Ambon (Antaranews Bengkulu) - Pakar kimia dan lingkungan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, DR. Justinus Male mengingatkan masyarakat Maluku khususnya di Pulau Buru dan Pulau Ambonagar jangan mengonsumsi kepala maupun tulang ikan karena sudah mengandung bahan beracun mercuri dan sianida.
"Bahan beracun seperti mercuri dan sianida itu biasanya mengendap di dalam sumsum tulang dan kepala ikan, sehingga kebiasaan mengonsumsi bagian ikan ini akan berbahaya untuk jangka panjang," kata Justinus, di Ambon, Sabtu.
Peringatan yang disampaikan pakar lingkungan dan kimia ini bukan tanpa alasan, sebab hasil penelitian terhadap sejumlah sampel ikan, baik yang diambil dari pasar di Namlea, Kabupaten Buru maupun di perairan laut Latuhalat, Pulau Ambon sudah tercemar merkuri dan sianida.
Penelitian ini sudah dilakukan sejak 2015, pascamaraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni yang menggunakan berton-ton mercuri dan sianida.
Langkah ini diambil Justinus dengan mengumpulkan dana sendiri melalui penjualan bazar roti karena tidak ada dukungan dana pemerintah provinsi(Pemprov) Maluku dan kabupaten Buru.
Menurut dia, limbah-limbah beracun dan berbahaya ini dibuang ke sungai anahoni dan Waeapu, selanjutnya mengalir sampai ke kawasan Teluk Kayeli yang banyak dikelilingi hutan mangrove.
Setelah mengendap di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung B3 ini dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan kecil dan ikan besar sampai akhirnya dikonsumsi manusia.
"Ikan dari perairan laut di sekitar Teluk Kayeli ini tidak selamanya menetap di sana, namun bermigrasi dan menyebar ke mana-mana sehingga kondisi seperti inilah yang membahayakan kesehatan manusia," tandasnya.
Sehingga masyarakat diingatkan kalau membeli ikan segar di pasar, haruslah membuang kepala dan tulang serta isi perutnya karena di situlah mengedap bahan beracun mematikan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018
"Bahan beracun seperti mercuri dan sianida itu biasanya mengendap di dalam sumsum tulang dan kepala ikan, sehingga kebiasaan mengonsumsi bagian ikan ini akan berbahaya untuk jangka panjang," kata Justinus, di Ambon, Sabtu.
Peringatan yang disampaikan pakar lingkungan dan kimia ini bukan tanpa alasan, sebab hasil penelitian terhadap sejumlah sampel ikan, baik yang diambil dari pasar di Namlea, Kabupaten Buru maupun di perairan laut Latuhalat, Pulau Ambon sudah tercemar merkuri dan sianida.
Penelitian ini sudah dilakukan sejak 2015, pascamaraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni yang menggunakan berton-ton mercuri dan sianida.
Langkah ini diambil Justinus dengan mengumpulkan dana sendiri melalui penjualan bazar roti karena tidak ada dukungan dana pemerintah provinsi(Pemprov) Maluku dan kabupaten Buru.
Menurut dia, limbah-limbah beracun dan berbahaya ini dibuang ke sungai anahoni dan Waeapu, selanjutnya mengalir sampai ke kawasan Teluk Kayeli yang banyak dikelilingi hutan mangrove.
Setelah mengendap di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung B3 ini dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan kecil dan ikan besar sampai akhirnya dikonsumsi manusia.
"Ikan dari perairan laut di sekitar Teluk Kayeli ini tidak selamanya menetap di sana, namun bermigrasi dan menyebar ke mana-mana sehingga kondisi seperti inilah yang membahayakan kesehatan manusia," tandasnya.
Sehingga masyarakat diingatkan kalau membeli ikan segar di pasar, haruslah membuang kepala dan tulang serta isi perutnya karena di situlah mengedap bahan beracun mematikan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018