Kota Bengkulu (ANTARA) - Dalam upaya memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia, gastro diplomasi muncul sebagai alat diplomasi yang semakin relevan. Gastro diplomasi memanfaatkan makanan sebagai media untuk memperkuat pengaruh budaya dan ekonomi di kancah internasional.
Hardian Eko Nurseto, seorang peneliti antropologi pangan, mengatakan makanan bukan hanya soal rasa, melainkan juga simbol budaya dan kepentingan strategis suatu negara.
Menurut Seto, gastro diplomasi berakar dari soft diplomacy, di mana makanan menjadi pintu masuk untuk menciptakan hubungan baik antarbangsa.
"Ketika sebuah negara mengenalkan makanannya, itu bukan hanya soal kuliner, tetapi juga bagaimana budaya, kebijakan, hingga identitas bangsa disisipkan," ujar Nurseto dalam program podcast di Antara TV baru-baru ini.
Thailand, Pionir Gastro Diplomasi
Gastro diplomasi mulai dilirik dunia setelah keberhasilan Thailand dengan program Global Thai pada 2002. Program tersebut bertujuan mendirikan ribuan restoran Thailand di berbagai negara, yang tidak hanya meningkatkan popularitas kuliner mereka, tetapi juga memperbaiki sektor pertanian lokal dan mengubah citra pariwisata negara itu menjadi destinasi kuliner.
"Thailand berhasil membuat makanannya, seperti tom yum dan pad thai, dikenal luas. Bahkan, mereka membangun rantai pasok yang kuat sehingga bahan baku dari Thailand menjadi pilihan utama restoran-restoran internasional," jelas Nurseto.
Baca juga: Rasa autentik rempah Indonesia di Vientiane, Laos
Baca juga: Pasar kuliner malam Barukoto: Destinasi nongkrong strategis di jantung kota Bengkulu
Potensi Indonesia: Sate hingga Rempah Nusantara
Indonesia memiliki peluang besar di dunia gastro diplomasi dengan kekayaan kuliner yang dimilikinya. Menurut Nurseto, sate adalah salah satu makanan yang paling potensial untuk dipromosikan.
"Metode memanggang daging itu universal. Kita hanya perlu mengenalkan bumbu kacang khas Indonesia untuk membuat sate menjadi ikonik di dunia," katanya.