Siang itu, Yanto, seorang petani duduk termangu di pinggir sawah memandang areal persawahan di Kelurahan Semarang Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu.

"Sudah tiga bulan sawah yang saya garap ini tidak bisa diolah dan tak bisa ditanam karena beberapa sebab. Penyebab utama karena Kota Bengkulu dilanda musim kemarau yang berkepanjangan," kata Yanto.

Akibat musim kemarau, tanaman padi yang bisa ia panen hanya sekitar 1.000 kilogram Gabah Kering Panen atau sekitar 20 persen dari hasil panen biasanya.

"Biasanya saya bisa menghasilkan 5.000 kilogram atau 5 ton gabah kering panen per hektare, tetapi musim tanam kali ini tanaman padi saya tergolong puso alias gagal panen," katanya.

Kondisi semakin parah karena musim kemarau semakin berkepanjangan. Akibatnya, rencana ia untuk menanam padi pada November tak bisa dilaksanakan karena hujan yang turun tidak bisa mencukupi kebutuhan air sawah.

"Keadaan semakin parah karena usulan perbaikan saluran irigasi yang jebol belum juga direalisasikan pemerintah Kota Bengkulu," katanya.

                                             Sawah Puso

Ratusan hektare sawah di Kota Bengkulu mengalami puso atau gagal panen akibat musim kemarau beberapa waktu lalu akibat kurangnya pasokan air yang mengairi areal persawahan daerah itu.

"Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan, hingga saat ini sebanyak 207,65 hektare areal tanaman padi di daerah ini mengalami puso  akibat musim kemarau yang berlangsung mulai Agustus hingga Oktober 2011," kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Bengkulu, Arif Gunadi.

Luas sawah yang mengalami puso antara lain 96,9 hektare di Kecamatan Muara Bangkahulu, 65,3 hektare di Kecamatan Selebar, 37,2 hektare di Kecamatan Sungai Serut dan 6,25 hektare di Kecamatan Ratu Agung.

"Para petani menderita kerugian mencapai ratusan juta rupiah akibat tanaman padi mereka mengalami puso. Bila setiap hektare petani mengalami kerugian sekitar Rp4 juta maka kerugian petani mencapai Rp800 juta," katanya.  

Pada musim tanam kali ini, dari 1.536 hektare sawah yang sudah ditanami di daerah itu sebanyak 256,5 hektare yang mengalami kekeringan akibat hujan jarang  turun lebih dari dua bulan.

Tanaman padi yang mengalami kekeringan tersebut rata-rata  berusia 1-1,5 bulan.

"Padi di kecamatan Selebar yang masih berusia sebulan juga mengalami kekeringan namun masih bisa diselamatkan dengan memompa air namun kami agak kerepotan untuk daerah Kelurahan Semarang dan Surabaya Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu karena sumber air  tidak ada," ujarnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Bengkulu Saryono mengatakan, setiap tahunnya para petani padi di daerah itu dengan luas lahan 3.100 hektare dapat menghasilkan padi sekitar 12.532 ton gabah kering giling.

"Pada 2010 hasil panen padi para petani di Kota Bengkulu mencapai 12.532 ton Gabah Kering Giling dalam dua kali panenan dari luas 3.100 hektare. Untuk tahun ini kami perkirakan hasil yang diperoleh menurun sekitar 10 persen dibandingkan pada 2010," ujarnya.

Sementara itu,   Kepala Seksi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pulau Baai Bengkulu, Sudiyanto mengatakan, telah terjadi perubahan musim hujan dan musim kemarau di daerah ini dalam beberapa tahun terakhir.

"Berdasarkan catatan kami telah terjadi perubahan musim hujan dan musim kemarau di Provinsi Bengkulu dalam beberapa tahun terakhir," katanya.

Ia menjelaskan, saat ini telah terjadi kecenderungan ketidakteraturan musim hujan dan musim kemarau.

"Pada 2010 musim hujan lebih lama dibandingkan musim kemarau, sedangkan pada 2011 keadaannya menjadi bertolak belakang yakni lebih lama musim kemarau dibandingkan musim hujan," katanya.

Selain itu, pihaknya kini juga mengalami kesulitan memperkirakan cuaca yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

"Perubahan cuaca yang terjadi di Provinsi Bengkulu sering kali sulit diperkirakan dan seringkali meleset dari perkiraan semula sehingga membuat para petani mengalami kerugian akibat cuaca yang tak menentu," katanya.

Badan Ketahanan Pangan Kota Bengkulu mencatat produksi beras di daerah itu selama 2010 belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

"Produksi Beras untuk kebutuhan warga di daerah ini selama 2010 mengalami kekurangan sebanyak 26.689,39 ton," kata kepala Badan Ketahanan Pangan Kota Bengkulu Kemas Zaini.

Ia mengatakan, selama 2010 produksi beras hanya 6.732,19 ton sedangkan kebutuhan masyarakat 33.421,58 ton.

"Tingkat konsumsi beras masyarakat sekitar 113 kilogram per kapita per tahun atau 311,9 gram per kapita per hari" ujarnya.

