aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan. Ia pun diundang ke Jakarta dan diminta untuk menggunakan busana yang dapat mewakili daerahnya.

Trisna pun melirik batik besurek. Namun, saat itu harga batik besurek cukup mahal dan pilihan motifnya pun sangat terbatas.

Maka, istri Ferry Rizal ini pun berinisiatif membuat sendiri batik besurek dengan menggandeng sejumlah pebatik lokal.

Ia memulai bisnisnya dari rumah lalu memberanikan diri membuka toko di garasi hingga kini berhasil mendirikan sebuah galeri yang kerap jadi rujukan desain motif dan warna besurek terbaru di galeri besurek "La Mentique".

Desain besurek yang ia rancang pun kerap dipamerkan di berbagai ajang, baik tingkat nasional maupun mancanegara, serta menyabet berbagai penghargaan, salah satunya terpilih menjadi peserta terbaik ASEAN Silk Fabric And Contest pada 2010 di Thailand.

Saat ini, Trisna sedang menjajaki besurek untuk bisa dipajang di Istana Presiden sehingga tamu-tamu negara dari berbagai penjuru dunia mengenal besurek.


Pelestarian

Batik besurek atau disebut juga kain bersurat merupakan seni batik dari Bengkulu dengan motif didominasi bentuk kaligrafi huruf Arab gundul.

Konon, pembuatan batik besurek seiring dengan kehadiran ajaran Islam di Bengkulu pada abad ke-16.

Saat itu, penggunaan kain itu sangat terbatas atau eksklusif pada tataran hajatan agama dan budaya.

"Dari sejarahnya memang produk ini adalah barang eksklusif dan itu tantangan bagi kita untuk memasyarakatkan hingga menjadi identitas Bengkulu di mata dunia," kata Trisna.

Di awal kemunculannya, kain bersurat yang sarat makna dalam setiap goresannya pun hanya dipakai pada acara khusus seperti acara adat, hingga penutup jenazah.

Tidak hanya digunakan pada acara penting, harga batik yang mahal juga membuat produk ini dimiliki terbatas yakni kaum bangsawan, keluarga petinggi dan pejabat.

Kemudian masa kepemimpinan Gubernur Bengkulu Razie Yahya pada 1980-an, dimulai gerakan memasyarakatkan batik besurek sehingga tak lagi digunakan hanya pada acara khusus tapi bisa digunakan setiap hari.

Sejak itu besurek mulai digunakan sebagai seragam khusus baik di tingkat aparatur pemerintahan hingga menjadi pakaian wajib para pelajar di sekolah-sekolah.

Dalam perkembangannya, modifikasi motif memasukkan simbol daerah Bengkulu seperti bunga rafflesia dan burung kuau.

Pada 2015, batik besurek pun ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda dari Bengkulu (intangible cultural heritage).

Seiring waktu produk budaya ini pun mendapat tantangan lain sebab perajin besurek justru semakin langka. Batik yang beredar di pasaran pun didominasi batik pabrikan (printing).

"Kami melatih pelajar untuk membatik dan membuka galeri ini bagi siapapun yang ingin mempelajari batik besurek", katanya.

Saat ini ada tujuh orang pebatik yang digandeng Trisna untuk memenuhi pesanan kain bersurat di galerinya. Saat pesanan meningkat, jumlah pebatik yang terlibat bisa bertambah hingga dua kali lipat.

Ia pun berharap ada kolaborasi antarpihak untuk keberlanjutan sumber daya manusia sehingga batik tulis besurek tidak punah.

Misalnya memberikan beasiswa bagi pelajar jurusan busana dan memperbanyak kontes desain besurek untuk memperkaya motif dengan inovasi.

Trisna pun sudah memulai langkah ini dengan mengikutsertakan pelajar SMK jurusan tata busana dalam lomba membatik nasional yang digelar Kementerian Pendidikan pada 2012 dan mendapat juara harapan I.



Mimpi

Gotong royong berbagai pihak memasyarakatkan besurek menjadi salah satu modal besar untuk mengangkat produk budaya ini ke kancah nasional maupun internasional.

Baru-baru ini Pemerintah Kota Bengkulu menggelar Karnaval Batik Besurek untuk mempromosikan produk budaya tersebut.

Karnaval ini telah menjadi kegiatan tahunan sejak 2015 dengan melibatkan partisipasi banyak pihak, termasuk mengundang perwakilan duta besar negara-negara sahabat.

Hanya saja menurut Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) Provinsi Bengkulu ini, bila ingin membawa besurek mendunia (go nternasional) maka paradigma atau sudut pandang mau tidak mau perlu berubah.

Masyarakat harus siap dengan model besurek yang bisa diterima level Asia ataupun Eropa yang notabene tidak seluruhnya berhijab, kata Trisna.

Termasuk meningkatkan kualitas batik dan mengikuti perkembangan tren busana dunia mulai dari pemilihan bahan dasar.

Untuk tren mode 2018, Trisna mengatakan bahan katun dan tenun akan menjadi pilihan, sebab kondisi cuaca diprediksi akan banyak hujan dan lebih dingin.

Meski telah menggapai kesuksesan, Trisna bukan orang yang cepat puas dengan hasil karyanya. Ia terus berbenah untuk mewujudkan mimpinya membawa besurek ke Negeri Paman Sam.***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017