Jakarta (Antaranews Bengkulu) - Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan bahwa Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan diberlakukan dengan menerapkan prinsip proses hukum yang adil (due process of law).

"Bahwa sejatinya mekanisme pengujian keputusan pencabutan status badan hukum atau surat keterangan terdaftar dari sebuah ormas tidak hilang sama sekali, tentu diberlakukan berdasarkan proses hukum yang adil," kata Arteria di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.    

Arteria mengatakan hal tersebut ketika memberikan selaku pihak DPR dalam sidang uji materi UU Ormas yang permohonannya diajukan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF).

DPR RI melalui Arteria berpendapat bahwa keberatan yang diutarakan oleh para pemohon hanya dilandasi oleh asumsi dan kekhawatiran pemohon, yang belum memahami secara komprehensif dan esensi dari pelaksanaan HAM yang diatur dalam UUD 1945.

"Pemberlakuan asas contrarius actus yang terkandung di dalam UU Ormas berimplikasi dilaksananya mekanisme pengujian oleh pelaksana kekuasaan eksekutif," jelas Arteria.

Menurut Arteria, pengujian oleh pelaksana kekuasaan eksekutif (executive review) bukanlah suatu hal yang sepenuhnya asing di Indonesia.

Mekanisme "executive review" merupakan mekanisme yang konstitusional sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kata Arteria.

Mekanisme ini yang ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM atau Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pencabutan status badan hukum, atau surat keterangan terdaftar dari sebuah ormas untuk menentukan apakah sebuah ormas harus dijatuhkan sanksi atau tidak, akibat dugaan penyimpangan terhadap UU Ormas.

"Ini merupakan tindakan yang konstitusional dan bila keputusan tersebut menimbulkan keberatan bagi warga masyarakat, maka dapat dilanjutkan upaya hukum pengujian tahap selanjutnya di pengadilan tata usaha negara," kata Arteria.

Dalam sidang pendahuluan, para pemohon menyatakan merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, terutama terkait dengan kebebasan berserikat, berkumpul, hak konstitusional untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak untuk memajukan diri dalam melakukan kegiatan sebagai warga negara secara kolektif.

Menurut para pemohon, salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan hak asasi manusia dan adanya supremasi hukum. Sementara ketentuan a quo, menurut penilaian pemohon mengancam hak-hak asasi.

Proses penjatuhan sanksi kepada ormas yang diatur dalam ketentuan a quo dinilai pemohon telah melanggar hukum, karena tidak ada proses hukum sehingga pihak yang dinilai bersalah tidak bisa memberikan pembuktian.

Pewarta: Maria Rosari

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018