Kekurangan pasokan beras tersebut bisa diantisipasi dengan beras dari Provinsai Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung.

Namun jika berlangsung terus menerus dikhawatirkan terjadi ketidaksiapan warga terhadap berkurangnya persediaan beras akibat lahan pertanian yang semakin menyempit sehingga pada 2015 tingkat konsumsi tersebut akan diturunkan hingga 255,6 gram per kapita per hari.

"Konsumsi beras ini harus diturunkan dan diganti dengan yang lain untuk penguatan ketahanan pangan di daerah ini, oleh karena itu setiap tahun dari 2010 hingga 2015 kami berusaha menurunkan konsumsi beras sebanyak 3,6 persen per tahun," katanya.

Untuk mencapai target tersebut Badan Ketahanan Pangan Kota Bengkulu terus meningkatkan penganekaragaman pangan pada masyarakat seperti menyosialisasikan makanan pengganti beras dengan jagung, ubi jalar dan sejenisnya.

BKP juga berupaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras antara lain dengan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang salah satu sasarannnya adalah kelompok-kelompok wanita atau dasa wisma.

Ia mengatakan, pihaknya berusaha mengubah pola pikir masyarakat agar mau mencukupi kebutuhan rumah tangga masing-masing dengan memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam ubi kayu, ubi jalar, jagung sebagai pengganti beras.

Sebab, saat ini tingkat konsumsi jagung masih rendah. Berdasarkan jumlah penduduk 2010 sebanyak 308.544 jiwa, jumlah konsumsi jagung hanya sebanyak 0,2 kg/kapita/tahun dengan tingkat konsumsi dikali jumlah penduduk sebanyak 58,74 ton sedangkan persediaan jagung pada tahun tersebut sebanyak 808 ton akibatnya terjadi kelebihan persediaan jagung sebanyak 749,26 ton.

"Kendala kami untuk mengurangi tingkat konsumsi beras adalah masih tingginya tingkat ketergantungan warga pada beras," katanya.

                                            Beralih tanam sagu
Peneliti Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Supangat menyarankan agar petani padi di Kota Bengkulu beralih menanam sagu sebagai upaya mengantisipasi terjadinya rawan pangan akibat musim kemarau yang sering melanda daerah itu.

"Saya menyarankan petani padi di Kota Bengkulu agar beralih menanam sagu secara bertahap untuk mengantisipasi terjadinya rawan pangan akibat musim kemarau yang semakin sering melanda daerah ini," kata Agus Supangat di Bengkulu.

Ia mengatakan, tanaman sagu tidak terlalu banyak membutuhkan air dibandingkan tanaman padi yang ditanam petani selama ini.

"Sagu bisa menjadi salah satu alternatif sebagai makanan pokok pengganti nasi. Sagu juga bisa sebagai upaya mengantisipasi terjadinya rawan pangan akibat semakin banyaknya sawah yang gagal panen karena musim kemarau," katanya.

Ia menyarankan agar Pemerintah provinsi Bengkulu melakukan penelitian wilayah mana saja yang cocok sebagai lahan penanaman pohon sagu.

"Setelah mengetahui lahan yang cocok, Pemerintah Provinsi Bengkulu mengajak para petani untuk belajar bertanam sagu yang baik ke daerah yang terbukti telah sukses bercocok tanam sagu," katanya.

 Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum ada data yang pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya.

Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia. Tanaman sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru.

Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, yang diperkirakan luasan budi daya penanamannya mencapai luas 114.000 hektare dan 20.000 hektare. Sedangkan luas penanaman sagu sebagai tanaman liar untuk kedua negara tersebut diperkirakan mencapai dua juta hektare.

Adapun sentra penanaman tanaman sagu di Indonesia adalah Irian Jaya, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Beberapa bagian tanaman Sagu juga bermanfaat yakni pelepahnya dipakai sebagai dinding atau pagar rumah, Daunnya untuk atap, Kulit atau batangnya merupakan kayu bakar yang bagus.

Selain itu, aci sagu (bubuk yang dihasilkan dengan cara mengekstraksi pati dari umbi atau empulur batang) dapat diolah menjadi berbagai makanan ternak, serat sagu dapat dibuat hardboard atau bricket bangunan bila dicampur semen serta dapat diolah menjadi bahan bakar metanol-bensin.

Upaya pengalihan areal persawahan yang tidak produktif ke tanaman pangan seperti tanaman sagu sebagai pengganti beras sebaiknya dimulai dari sekarang.

Pemerintah Kota Bengkulu dalam hal ini Dinas Pertanian harus segera berdialog dengan para petani dan ahli pertanian di daerah ini untuk mengevaluasi lahan persawahan dan merencanakan program agar lahan tetap produktif meski terjadi kemarau panjang.

Bila lahan persawahan para petani tetap dibiarkan tidak produktif tanpa ada upaya memikirkan solusinya, maka produksi beras akan terus mengalami penurunan.Akibatnya, suatu saat nanti Kota Bengkulu akan mengalami rawan pangan dan bencana kelaparan akan terjadi. (ANT-213)

Pewarta: Methatias Ayu Moulina

Editor : Indra Gultom


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2011